Dari: "Ananto pratikno.ananto
>
>
> Seputar Pilihan Rais Am Nahdlatul Ulama
>
> Oleh: Saifullah Yusuf
>
>
>
> TAHUN lalu, ketika menjelang konferensi NU Jawa Timur, banyak dibicarakan seputar wacana mekanisme penetapan pimpinan para ulama –ahli waris para nabi– ini. Sesuai dengan namanya, NU memang "semata" tempat berkumpulnya para ulama. Mereka ber-jam'iyyah untuk menjaga keberlanjutan risalah di tengah jamaah. Agar jam'iyyah berjalan baik, dibuatlah beberapa alat kelengkapannya, antara lain jabatan rais am di level syuriah.
>
>
>
> Menurut catatan, mereka yang duduk di majelis syuriah adalah "murni" para ulama. Para pemangku ilmu keagamaan yang mumpuni, pengamal hikmah, dan terbiasa hidup penuh wara' dan zuhud. Mereka lebih berorientasi pada kehidupan akhirat meski sama sekali tidak melupakan dunia. Karena, antara lain, perspektifnya berbeda dari orang kebanyakan dalam memandang hidup, bagi mereka berbicara, mengangankan, apalagi memperebutkan jabatan duniawi adalah tabu. Termasuk jabatan rais am.
>
>
>
> Mengangankan dan memperebutkan jabatan, terlebih amanah sebagai rais am, bukanlah akhlak para ulama, seperti di NU. Sebagai kumpulan para ahli waris nabi, pantang bagi mereka terlibat atau dipaksa terlibat dalam urusan beginian. Mereka adalah tiang-tiang pancang Tuhan yang bertugas menyangga kehidupan di atas bumi. Demikian mulia tugas itu sehingga tidak sembarang orang bisa disebut ulama. Jabatan ulama adalah warisan dari para manusia terpilih, yaitu para nabi.
>
>
>
> Bermula dari Muktamar Ke-30 NU di Lirboyo, Kediri, hingga ke-32 di Makassar, rais am dipilih secara langsung, persis pemilihan ketua umum PB NU. Pada muktamar ke-32 di Makassar, persaingan cukup mengeras. Nama KH M.A. Sahal Mahfudz, KH Mustofa Bisri, KH Maimoen Zubair, KH Ma'ruf Amien, KH Habib Luthie, dan KH A. Hasyim Muzadi disebut muktamirin layak menjadi kandidat untuk bertarung memperebutkan kursi rais am. Diam-diam, banyak yang terhenyak. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi. Sebab, di NU hal-hal demikian termasuk tindakan khaariqul 'aadah alias tidak biasa, khususnya di kalangan ulama sepuh.
>
>
>
> Jamaknya sebuah organisasi, NU juga mengalami pasang surut dan silih bergantinya para pimpinan. Tetapi, sepanjang catatan sejarahnya, organisasi ini tak pernah mengalami keriuhan selain dua kali muktamar pada 1984 di Situbondo, Jawa Timur, dan 1994 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tapi, dari Situbondo, lahirlah duet maut KH Achmad Shiddiq-KH Abdurrahman Wahid dan dari Cipasung muncul pasangan Ajengan Ilyas Ruhiyat-Gus Dur.
>
>
>
> Jauh sebelum itu, para kiai sepuh sudah memberikan teladan yang mesti kita pegang dan kita ta'dzimi. Lihatlah bagaimana Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Wahab Chasbullah menolak menjadi rais akbar karena masih ada KH Hasyim Asy'ari. Bahkan, sepeninggal hadratus syaikh, dua ulama sepuh itu tetap menolak jabatan tersebut, lebih-lebih kiai lainnya. Saat Kiai Wahab Chasbullah akhirnya bersedia, itu pun dengan konsensus agar nomenklatur rais akbar diganti dengan istilah rais am.
>
>
>
> Saat Kiai Wahab sakit sepuh, muktamirin menginginkan Kiai Bisri Syansuri siap-siap menggantikan. Tapi, Kiai Bisri menolak. Alasannya, Kiai Wahab masih ada. Bahkan meski Mbah Wahab sudah gering dan hanya bisa sarean (rebahan), Kiai Bisri tetap menolak. Sepeninggal Kiai Bisri menjadi rais am untuk menggantikan Mbah Wahab, para kiai sepuh berembuk memilih pengganti. Seperti Mbah Wahab dan Mbah Bisri, saat diminta jadi rais am, Raden KH As'ad Syamsul Arifin (Situbondo) juga menolak.
>
>
>
> Beliau merasa belum "pangkatnya". Ketika dipaksa para kiai, Kiai As'ad dengan tegas menjawab, "Meski Malaikat Jibril turun dari langit untuk memaksa, saya pasti akan menolak. Yang pantas itu Kiai Machrus Ali, Lirboyo." Kiai Machrus menukas saat namanya disebut Kiai As'ad. "Jangankan Malaikat Jibril, kalaupun Malaikat Izrail turun dan memaksa saya, saya tetap tidak bersedia!" Akhirnya, musyawarah ulama memutuskan memilih Kiai Ali Maksum dari Krapyak, Jogjakarta, yang saat itu tidak hadir.
>
>
>
> Nah, mekanisme musyawarah itu lazim disebut dengan ahlul halli wal 'aqdi. Ya, semacam pemilihan pimpinan dengan menggunakan mekanisme formatur. Menjelang Muktamar Ke-33 NU mendatang, ada baiknya kaum nahdliyin kembali merenungkan teladan yang diajarkan oleh para pendiri NU tersebut. Agar mereka yang benar-benar ulama sajalah yang akan memangku amanah syuriah. Penerapan mekanisme itu dilandasi prinsip saddudz-dzari'ah.
>
>
>
> Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang berakhir pada 2 November lalu di Jakarta telah menetapkan rancangan ahlul halli wal 'aqdi sebagai mekanisme untuk memilih rais am pada muktamar 2015. Itulah salah satu cara paling bijak untuk menghindarkan perselisihan dan perpecahan serta praktik pemilihan yang tidak bersih. Sebenarnya konsep tersebut telah diterapkan dalam sejarah perkembangan NU, dalam penetapan kepemimpinan sejak NU berdiri pada 1926 sampai 1952, ketika NU menjadi partai politik. Juga diterapkan lagi dalam Muktamar Ke-27 NU di Situbondo pada 1984, saat jam'iyyah ini kembali ke khitah 1926.
>
>
>
> Lazimnya dalam tradisi NU, ahlul halli memiliki kualifikasi tertentu seperti berkepribadian adil, jujur, dan tepercaya. Memiliki pengetahuan untuk memilih orang yang berkemampuan memimpin dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Memiliki pandangan yang cermat dan arif sebagai ahli hikmah dalam memilih calon pemimpin terbaik yang akan membawa lebih banyak kemaslahatan. Jika ada pertanyaan siapa yang berhak menjadi ahlul halli wal 'aqdi, tentu jawabnya yang paling tahu adalah peserta muktamar.
>
>
>
> Tetapi, PB NU bisa menyusun rancangan tata cara penjaringan dan kriteria calon serta menjaring calon anggota ahlul halli yang berjumlah sembilan orang. Mereka berasal dari unsur jam'iyyah-struktural dan jamaah-nonstruktural. Ahlul halli bertugas membuat garis-garis besar kepemimpinan NU, menetapkan haluan dasar, dan memilih rais am. Tugas mereka berakhir setelah terpilihnya rais am dan wakil rais am serta terbentuknya pengurus harian PB NU. Sementara pemilihan Ketum PB NU tetap melalui pemilihan langsung oleh muktamirin. []
>
>
>
> JAWA POS, 04 November 2014
>
> Saifullah Yusuf ; Wakil Gubernur Jawa Timur
>
>
>
> --
> http://harian-oftheday.blogspot.com/
>
> "...menyembah yang maha esa,
> menghormati yang lebih tua,
> menyayangi yang lebih muda,
> mengasihi sesama..."
>
> __._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar