KOMARUDIN,
Pejuang kemerdekaan Indonesia asal Korea
Nama asli Komarudin adalah Yang Chil-sung, kelahiran Wanjoo, provinsi
Jeolla Utara, Korea Selatan. Sebagai tentara Jepang, dia diberi nama Jepang
"Yanagawa Sichisei".
Kala itu, Semenanjung Korea dijajah Jepang (1910-1945), dan banyak pemuda
Korea direkrut militer Jepang. Upaya itu kian gencar dilakukan saat Negeri
Matahari Terbit menjalankan ekspansi militer ke kawasan Asia Tenggara awal
1942. "Sejak Mei 1942 Jepang memobilisasi 3.223 gunsok ke wilayah Asia
Tenggara. Mereka ditugaskan sebagai phorokamsiwon (penjaga tawanan
perang)," ujar Rostineu mengutip pernyataan Utsumi Aiko dalam buku Aka
michi shita no choosonin banran (Pemberontakan Rakyat Joseon di Bawah Garis
Khatulistiwa). Yang Chil Sung pada 29 Mei 1919, datang ke Jawa mengikuti
arus pengiriman paraphorokamsiwon ini.
Yang Chil-sung ditugaskan di sebuah kamp tawanan perang di Bandung. Di
sanalah dia bertemu dengan Lience Wenas, perempuan Indonesia, yang tengah
menjenguk kakaknya. Tiap minggu berjumpa kedua insan beda bangsa itu
menjalin keakraban dan jatuh cinta. Singkat cerita, "Menikahlah Yang Chil
Sung dengan perempuan pribumi itu," demikian menurut keterangan KBS.
Belum lama menikah, Jepang takluk kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Tiga
hari kemudian, Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Situasi tersebut membuat masa depan orang-orang Korea yang bekerja untuk
militer Jepang, termasuk Chil Sung, suram. Kendati senang terbebas dari
kekuasaan Jepang, mereka khawatir akan diperlakukan sebagai penjahat perang
oleh Sekutu. Maret 1946. Bandung dilanda peperangan. Ratusan kelompok
pemuda dari penjuru Pasundan berduyun-duyun datang ke sana untuk bertempur
melawan Sekutu dan sisa-sisa tentara Jepang. Salah satu kelompok tersebut
adalah Pasukan Pangeran Pakpak (PPP) Garut pimpinan Mayor Saoed Moestofa
Kosasih. Suatu hari, dalam suatu pertempuran di Bandung, PPP berhasil
menawan lima tentara Jepang. Salah satunya Yanagawa alias Yang Chil Sung.
Mereka semula akan dibunuh para prajurit PPP, namun segera dicegah Mayor
Kosasih. Mereka kemudian dibawa ke Wanaraja. Di sana mereka diperlakukan
baik-baik. Kelima eks tentara Jepang itu memiliki tugas masing-masing. Umar
dan Ali menjadi tenaga kesehatan, sedangkan Abu Bakar, Usman dan Komaruddin
selain menjadi pelatih militer Pasukan Pangeran Papak juga terlibat aktif
dalam berbagai operasi pertempuran.
Awal Februari 1948, sesuai kesepakatan Perjanjian Renville, Divisi
Siliwangi harus meninggalkan kantong-kantong mereka di seluruh Jawa Barat.
Sebagai basis baru mereka ditempatkan di sebagian Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Namun tidak semua personil Divisi Siliwangi berangkat hijrah.
Seluruh personil PPP sempat hijrah ke Yogyakarta namun Mayor Kosasih
kemudian mengintruksikan sebagian pasukan pimpinan Letnan Djoehana untuk
kembali dan meneruskan perang gerilya di Wanaraja. Bersama eks
tentara-tentara Jepang pimpinan Abubakar dan Komaruddin, Djoehana menuruti
instruksi Kosasih dengan terus menyusun perlawanan terhadap Belanda di
Garut dan sekitarnya. Suatu malam pada Agustus 1948, PPP mengadakan
pertemuan di Desa Parentas. Tanpa sepengetahuan mereka, tim buru sergap
Belanda diam-diam mengepung rumah panggung tempat rapat itu. Lewat tengah
malam, terdengar tembakan bersahutan. Sadar sudah terkepung, Letnan
Djoehana, Usman, Abubakar, dan Komaruddin memutuskan menyerah. Militer
Belanda lantas membuat pengadilan militer kilat. Hasilnya, Komaruddin,
Usman, dan Abubakar divonis hukuman mati. Menurut seorang saksi, Komaruddin
masih sempat meneriakkan kata 'merdeka' sebelum peluru menembus kepalanya.
Jasad Abubakar (Hasegawa), Usman (Aoki) dan Komaruddin (Yang Chil Sung)
lantas dikebumikan di Pemakaman Pasir, Bogor. Duapuluhtujuh tahun kemudian,
kerangka mereka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, tempat yang
secara resmi menabalkan mereka sebagai pahlawan kemerdekaan Indonesia.
(disadur dari Historia.id, artikel: Gerilyawan Korea di Pihak Indonesia)
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar