Blognya alumni SMPN 1 Magelang; berbagi kenangan; berbagi rasa dan berbagi cerita.... OPEN to all of alumnus.
12.16.2014
Ha ha. haaa...ngeles dot com
From: <syauqiyahya@gmail.com>
Mengapa Menkumham Beda Sikapi Konflik PPP dan Golkar?
16 Desember 2014 11:31 WIB

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasona Laoly
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memutuskan tidak mengesahkan hasil dua musyawarah nasional (Munas) Partai Golkar di Bali maupun di Ancol. Keputusan ini terlihat kontradiktif dengan konflik yang terjadi di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terkait dualisme kepengurusan beberapa waktu lalu.
Menkumham Yasonna Laoly beralasan, konflik yang terjadi di dua partai itu berbeda konteks. Di PPP, kata dia, Kemenkumham harus memutuskan keabsahan kepengurusan baru tujuh hari setelah forum tertinggi partai digelar. Muktamar PPP yang digelar di Surabaya telah memenuhi kuorum sesuai Undang-Undang tentang Partai Politik.
"Kalau PPP (Muktamar Surabaya) itu memenuhi (kuorum), mungkin beda halnya kalau pada hari yang sama ada muktamar juga. //Case//-nya berbeda, sangat berbeda," katanya di kantor Kemenkumham, Jakarta, Selasa (16/12).
Sementara di Partai Golkar, lanjutnya, dua kubu menyerahkan kepengurusan pada hari yang sama sesuai dengan munas atau forum tertinggi partai versi masing-masing. Hal ini menjadi alasan Kemenkumham untuk mengambil keputusan dengan tidak mengesahkan kedua susunan kepengurusan Partai Golkar yang diajukan dan meminta diselesaikan di internal partai.
Sebelumnya, Yasonna memutuskan tidak mengesahkan kedua susunan kepengurusan Partai Golkar yang diajukan kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono. Kemenkumham beranggapan, dualisme kepemimpinan yang terjadi harus diselesaikan melalui mekanisme internal partai.
Yasonna mengatakan, dari pertimbangan aspek yuridis, fakta dan dokumen yang diterima, disimpulkan bahwa masih ada perselisihan di internal partai berlambang beringin tersebut. Kemenkumham, kata dia, tidak bisa memutuskan keabsahan kepengurusan salah satunya. Sebab, jika memutuskan sah salah satu hal itu bisa dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah.
"Kami dengan berat hati tidak bisa memutuskan ke mana, sesuai Pasal 24 UU Parpol dalam hal terjadi perselisihan parpol hasil pengambilan keputusan belum dapat dilakukan oleh menteri sampai perselisihan selesai," katanya.
Red: Esthi Maharani
Rep: Mas Alamil Huda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar