@bende mataram@
Bagian 113
"Bagaimana aku tak boleh menangis? Semenjak kanak-kanak, aku kehilangan
ibu. Ayahku tak pernah memperhatikan diriku. Dia hanya menekuni kepentingan
diri sendiri. Kini aku bertemu dengan seorang yang begitu memperhatikan
aku. Mengapa aku tak boleh menangis?"
Air mata gadis itu jelas sekali nampak mengalir sangat derasnya. Ia meraba
dadanya dan menarik sehelai sapu tangan putih bersih. Sangaji mengira,
kalau dia akan mengusap air matanya. Tak tahunya, sapu tangan itu
dikembangkan di atas batu. Kemudian sisa daging goreng ditaruh di atasnya
sambil berkata, "Biarlah kusimpannya. Esok pagi masih bisa kumakan ..."
"Buang saja! Besok aku beli yang baru!" sahut Sangaji, karena teringat
keadaan sahabatnya yang dahulu nampak miskin.
"O, tidak! Tidak! Daging oleh-olehmu ini jauh berlainan rasanya daripada
daging pembelian," bantah Titisari. Tiba-tiba saja dia tertawa riang.
Sangaji heran. Pikirnya, baru saja dia menangis begitu deras, mendadak bisa
tertawa riang. Inilah tabiat yang aneh. Tetapi ia tak menunjukkan rasa
herannya.
"Eh, apa perlu kamu mengundangku?" Dengan mengalihkan perhatian. "Kau
bilang ada sesuatu hal yang penting yang mau kaubicarakan."
"Bukankah pertemuan ini penting? Dengan memperkenalkan diriku, kamu takkan
lagi menyangka aku seorang laki-laki. Tetapi kamu tak boleh memanggilku
adik kecil lagi, tapi Titisari. Hai, apakah menurut pendapatmu tidak penting?"
Sangaji tersenyum mendengar lagak-Iagu-nya. Lantas berkata, "Kamu ini bisa
bergurau juga. Siapa mengira kamu sebenarnya seorang gadis begini cantik."
"Benarkah aku cantik?" "He-e." Sangaji mengangguk.
"Kau bohong! Coba cantikku seperti apa?" Sangaji berpikir sejurus.
"Seperti bidadari."
"Nah tuuuu... Sekarang ketahuan kebohong-anmu," sahut Titisari sambil
tertawa riang. "Aku tidak bohong. Kamu benar-benar cantik jelita seperti
bidadari."
"Betul? Kau pernah melihat bidadari?"
Sangaji terperanjat. Tak disangkanya, si gadis bisa membantah begitu.
Memang mana ada seorang yang. pernah hidup di dunia ini bertemu dengan
bidadari. Istilah bidadari itu hanyalah terdapat dalam dongeng-dongeng
warisan belaka. Tetapi ia masih mencoba.
"Biarpun aku tak pernah bertemu, tapi aku pernah mendengar dongeng tentang
bidadari. Ibuku seringkali mendongeng tentang bidadari-bidadari kahyangan.
Bidadari-bidadari itu sangat cantik. Seseorang akan jatuh pingsan, apabila
sekali melihat kecantikannya."
"Benarkah itu? Karena kau bilang, aku secantik bidadari, mengapa kamu tidak
pingsan?"
Sangaji merah mukanya. Tatkala itu, angin laut menyapu rambut si gadis.
Seketika itu juga terciumlah bau harum. Sangaji terkejut. Hatinya
bergetaran. Lalu ia mempunyai perasaan yang belum pernah dialami.
"Aji ... eh biarlah aku memanggilmu Aji," kata Titisari. "Aku tahu, kamu
seorang yang berhati mulia. Andaikata aku ini seorang pemuda melarat atau
seorang gadis jelek, pasti sikapmu tak berubah. Kalau seseorang melihat
diriku dalam pakaian begini bersih dan lantas tertambat, itulah lumrah.
Tapi kamu tidak. Kamu pernah melihatku dalam pakaian seburuk-buruknya dan
kotor, namun sikapmu tidak berubah. Kamu tetap menghargai. Ontuk itu,
perkenankan aku menyatakan rasa penghargaanku terhadapmu. Sekarang, aku
akan menyanyikan sebuah lagu untuk-mu.
"Apakah tidak bisa esok hari saja?" potong Sangaji. "Sekarang ini, aku
harus menemukan suatu ramuan obat untuk Aki."
Kemudian ia menuturkan riwayat pertemuannya dengan Panembahan Tirtomoyo
sampai orang tua itu terluka parah. Titisari mendengarkan dengan cermat.
Kemudian dengan menarik napas dia berkata, "Pantas, kulihat kamu tadi
begitu sibuk memasuki kampung dan dusun. Tak kuduga, kamu sedang mencari
ramuan obat."
"Jadi kamu telah mengetahui kesibukanku tadi?" "Mengapa tidak?"
"Kalau begitu ... kalau begitu ... bolehkah aku pinjam kudamu si Willem
barang sebentar? Aku akan keluar kota untuk mencari obat. Orang-orang jahat
di kadipaten itu agaknya telah merampas semua obat yang kita butuhkan."
Titisari menatap wajah Sangaji.
"Aji! Mengapa kau berkata begitu? Mengapa kau menggunakan istilah pinjam?
Bukankah kuda itu adalah kudamu sendiri? Akulah sebenarnya yang meminjam."
"Kuda itu telah kuberikan kepadamu."
"Apakah kaukira, aku benar-benar mau meminta kudamu? Sama sekali tidak. Aku
hanya menguji hatimu. Tentang obat itu, memang takkan kauperoleh di sekitar
tempat ini..."
Sangaji menundukkan kepala. Hatinya bingung. Pikirannya pepat. Mendadak
gadis itu berkata, "Kamu mengharapkan bantuanku?"
Sangaji menegakkan kepala. Girang ia menyahut, "Tentu! Tentu!"
"Nah panggillah namaku dulu. Titik!" Sangaji tergugu. Dan Titisari tertawa
riang. Kesannya
manis luar biasa.
"NAMAMU TITISARI. Mengapa aku harus memanggilmu Titik?" Sangaji minta
penjelasan.
"Namaku yang lengkap berbunyi Endang Retno Titisari. Kamu boleh memanggil
singkatan namaku."
"Mengapa?"
Titisari menatap wajah Sangaji. Ia melihat kesan wajah si pemuda sangat
sederhana. Tahulah dia, kalau Sangaji belum mempunyai pengalaman pergaulan
dengan wanita. Diam-diam ia bersyukur dalam hati. Lantas saja ia menggurui,
"Tidak selamanya orang memanggil seseorang selengkap-lengkapnya. Umpamanya
dia bernama Sri Kilatsih atau Mayangsari dan orang memanggilnya Sri atau
Sari. Orang bernama Kartamijaya atau Sangaji. Dan orang memanggilnya si
Karta atau Aji. Mengapa terjadi demikian, tak tahulah aku. Barangkali
manusia ini kerdil dengan waktu. Barangkali juga suatu ungkapan karsa
manusia, ingin menelan semuanya secepat-cepatnya."
"Tak mau aku menjadi seorang manusia yang terlalu tergesa-gesa karena
nafsu," tukas Sangaji sungguh-sungguh.
"Aku mau memanggilmu Titisari. Bukankah kamu bernama Titisari? Bukan Titik
atau Sari?" Titisari tertawa. Ia senang mendapat kesan pribadi Sangaji yang
begitu sederhana dan jujur.
"Baiklah. Kau boleh memanggil namaku sesuka hatimu. Kau boleh memanggil
Titi. Boleh pula Sari atau Retno atau Endang. Pokoknya, aku sekarang mau
menyanyi." Katanya memutuskan.
Setelah berkata demikian, Titisari kemudian menyanyikan lagu tembang.
Bibirnya yang tipis bergerak lembut dan suaranya benar-benar merdu dan
mengharukan.
Sangaji heran sampai terhenyak. Pikirnya, bocah ini aneh perangainya.
Pikirannya bergerak cepat seperti arus air. Sebentar berbicara begini,
lantas saja berubah. Mendadak saja terus menyanyi tanpa mempedulikan
pertimbangan orang lain. Tetapi ia senang mendengarkan lagu Titisari.
Meskipun ia tak mengenal lagu Jawa, namun ia bisa merasakan keindahannya
oleh keselarasan irama, nada dan suara.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar