Surat Terbuka untuk Presiden
Oleh: Asvi Warman Adam
SEBELUM menjadi presiden, Joko Widodo telah mencanangkan visi-misinya yang disebut Nawacita. Pada program keempat tentang penegakan hukum disebutkan antara lain "menghormati HAM dan penyelesaian berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu". Jadi, kalau ada menteri yang kurang peduli terhadap penyelesaian masa lalu, tentu ia tidak membaca dan memahami Nawacita.
Dari kasus pelanggaran HAM masa lalu sejak 1945 sampai 2000, salah satunya dan yang paling menonjol adalah kasus 1965 yang merupakan pembunuhan massal terbesar dalam sejarah Indonesia: 500.000 orang. Belanda yang berada di Nusantara selama 350 tahun menewaskan 125.000 orang Indonesia, 75.000 di antaranya di Aceh. Jadi, jauh lebih banyak korban pembunuhan sesama bangsa sendiri.
Komisi Nasional HAM telah menghasilkan laporan penyidikan pro-justicia tentang kejahatan kemanusiaan 1965, seyogianya Kejaksaan Agung tidak bermain-main untuk menindaklanjutinya dalam rangka melaksanakan Nawacita.
Peristiwa 1965 telah berlangsung selama hampir 50 tahun tanpa penyelesaian yang komprehensif dan berkeadilan. Dalam waktu dekat ada beberapa hal yang dapat dilakukan presiden, meminta maaf atas kekeliruan negara dan menanggapi petitum Mahkamah Agung.
Meminta maaf
Pertama, presiden Indonesia perlu meminta maaf kepada ribuan patriot Indonesia yang dicabut kewarganegaraannya setelah Gerakan 30 September (G30S) 1965 meletus. Tahun 1960-an Presiden Soekarno mengirim ribuan "mahid" (mahasiswa ikatan dinas) ke luar negeri untuk mempersiapkan pembangunan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena dianggap sebagai pendukung Soekarno, paspor mereka dicabut dan mereka kehilangan kewarganegaraan. Hampir semuanya telah menjadi warga negara asing walau mereka tetap bersemangat mengikuti peringatan proklamasi kemerdekaan di KBRI setempat, termasuk membacakan teks Pancasila. Rata-rata berusia 75 tahun atau lebih dan sebagian besar telah meninggal.
Kedua, presiden Indonesia seyogianya menyatakan kekeliruan pemerintah pada masa lalu dalam membuang lebih dari 10.000 orang ke Pulau Buru selama 10 tahun (1969-1979). Tanpa proses pengadilan, mereka dipekerjakan secara paksa dalam suatu kamp konsentrasi tanpa tahu kapan akan dibebaskan. Protes lembaga internasional yang menyebabkan Pemerintah Indonesia mengakhiri kejahatan kemanusiaan ini
Ketiga, presiden sebaiknya meminta maaf kepada anak-anak korban peristiwa 1965 yang tidak boleh menjadi PNS dan ABRI sejak Instruksi Menteri Dalam Negeri dikeluarkan pada 1981. Terlepas dari orangtuanya bersalah atau tidak, anak-anak mereka sama sekali tidak boleh didiskriminasikan dalam memilih lapangan pekerjaan seperti dijamin dalam UUD 1945.
Keempat, presiden tentu perlu menanggapi petitum Mahkamah Agung tahun 2011. Dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Keputusan Presiden RI Nomor 28 Tahun 1975 tanggal 25 Juni 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 33 P/HUM/2011 yang menyatakan keputusan presiden tersebut beserta seluruh peraturan di bawahnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, Mahkamah Agung "memerintahkan kepada Presiden RI untuk mencabut Keputusan Presiden No 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C tanggal 25 Juni 1975 tersebut".
Pada era Reformasi dengan bersusah payah dilahirkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tahun 2004. Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersikap setengah hati dengan tidak kunjung menetapkan nama-nama anggota KKR yang diberikan panitia seleksi untuk selanjutnya dipilih DPR. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Jimly Asshiddiqie secara ultrapetita merobohkan UU itu.
Membuat terobosan
Pengganti undang-undang itu sudah selesai digodok oleh Kementerian Hukum dan HAM, tetapi tidak kunjung diserahkan pemerintah kepada DPR. Selain Pengadilan HAM ad hoc, KKR diperlukan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara komprehensif.
Sebagai terobosan, sebaiknya pembentukan komisi ini tidak lagi dengan undang-undang yang akan memakan waktu lama, tetapi cukup dengan keputusan presiden. Jadi, merupakan komisi negara yang dibentuk presiden dengan personel yang ramping dan bertugas dalam tempo yang tidak terlalu lama, misalnya dua tahun.
Semoga surat ini dapat membantu Presiden Joko Widodo dalam membuat terobosan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang termasuk program Nawacita. Dengan demikian, bangsa ini dapat melangkah ke depan tanpa beban. []
KOMPAS, 10 Desember 2014
Asvi Warman Adam ; Visiting Research Scholar pada CSEAS Kyoto University--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar