@bende mataram@
Bagian 111
Setibanya di dalam kamar, Panembahan Tirtomoyo segera minta disediakan
sebuah jambangan besar berisi air bersih. Maka dengan cepat Sangaji
memanggil pelayan. Dengan berbekal uang, ia dapat memperoleh pelayanan yang
seluas-luasnya. Bahkan teman-teman si pelayan tadi pada datang berebut
untuk memenuhi kehendak Sangaji. Ini semua demi gerincing uang.
"Aki tidak luka. Apa aki membutuhkan air?" Sangaji minta keterangan.
Panembahan Tirtomoyo tidak menjawab. Tapi begitu jembangan besar itu berisi
air, lantas saja ia merendam diri dengan mengatur napas. Seketika itu juga,
segumpalan darah hitam terlontar dari mulutnya. Maka setiap kali lontak
darah, Sangaji harus mengganti air sampai tujuh kali berturut-turut.
Sekarang, air muka Panembahan Tirtomoyo nampak pulih kembali segar bugar.
Tapi tubuhnya masih lemah. Dengan suara lemah dia berkata, "Sungguh
berbahaya! Orang itu bukan sembarangan. Dia memiliki ilmu pukulan raksasa
dengan disertai Aji Ismu Gunting."
SANGAJI tertegun. Sekarang tahulah dia apa arti suatu pukulan dengan
disertai ilmu sakti. Panembahan Tirtomoyo yang bukan anak kemarin sore,
bisa rebah kena pukulan itu. Lalu ia membayangkan diri sendiri. Seumpama
dia yang kena pukulan demikian, bagaimana akibatnya tak dapat ia bayangkan.
Bulu kuduknya lantas saja mengeridik.
"Aki! Apa Aki sudah sembuh?" tanyanya.
Dengan tersenyum, Panembahan Tirtomoyo menggelengkan kepala.
"Jika aku tak berhasil menemukan sesuatu ramuan dedaunan, belum tentu aku
bisa mempertahankan diri dalam satu malam ini saja."
Sangaji terperanjat sampai air mukanya berubah. Gugup ia minta penjelasan.
"Ramuan dedaunan apa saja itu?"
"Entah di sini akan kuperoleh, aku tak bias memastikan. Mengingat waktu
sependek ini, bila tidak suatu keajaiban ... pasti... aku ..."
"Cobalah jelaskan! Aku akan berusaha mencari ramuan dedaunan itu." Desak
Sangaji keras.
Panembahan Tirtomoyo mengawasi pemuda itu lama-lama. Akhirnya dengan
menghela napas dia menuruti kehendaknya.
"Ambilkan sesobek kertas. Aku akan menulis beberapa catatan jenis daun.
Cobalah cari di toko-toko tabib atau toko obat Tionghoa. Jika untungku
baik, kamu akan berhasil menemukan."
Segera Sangaji menyehatkan selembar kertas sobekan dan sebatang alat tulis.
Dengan gemetar Panembahan Tirtomoyo menulis beberapa nama jenis daun,
kemudian diserahkan kepada Sangaji.
"Nah—kusertakan doaku kepadamu," bisik Panembahan Tirtomoyo.
Sangaji terus melompat ke luar pintu. Setelah menutup rapat, ia memasukkan
catatan itu ke dalam saku. Tiba-tiba tangannya menyentuh lipatan kertas si
pemuda kumal. Segera ia merogohnya ke luar sambil berpikir,
"Ah! Hampir saja aku lalai lagi."
Cepat ia membuka lipatannya dan terus dibaca, la heran ketika membaca bunyi
tulisannya. Tadinya dia mengharapkan akan bisa mengetahui nama si pemuda
kumal, mendadak saja di luar dugaan tulisan itu berbunyi, Apakah kamu sudah
mandi?
"Eh! Apa maksudnya." Sangaji mencoba menduga-duga. Mengingat, bahwa
sahabatnya itu senang bergurau, akhirnya dia tersenyum seorang diri. la
menganggap lucu dan ingin sekali berjumpa dengannya untuk mencubit punggungnya.
Sambil memasukkan lipatan kertas itu ke dalam sakunya kembali, bergegas ia
ke luar losmen. Ia mencoba mencari rumah-rumah obat dan tabib-tabib
tertentu. Tetapi ramuan obat yang dikehendaki Panembahan Tirtomoyo tak
dapat diketemukan. Masih dia berusaha mencari dukun-dukun di pedusunan
sekitar kota, namun usaha itu sia-sia belaka. Pada petang hari dia kembali
ke losmen dengan hati lemas. Segera ia melaporkan usahanya yang tak
berhasil kepada Panembahan Tirtomoyo.
Panembahan Tirtomoyo nampak suram wajahnya. Dengan memaksa diri dia
berkata, "Sebenarnya ramuan obat itu mudah kau peroleh. Kalau tadi aku
berkata sukar, sesungguhnya aku sadar kalau orang-orang gagah di kadipaten
tadi takkan membiarkan diriku bisa mendapat ramuan itu. Mereka pasti tahu,
akupun menderita luka."
"Alangkah jahatnya!" seru Sangaji dengan muka merah padam. Tetapi setelah
berkata demikian, ia insyaf akan arti itu. Perlahan-lahan, air mukanya
berubah menjadi pucat. Kemudian menangis melolong-lolong seperti anak kecil.
Panembahan Tirtomoyo tertawa untuk membesarkan hati si anak muda. la tahu,
anak muda itu berhati bersih dan polos. Karena ikut berduka-cita dia sampai
menangis demikian rupa. Maka orang tua itu berkata menghibur.
"Bocah, kenapa menangis? Apa perlu menangis? Aku kan belum mati. Lihat, aku
masih sehat walalfiat."
Perlahan-lahan Sangaji menoleh kepada orang tua itu. Dilihatnya Panembahan
Tirtomoyo tetap
tertawa dengan pandang berseri-seri. Malahan orang tua itu lalu menyanyikan
tembang Dandanggula. Beginilah bunyinya:
Ingsun ngidung rumeksa ing wengi Teguh ayu luputa ing lara
Kang luput bilahi kabeh Jim setan datan purun Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala Gunane wong luput Agni temahan tirta
Maling arda tan ana ngaraha mami Guna dudu pan sirna
Sakehing lara pan samya bali Kening ama tan samya miruda Welas asih
pandulune Sakehing braja luput
Kadya kapuk tibanireki Saliring wisa tawa Satru kroda nutut
Kayu angker lemah sangar
Suhing landak guwane wong lemah miring Dadya pakipon merak.
"Aku berlagu menjaga malam hari Sekalian penyakit kembali semua Agar teguh
luput dari semua penyakit Sekalian hama surut mundur
Yang salah celaka Kasih-sayang penglihatannya Jin setan dau
Sekalian penyakit luput
Juga mantran tenung tak berani Apabila runtuh tak ubah kapuk
*) Terjemahan bebas.
Termasuk semua pakarti jahat Semua bisa jadi tawar Api akhirnya menjadi air
Lawan yang bergusar melaju Maling tiada mengarah kami Pohon angkar tanah
yang sangar Ilmu sakti hilang dayanya Semua lumpuh tak ubah goa landak
Berubah menjadi tempat pemandian Burung merak.
Waktu itu petanghari telah berganti suasana malam. Maka suara lagu
Dandanggula itu yang diungkapkan oleh seorang berusia tua, terasa besar
pengaruhnya. Meskipun Sangaji tak mengerti lagu itu, tetapi hatinya seperti
tersayat. Tak disadari sendiri, air matanya meleleh lagi.
"Nah bocah! Itu lagu pujian. Kupanjatkan doa kepada Ulahi, agar aku
terhindar dari marabahaya. Sekarang tinggalkan aku seorang diri, biar aku
berjuang mengkikis ilmu jahat ini," ujar Panembahan Tirtomoyo. Setelah itu,
dia duduk bersemedi di atas pembaringan.
Sangaji tak berani mengganggu. Hati-hati ia ke luar dari kamar dan duduk
termenung merenungi malam. Pikirannya melayang ke udara bebas tanpa tujuan.
Mendadak selagi dia termenung-menung, datanglah seorang pelayan menghampiri
padanya seraya menyerahkan sepucuk surat.
"Dari siapa?" tanya Sangaji heran.
"Pemuda semalam yang datang ke mari. Dia berpakaian kumal seperti
pengemis," sahut si pelayan.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar