Radin Inten II, Muda, Berbahaya, ditakuti Belanda Namun dihabisi Bangsanya
Sendiri.
Radin Inten II lahir lahir di Kuripan, Lampung, 1 Januari 1834 – meninggal
di Negara Ratu, Lampung, 5 Oktober 1858 pada umur 24 tahun adalah seorang
pahlawan nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai sebuah Bandara
Radin Inten II dan perguruan tinggi UIN Raden Intan di Lampung.
Berdasarkan penelitian, Radin Inten II masih keturunan Fatahillah yang
dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dari perkawinannya dengan Putri Sinar
Alam, seorang putri dari Minak Raja Jalan Ratu dari Keratuan Pugung,
cikal-bakal pemegang kekuasaan di keratuan tersebut.
Pada saat Radin Inten II lahir tahun 1834, ayahnya, Radin Imba II,
ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke P. Timor, akibat memimpin perlawanan
bersenjata menentang kehadiran Belanda yang ingin menjajah Lampung.
Istrinya yang sedang hamil tua, Ratu Mas, tidak dibawa ke pengasingannya.
Pemerintahan Keratuan Lampung dijalankan oleh Dewan Perwalian yang
dikontrol oleh Belanda.
Radin Inten II tidak pernah mengenal ayah kandungnya tersebut, tetapi
ibunya selalu menceritakan perjuangan ayahnya sehingga pada saat dinobatkan
sebagai Ratu Negara Ratu, Radin Inten II melanjutkan berjuang memimpin
rakyat di daerah Lampung untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan
wilayahnya. Perjuangannya didukung secara luas oleh rakyat daerah Lampung
dan mendapatkan bantuan dari daerah lain, seperti Banten.
Salah satunya dengan H. Wakhia, tokoh Banten yang pernah melakukan
perlawanan terhadap Belanda dan kemudian menyingkir ke Lampung. Radin Inten
II mengangkat H. Wakhia sebagai penasihatnya. H. Wakhia menggerakkan
perlawanan di daerah Semangka dan Sekampung dengan menyerang pos-pos
militer Belanda. Tokoh lain yang juga menjadi pendukung utama Radin Inten
II ialah Singa Beranta, Kepala Marga Rajabasa.
Sementara itu, Radin Inten II memperkuat benteng-benteng yang sudah ada dan
membangun benteng-benteng baru. Benteng-benteng ini dipersenjatai dengan
meriam, lila, dan senjata-senjata tradisional. Bahan makanan seperti beras
dan ternak disiapkan dalam benteng untuk menghadapi perang yang
diperkirakan akan berlangsung lama. Semua benteng tersebut terletak di
punggung gunung yang terjal, sehingga sulit dicapai musuh. Beberapa
panglima perang ditugasi memimpin benteng-benteng tersebut. Singaberanta,
misalnya, memimpin benteng Bendulu, sedangkan Radin Inten II sendiri
memimpim benteng Ketimbang.
Melihat munculnya kembali perlawanan di daerah Lampung setelah reda selama
enam belas tahun, pada tahun 1851 Belanda mengirim pasukan dari Batavia.
Pasukan berkekuatan 400 prajurit yang dipimpin oleh Kapten Jucht ini
bertugas merebut benteng Merambung. Akan tetapi, mereka dipukul mundur oleh
pasukan Radin Inten II. Karena gagal merebut Merambung, Belanda mengubah
taktik. Kapten Kohler, Asisten Residen Belanda di Teluk Betung, ditugasi
untuk mengadakan perundingan dengan Radin Inten II.
Setelah berkali – kali mengadakan perundingan, akhirnya dicapai perjanjian
untuk tidak saling menyerang. Belanda mengakui eksistensi Negara Ratu.
Raden Inten II pun mengakui kekuasaan Belanda di tempat – tempat yang sudah
mereka duduki. Perjanjian itu digunakan Belanda hanya sebagai adem pause
menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan besar – besaran. Bagi mereka
dengan cara apa pun, Raden Inten II harus ditundukan.
Belanda yakin, selama Radin Inten II masih berkuasa, kedudukan mereka di
Lampung akan tetap terancam. Namun, sebelum memulai serangan-serangan baru,
Belanda berusaha memecah belah masyarakat Lampung. Kelompok yang satu diadu
dengan kelompok yang lain. Di kalangan masyarakat ditimbulkan suasana
saling mencurigai. Tugas itu dipercayakan kepda Kapten Kohler.
Di beberapa tempat usahanya berhasil. Pemuka – pemuka masyarakat Kalianda,
misalnya, termakan hasutan untuk memusuhi Radin Inten II, sehingga mereka
tidak menghalang – halangi pasukan Belanda berpatroli di sekitar Gunung
Rajabasa.
Pada tanggal 10 Agustus 1856 pasukan Belanda diberangkatkan dari Batavia
dengan beberapa kapal perang. Pasukan ini dipimpin oleh Kolonel Welson dan
terdiri atas pasukan infanteri, artileri dan zeni disertai sejumlah besar
kuli pengangkut barang. Esok harinya mereka mendarat di Canti. Kekuatan
mereka bertambah dengan bergabungnya pasukan Pangeran Sempurna Jaya Putih,
bangsawan Lampung yang sudah memihak Belanda.
Iring – iringan kapal perang Belanda yang memasuki perairan Lampung ini
dilihat oleh Singaberanta dari Benteng Bendulu. Ia segera mengirim kurir ke
Benteng Ketimbang untuk memberitahukan hal itu kepada Radin Inten II yang
selanjutnya memerintahkan pasukannya di benteng-benteng lain agar
menyiapkan diri.
Belanda mengirim ultimatum kepada Radin Inten II agar paling lambat dalam
waktu lima hari ia dam seluruh pasukannya menyerahkan diri. Bila tidak,
Belanda akan melancarkan serangan. Singaberanta pun dikirimi surat yang
mengajaknya untuk berdamai. Sambil menunggu jawaban dari Radin Inten II dan
Singaberanta, pasukan Belanda mengadakan konsolidasi. Radin Inten II pun
meningkatkan persiapannya.
Benteng-benteng diperkuat. Beberapa orang kepercayaannya diperintahkan
memasuki daerah-daerah yang sudah dikuasai Belanda untuk menganjurkan
penduduk di tempat tersebut agar mengadakan perlawanan. Sampai batas waktu
ultimatum berakhir, baik Radin Inten II maupun Singaberanta tidak
memberikan jawaban.
Maka, pada tanggal 16 Agustus 1856 pasukan Belanda pun mulai melancarkan
serangan. Sasaran mereka hari itu ialah merebut Benteng Bendulu. Pukul
08.00 mereka sudah tiba di Bendulu setelah menempuh jarak setapak di
punggung gunung yang cukup terjal.
Akan tetapi, mereka menemukan benteng itu dalam keadaan kosong.
Singaberanta sudah memindahkan pasukannya ke tempat lain. Ia dengan sengaja
menghindari perang terbuka, sebab yakin bahwa pasukan lawan yang
dihadapinya jauh lebih kuat. Pasukannya disebar di tempat-tempat yang cukup
tersembunyi dengan tugas melakukan pencegatan terhadap patroli pasukan
Belanda yang keluar benteng. Sesudah menduduki Benteng Bendulu, sebagian
pasukan Belanda bergerak ke benteng Hawi Berak yang dapat mereka kuasai
pada tanggal 19 Agustus.
Di Bendulu, pasukan Belanda berhasil menangkap seorang kemenakan
Singaberanta dan 14 orang lainnya. Mereka dipaksa menunjukkan tempat
Singaberanta dan menunjukkan jalan menuju Ketimbang. Semuanya mengatakan
tidak tahu. Namun, mereka terpaksa menunjukkan tempat Singaberanta
menyimpan senjata, antara lain 25 tabung mesiu, 1 pucuk meriam, 4 pucuk
lila, dan beberapa pucuk senapan.
Sasaran utama Belanda ialah merebut benteng Ketimbang, sebab di benteng
inilah Radin Inten II bertahan. Untuk merebut benteng ini, kolonel Waleson
membagi tiga pasukannya. Satu pasukan bergerak dari Bendulu ke arah selatan
dan timur Gunung Rajabasa, satu pasukan bergerak menuju Kalianda dan Way
Urang dengan tugas merebut benteng Merambung dan setelah itu langsung
menuju Ketimbang.
Pasukan ketiga bergerak dari Panengahan untuk merebut benteng Salai Tabuhan
dan selanjutnya menuju Ketimbang. Ternyata, pelaksanaannya tidak semudah
seperti yang direncanakan. Kesulitan utama ialah Belanda belum mengetahui
jalan menuju Ketimbang. Penduduk yang tertangkap tidak mau menunjukkan
jalan tersebut. Oleh karena itu, pasukan yang langsung dipimpin Kolonel
Welson dan sudah menduduki Hawi Berak, terpaksa kembali ke Bendulu. Pasukan
lain yang dipimpin Mayor Van Ostade berhasil mencapai Way Urang yang
penduduknya sudah memihak Belanda. Walaupun pasukan ini sempat tertahan di
Kelau akibat serangan yang dilancarkan pasukan Radin Inten II, tetapi
akhirnya mereka berhasil juga merebut benteng Merambung.
Sebenarnya, letak benteng Ketimbang tidak jauh dari benteng Merambung. Akan
tetapi, Belanda tidak mengetahuinya. Kesulitan untuk mengetahui jalan
menuju Ketimbang baru dapat mereka atasi pada tanggal 26 Agustus. Pada hari
itu Belanda berhasil menangkap dua orang anak muda. Seorang diantaranya
ditembak mati karena berusaha melarikan diri. Yang seorang lagi diancam
akan dibunuh bila tidak mau menunjukkan jalan ke Ketimbang. Anak muda
itupun terpaksa menuruti kehendak Belanda.
Setelah jalan ke Ketimbang diketahui, Kolonel Welson segera memerintahkan
pasukannya untuk melakukan serbuan. Subuh tanggal 27 Agustus mereka mulai
bergerak. Ketika tiba di Galah Tanah pukul 10.00 mereka dihadang oleh
pasukan Radin Inten II. Pertempuran di tempat ini dimenangi oleh Belanda.
Begitu pula pertempuran berikutnya di Pematang Sentok. Sebagian pasukan
ditinggalkan di Pematang Sentok dan sebagian lagi meneruskan gerakan ke
Ketimbang. Tengah hari pasukan ini sudah tiba di Ketimbang. Sesudah itu
datang pula pasukan lain, termasuk pasukan Pangeran Sempurna Jaya Putih.
Ternyata, benteng Ketimbang sudah ditinggalkan oleh Radin Inten II dan
pasukannya. Dalam benteng ini Belanda menemukan bahan makanan dalam jumlah
yang cukup banyak. Benteng Ketimbang sudah jatuh ke tangan Belanda. Akan
tetapi, Kolonel Welson kecewa, sebab Radin Inten II tidak tertangkap atau
menyerah.
Welson mengirimkan pasukannya ke berbagai tempat untuk mencari Radin Inten
II. Sebaliknya, untuk mengacaukan pendapat Belanda, Radin Inten II
menyebarkan berita-berita palsu melalui orang-orang kepercayaannya. Beredar
berita bahwa ia sudah menyerah di Way Urang. Welson pun segera menuju Way
Urang. Ternyata, orang yang dicarinya tidak ada di tempat itu. Seorang
perempuan melaporkan pula bahwa Radin Inten II ada di Rindeh dan hanya
ditemani oleh beberapa orang pengikutnya. Berita itu pun ternyata berita
bohong. Suatu kali, Belanda mengetahui tempat persembuyian Radin Inten II.
Tempat itu pun dikepung di bawah pimpinan Kapten Kohler. Akan tetapi, Radin
Inten II berhasil meloloskan diri.
Sampai bulan Oktober 1856 sudah dua setengah bulan Belanda melancarkan
operasi militer. Satu demi satu benteng pertahanan Radin Inten II berhasil
mereka duduki. Namun, Radin Inten II masih belum tertangkap. Sementara itu,
Belanda mendapat laporan bahwa Radin Inten II sudah pergi ke bagian utara
Lampung, menyeberangi Way Seputih. Berita lain mengabarkan bahwa
Singaberanta berada di Pulau Sebesi.
Belanda mengarahkan pasukan untuk memotong jalan Radin Inten II. Pasukan
juga dikirim ke Pulau Sebesi untuk mencari Singaberanta. Hasilnya nihil.
Baik Radin Inten II maupun Singaberanta tidak mereka temukan. Kolonel
Welson hampir putus asa, ia merasa dipermainkan oleh seorang anak muda
berumur 22 tahun.
Akhirnya, Waleson menemukan cara lain. Ia berhasil memperalat Radin
Ngerapat. Maka pengkhianatan pun terjadi. Radin Ngerapat mengundang Radin
Inten II untuk mengadakan pertemuan. Dikatakannya bahwa ia ingin
membicarakan bantuan yang diberikannya kepada Radin Inten II. Tanpa curiga,
Radin Inten II memenuhi undangan itu. Pertemuan diadakan malam tanggal 5
Oktober 1856 di suatu tempat dekat Kunyanya. Radin Inten II ditemani oleh
satu orang pengikutnya. Radin Ngerapat disertai pula oleh beberapa orang.
Akan tetapi, di tempat yang cukup tersembunyi, beberapa orang serdadu
Belanda sudah disiapkan untuk bertindak bila diperlukan. Radin Ngerapat
mempersilahkan Radin Inten II dan pengiringnya memakan makanan yang sengaja
dibawanya terlebih dahulu.
Pada saat Radin Inten menyantap makanan tersebut, secara tiba-tiba ia
diserang oleh Radin Ngerapat dan anak buahnya. Perkelahian yang tidak
seimbang pun terjadi. Serdadu Belanda keluar dari tempat persembunyiannya
dan ikut mengeroyok Radin Inten II. Radin Inten II wafat dalam perkelahian
itu karena pengkhianatan yang dilakukan oleh orang sebangsanya dalam usia
sangat muda, 22 tahun. Malam itu juga mayatnya yang masih berlumuran darah
diperlihatkan kepada Kolonel Welson. Pada tahun 1986 Pemerintah Republik
Indonesia menganugerahinya gelar pahlawan nasional (Surat Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 082 Tahun 1986 tanggal 23 Oktober 1986).
Sumber: Wikipedia.
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar