@bende mataram@
Bagian 112
"Benar dia?" seru Sangaji gembira sampai melompat berdiri. Hatinya girang
luar biasa. Awan hitam yang menutupi hatinya lantas saja buyar berderai.
Dengan serta-merta ia hendak lari ke luar, tetapi si pelayan berkata kalau
pemuda itu sudah meninggalkan losmen.
Sangaji segera memberi persen. Setelah pelayan mengundurkan diri, ia
membuka surat itu.
Apakah kamu sudah membaca lipatan kertas? riah, sekarang pergilah ke
pantai. Aku menunggu di sana. Ada sesuatu hal yang sangat penting untuk
kubicarakan.
"Ah!" Sangaji gembira. "Tahulah aku sekarang. Sebelum aku bertemu
dengannya, aku disuruhnya mandi dahulu. Ih, anak nakal!"
Teringat, kalau sahabatnya itu kumal pula, ia jadi tertawa geli. Siapa
menyangka, si pemuda kumal tahu arti kebersihan. Untuk menyenangkan
sahabatnya, lantas saja dia memasuki kamar mandi. Memang sore hari tadi,
dia belum membersihkan badan.
Selesai mandi, ia memasuki kamar. Jika dilihatnya Panembahan Tirtomoyo
berhenti bersemedi, segera dia memberitahukan tentang sahabatnya itu.
"Dia memanggil aku kakak. Karena umurnya kira-kira dua tiga tahun lebih
muda daripadaku, maka akupun tak menaruh keberatan," kata Sangaji mengesankan.
Panembahan Tirtomoyo mengernyitkan dahi. la berpikir. Sejurus kemudian
bertanya, "Bagaimana cara kamu berkenalan dengan dia?"
Sangaji segera menuturkan riwayat perkenalannya. Sampai sebegitu jauh, dia
belum mengenal namanya.
"Ih!" potong Panembahan Tirtomoyo. "Tadi pagi, aku menyaksikan bagaimana
cara dia mempermainkan anak buah sang Dewaresi. Aku mempunyai kesan buruk.
Gerak-geriknya mencurigakan. Ilmu apa yang digunakan, belum dapat kuterka
sampai sekarang. Tetapi lebih baik kamu jaga-jaga diri..."
Tak senang hati Sangaji mendengar orang tua itu mencela sahabat barunya.
Segera ia mempertahankan,
"Dia seorang yang bertabiat bagus. Tak mungkin dia mencelakaiku."
Panembahan Tirtomoyo menghela napas.
"Sudah berapa lama kamu berkenalan dengan dia?" "Tiga hari yang lampau."
"Nah. Bagaimana bisa disebut sebagai suatu persahabatan sejati? Kamu belum
kenal dia. Sedangkan dia memiliki kecerdasan otak melebihi kau. Ketika dia
menghendaki nyawamu, kamu baru sadar setelah terbaring di dalam liang
kubur. Sadarkan dirimu!"
Tetapi Sangaji tetap ngotot. Dan bila dia sudah ngotot, mana bisa dia
dikalahkan. Dahulu dia berani mempertaruhkan jiwa, tatkala mempertahankan
Kapten Willem Erbefeld di hadapan Gubernur Jendral Belanda.
Panembahan Tirtomoyo yang agaknya sudah dapat mengenal tabiatnya, lalu mau
mengalah.
Dengan tertawa dia berkata, "Baiklah, kamu berangkat."
"Terima kasih, Aki," sahut Sangaji gembira. "Sahabatku itu cerdas otaknya.
Siapa tahu dia bisa menolong mencarikan obat ramuan yang kita butuhkan."
Orang tua itu mengangguk dan memperdengarkan tertawanya. Sangaji mengira,
kalau dia bergembira mendengar buah pikirannya. Itulah sebabnya ia tegar
hati, tatkala melintasi jalan Kota Pekalongan.
Malam itu adalah malam bulan gede. Bulan tersembul di udara biru kelam.
Sinarnya lembut tak menjemukan. Bintang-bintang bergetar lembut memenuhi
udara. Di sana nampak se-leret awan putih berjalan berarak-arak.
Sangaji terus saja menuju ke tepi pantai. Ombak laut bergemuruh pada malam
bulan gede. Karena itu, perahu-perahu nelayan jarang menampakkan diri.
Suasana pantai sunyi sepi. Sangaji berputar-putar mencari sahabatnya.
Mengira, kalau sahabatnya itu mungkin berada di sekitar tempatnya berada,
maka dia berteriak.
Tetapi sekian lama dia berseru, sahabatnya tidak menampakkan batang
hidungnya, la lantas duduk di atas sebuah batu karang.
Barangkali dia belum datang, pikirnya. Memikir demikian ia kemudian
melepaskan pandang ke laut. Teringatlah dia kepada riwayat pertemuannya
dengan Ki Tunjungbiru. Itulah saat-saat yang mendebarkan hati. Mendapat
pengertian, bahwa manusia ini tidak hanya mengutamakan tenaga jasmaniah
belaka, ia jadi bersyukur telah menghisap getah sakti pohon Dewadaru. Itu
bukan suatu mantran gaib, tapi sama kesaktiannya. Setidak-tidaknya bisa
menolong keperkasaan tubuhnya.
Selagi dia melayangkan pikirannya balik ke Jakarta, pendengarannya
menangkap suatu bunyi suara, la menoleh. Dilihatnya seorang perempuan duduk
seorang diri tak jauh daripadanya. Perempuan itu kira-kira berumur 17
tahun, la mengenakan potongan pakaian semacam sari India. Serba putih dan
berkilauan.
Sangaji heran. Pikirnya, mengapa seorang gadis berkeluyuran seorang diri di
pantai? Apa begini kebiasaan penduduk Pekalongan pada malam bulan purnama?
Ah, mungkin begitu. Dasar aku yang dangkal pengalaman ...
Sangaji tak pernah menduga buruk terhadap sesuatu yang serba baru. Maka
sebentar saja dia tak menghiraukan keadaan gadis itu. Dan kembali dia
melemparkan pandang ke tengah laut. Sekonyong-konyong ia mendengar suatu
suara yang telah dikenalnya baik-baik.
"Sangaji! Kemarilah!"
Sangaji menoleh. Hatinya memukul. Bukankah itu suara si pemuda kumal.
Tetapi ia tak melihatnya. Mengira, kalau sahabatnya sedang bergurau, maka
dia lalu berseru, "Adik kecil! Kamu di mana?"
"Aku di sini," terdengar jawaban.
Sangaji menoleh, la melihat gadis itu menoleh kepadanya. Agaknya diapun
men-dengar suara sahabatnya. Tetapi di luar dugaan, gadis itu berkata, "Aku
di sini. Kema-rilah."
Suara si gadis itu adalah suara sahabatnya si pemuda kumal. Sangaji heran
sampai berjingkrak.
Gadis itu kemudian berdiri tegak. Menegur, "Aku di sini. Mengapa kamu tak
kemari? Tapi aku bukan adik kecil, melainkan Titisari. Hai, kamu tak
mengenalku lagi?"
Gadis itu kemudian mendekati. Sangaji menentang matanya. Benar! Wajahnya
adalah wajah sahabatnya. Seketika itu juga, Sangaji berdiri
terbengong-bengong. Bagaimana mungkin, sahabatnya yang kumal kini berubah
menjadi seorang gadis begini cantik jelita?
Titisari lantas saja tertawa riang. Berkata mengesankan lagi,
"Akulah Titisari. Benar-benarkah kamu tak mengenalku lagi?" "Kau ... kau
..." Sangaji tergegap-gegap.
"Aku Titisari. Hanya saja aku bukan laki-laki seperti yang kau sangka.
Sebenarnya aku seorang perempuan," potong Titisari dengan tertawa riang.
"Salahmu sendiri, mengapa kau mengira aku seorang laki-laki. Salahmu
sendiri, mengapa kau berkenalan denganku. Salahmu sendiri, mengapa kau
memanggilku, adik kecil..."
Sangaji masih saja tersumbat mulutnya. Dasar dia tak pandai berbicara.
"Eh, kenapa?" tegur Titisari. "Kamu belum percaya, kalau aku sahabatmu?
Coba, sekiranya kita berada di restoran, pasti kamu akan segera mengenal
caraku mengerumuti penganan."
Mendengar ujar itu, Sangaji lantas saja teringat pada empat bongkah daging
yang dikantongi dari pendapa istana. Tanpa berbicara lagi, dia merogoh,
sakunya dan menye-rahkan empat potong daging goreng itu. Tapi sayang,
daging goreng itu tidaklah sesegar tadi siang.
Titisari tertawa senang melihat Sangaji mengangsurkan oleh-oleh. Katanya,
"Darimana kauperoleh daging itu?"
"Tadi siang aku mengunjungi rumah si pemuda ningrat. Kuteringat padamu yang
doyan makan, maka aku menyembunyikan beberapa potong daging untukmu. Tapi
... sepertinya tak dapat kaumakan, karena tidaklah sesegar tadi. Biarlah
kubuang."
"Jangan!" sahut Titisari. Terus saja ia menyambar empat potong daging
goreng itu dan digerumuti sambil duduk berjuntai di atas batu karang.
Sangaji mengamat-amati sahabatnya itu. Titisari sedang menggerumuti daging.
Nampaknya sangat lezat baginya. Mendadak ia melihat gadis itu menangis
tersedu-sedu. Ia terperanjat. Terdorong oleh hatinya yang penuh
belas-kasih, lantas saja melompat mendekati.
"Mengapa kau menangis?"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar