From: Ananto pratikno
Ketika Presiden Soekarno ditumbangkan sekelompok elit ahli ekonomi dan sosiologi berpendikan Barat, Amerika segera mengambil alih kendali politik dan ekonomi di negeri ini, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Mereka para sarjana ahli perancang pembangunan, dikenal dengan sebutan teknokrat. Berbeda dengan sebelumnya, setiap menteri saat itu mulai unjuk gelar akademis serenteng, tiga di depan, dan tiga lagi di belakang namanya. Prof. Dr. Ir, ditambah di belakang nama dengan gelar SH, MA. M.Sc. M.ML, kalu perlu ditambah dengan jenderal.
Bahkan menteri Agama yang selama ini dijabat oleh para Kiai NU lulusan pesantren, diganti dengan Mukti Ali yang bergelar Prof. Dr dan MA, bukan alumni Al-Azhar, tapi alumni Universitas Mc Gill Canada. Gelar itu dipampang sedemikian rupa, agar rakyat percaya bahwa rezim ini lebih baik dari rezim sebelumnya.
Dari Pelita (Pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun) demi Pelita reputasi mereka semakin menonjol. Kepada mereka itulah seluruh bangsa ini diminta untuk berterima kasih. Karena mereka membawa Indonesia maju dalam bidang ekonomi, politik, dan pendidikan. Saat itu sarjana tidak menjadi barang langka lagi. Doktor dan aneka gelar dari kampus-kamus tersebar di mana-mana. Tapi, di sisi lain pendidikan pesantren mulai merana. Demikian juga ulama sepuh sudah banyak yang meninggal dunia.
Untuk mengatasi kelangkaan ulama, sebagian organisasi Islam mengambil jalan pintas dengan mengubah definisi ulama. Ulama, kata mereka, bukan hanya orang yang ahli agama, tapi termasuk yang ahli ilmu, alam ilmu sosial dan sebagainya.
Walaupun makna generik, makna etimologi, arti harfiah dari ulama adalah orang yang terpelajar, bahasa kerennya sarjana. Tapi makna kultural dan ideologisnya sangat jauh berbeda.
Ketika KH Saifuddin Zuhri, mantan Sekjen PBNU dan juga mantan Menteri Agama menulis tentang peran ulama di Harian Kompas (6 Juli 1981), segera mendapat tanggapan dari seseorang dengan nama samaran Abu Su'ud, yang dengan tegas mengusulkan agar definisi ulama model kuno itu ditinggalkan.
Dengan demikian yang disebut ulama tidak hanya KH Wahab Chasbullah, KH Idham Chalid dan sebagainya yang hanya ahli agama. Seharusnya yang layak mendapat gelar ulama adalah para teknokrat terkemuka seprti Prof. Sumitro Djojohadikusumo, Prof Dr. Widjojo Nitisastro, Prof Emil Salim, Prof. Ali Wardhana dan sebagainya, yang kontribusinya pada pembanguan saat ini telah jelas.
Dengan rendah hati KH Saifuddin Zuhri menjawab, dia tidak memiliki referensi yang cukup untuk memberi gelar ulama pada mereka, demikian juga umat Islam juga belum memiliki kemauan untuk menyebut mereka ulama. Tidak lama setelah itu, terbitlah tulisan cukup mengagetkan dari David Ramson, Ford Country: Building an Etite for Indonesia. Ramson mengungkapkan bahwa para teknokrat yang disanjung itu tidak lebih adalah kepanjangan tangan kapitalis. Mereka menjadi sekelompok mafia yang menguasai seluruh sektor kehidupan. Karena mereka dididik di berbagai universitas terkemuka di Amerika terutama di Berkeley. Mereka disebut Mafia Berkeley.
Menurut penyelidikan Ramson, mereka bekerja bukan untuk rakyat di tanah airnya. Tapi untuk para pemilik modal di negara kaptalis, dengan mendapatkan gaji tinggi dan berbagai fasilitas pesta pora.
Dengan buku itu orang segera ingat bahwa belum lama sebelumnya Prof. Sumitro adalah pemimpin pemberontak PRRI yang bekerjasama dengan CIA, berkhianat melawan pemerintah sah RI, yang kemudian digempur oleh TNI. Dia lari ke luar negeri. Merecoki Indonesia dari jauh sana. Mata rakyat terbelalak melihat kenyataan ini.
Kaum teknokrat yang dulu dipuja, dikagumi, kini dicaci, dipandang sebagai kelompok mafia. Mafia Berkeley menjadi sasaran kritik di mana-mana, baik di kalangan mahasiswa aktivis sosial maupun di kalangan pimpinan politik dan ormas. Mereka sepakat bahwa para mavia tidak pantas mendapatkan penghargaan, apalagi mendapatkan gelar luhur sebagai ulama. Akhirnya usulan para teknokrat menjadi ulama yang digalang selama ini mengalami aborsi sendiri.
Semuanya terbukti bahwa apa yang digagas dan dibangun para teknokrat ini hanya pembangunan semu, palsu. Tidak memiliki basis pada industri nasional, dan tidak mengabdi pada kepentingan rakyat. Tapi, semuanya diabdikan untuk pemodal asing. Karena itu sedikit terjadi goncangan politik orde baru, seluruh bangunan ekonomi mengalami krisis dan kemudian ambruk bersama ambruknya orde baru. Para teknokrat tidak bisa bicara, semua usahanya terbukti palsu. omong kosoang kebangkitan ekonomi nasional. Tiada kebangkitan ekonomi rakyat. Negara terjerumus dalam utang yang dirancang dan dilakukan serta dinikmati para teknokrat.
Sementara ulama bukan sekadar lembaga keilmuan, tapi yang mahapenting keulamaan adalah sebuah lembaga moral, sebagai waratsatul anbiya (warisan yang diamanatkan oleh para nabi). Mereka bekerja untuk umat dengan penuh resiko. Tanpa minta bayaran, tanpa perlu popularitas. Dengan moralyang tinggi, mereka hanya mengabdi pada Allah dan umat. Ulama tidak sudi menjadi pelayan bangsa asing untuk mengisap bangsa sendiri.
Di sini akhirnya kelihatana siapa ulama sebenarnya, siapa penghianat sebenarnya. Menurut pepatah Jawa, becik ketitik olo ketoro (kebaajikan akan ketahuan dan keburukan akan ketahuan). Melihat kenyataan itu, maka saat ini orang tidak lagi ribut tentang definisi ulama dan tidak gegebah memberi gelar ulama pada siapa yang dikaguminya. []
(Abdul Mun'im DZ)
--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar