From: A.Syauqi Yahya
SABTU, 01 NOVEMBER 2014 | 23:01 WIB
Harapan
Putu Setia
Para menteri yang membantu Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla segera bekerja sesuai dengan namanya: Kabinet Kerja. Mereka bekerja bahkan sebelum serah-terima dengan menteri terdahulu. Orang-orang menyambutnya dengan sukacita. Sebuah harapan datang, harapan yang membawa kebaikan.
Itu bagi kaum optimistis. Di negeri ini, antara kaum optimistis dan pesimistis sama-sama lebay. Yang pesimistis menyebutkan Kabinet Kerja ini kabinet transaksional yang amburadul. Sekian menteri bermasalah, sekian menteri tak pantas dalam jabatannya, sekian menteri titipan. Sekian menteri baik, itu tak ada.
Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, jadi bintang dan dipuja. Hanya lulus sekolah menengah pertama, tapi gebrakannya langsung menohok. Berbagai rapat diadakan untuk menanggulangi pencurian ikan. Tapi yang mencela Susi banyak dikaitkan dengan ulahnya yang sepintas tampak eksentrik-meski itu pembawaan aslinya. Pakar kelautan di Institut Teknologi Bandung pun menyebut pemilihan Susi sangat ngawur. Dan Susi menantangnya dengan sesekali-bukan dengan maksud mengejek-memakai bahasa Inggris dengan fasih, siapa yang lebih paham tentang laut.
Saya teringat dongeng kebajikan ala India. Kisah seorang profesor yang bertahun-tahun meneliti soal gaya berenang dan menghasilkan buku yang sangat bagus. Ketika buku di-launching di tepi pantai dan ombak besar datang, profesor itu terseret nyaris tenggelam. Untung ia diselamatkan anak nelayan. Profesor hanya ahli berteori, tapi tak bisa berenang. Sementara anak nelayan tak paham teori, tapi bisa berenang.
Kita harus sabar menilai orang, jangan grasa-grusu nyinyir dengan melihat penampilan fisik dan pendidikan formalnya. Mari kita tunggu hasil kerjanya. Jika kerjanya buruk, kita koreksi. Jika tetap buruk, kita usulkan diganti. Menteri bukan jabatan yang sulit untuk diganti.
Yang sulit diganti adalah anggota DPR. Kalau partainya tidak mengganti, meski ulahnya menyebalkan atau rekam jejaknya distabilo merah oleh KPK (sayangnya KPK tak berani berbuat itu seperti kepada calon menteri), tetap saja mereka di Senayan. Apalagi pimpinan DPR. Sudah jelas memihak kelompoknya dalam memimpin sidang, mereka tetap tak peduli betapa pun meja-meja dirobohkan. Mereka tak lagi menjadi wakil rakyat, melainkan telah menjelma menjadi wakil partai.
Menariknya, kaum optimistis dan pesimistis seperti sepakat untuk tidak berbeda pandangan mengenai keadaan yang amburadul di parlemen. Mau bersikap rakus "sikat habis semua jabatan", mau bersikap "buat DPR tandingan", suka-suka merekalah. Rakyat sudah tak menaruh harapan apa-apa terhadap DPR periode ini: "DPR salah asuhan". Paling-paling disikapi sebagai lelucon dan mereka pun sepertinya tetap bangga sambil terus berkata: "kami berjuang untuk rakyat." Prettt.
Lalu, ke mana harapan tentang kebaikan bangsa secara keseluruhan? Di eksekutif, ada harapan betapa pun sebagian kecil masih ada yang sangsi. Tinggal menunggu hasil gebrakan kerja. Namun di parlemen, harapan itu sudah redup, entah kalau ada yang kembali menyalakannya dalam waktu dekat. Parlemen yang kini terbelah dan yang sepenuhnya mewakili kepentingan kelompok bisa menghambat pemerintah karena sebagian besar program pemerintah tergantung parlemen. Baik DPR Merah Putih maupun DPR Hebatâ€"yang sudah punya pimpinan sementara-sama-sama buruk dan tak memberikan aura positif untuk pekerjaan yang dilakukan eksekutif.
Parlemen harus disembuhkan, jangan sampai terus-menerus jadi ejekan rakyat, karena parlemen adalah wakil-wakilnya rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar