8.06.2019

@bende mataram@ Bagian 110

@bende mataram@
Bagian 110


Sang Dewaresi tersenyum. Ia melirik kepada dua opsir Belanda yang semenjak
tadi berdiri ternganga-nganga. Di depan mereka nampak setumpuk batang
sendok dan garpu perak. Segera dia berdiri meminjam perlengkapan makan itu.
Kemudian dengan gerakan acuh tak acuh melemparkan semua sendok dan garpu ke
udara. Mendadak saja dia mengibaskan tangan dan sendok-sendok serta
garpu-garpu itu, tertancap rapi di atas lantai.


Sang Dewaresi pandai menebak hati mereka. Seketika itu juga, dia berdiri
tegak. Kemudian dengan depakan perlahan, dia mementalkan meja panjang yang
penuh minuman dan makanan...


Mayarsewu dan Panembahan Tirtomoyo terperanjat. Pikir mereka berbareng,
pantas, orang kagum dan segan kepadanya. Kecakapan menguasai benda yang
sedang terbang untuk dibuatnya senjata, bukanlah suatu kepandaian
main-main. Dalam suatu pertempuran, banyak guna-faedahnya. Musuh yang
bersenjatakan panah, bisa mati ter-cengkang oleh senjatanya sendiri.


Tapi mereka yang belum mengerti arti kepandaian itu, tetap berdiam diri.
Memang dibandingkan dengan pertunjukan-pertunjukan yang serba kasar, kurang
meriahkan hati.


Sang Dewaresi pandai menebak hati mereka. Seketika itu juga, dia berdiri
tegak. Kemudian




dengan depakan perlahan, dia mementalkan meja panjang yang penuh mi-numan
dan makanan. Anehnya, semua minuman dan makanan tidak ada yang berkisar
dari tempatnya. Terus dia menangkap pantat meja itu dan dibawanya melompat
ke atas sendok-sendok dan garpu-garpu yang tertancap di atas lantai. Lalu
dia bersilat dengan lincah sampai sembilan jurus. Setelah selesai, kembali
dia melontarkan meja panjang penuh hidangan itu ke udara. Tangannya
mengibas dan meja itu mendarat perlahan di tempatnya semula. Berbareng
dengan itu, ia melesat dari atas sendok-sendok dan garpu-garpu yang
tertancap di lantai dan kemudian duduk dengan tenang di atas kursinya. Sama
sekali, tak nampak dia letih atau mengangsur napasnya. Inilah hebatnya!


"Ih!" Panembahan Tirtomoyo heran seraya mengerling kepada Sanjaya. Macam
apa Pangeran Bumi Gede ini, sampai bisa mengumpulkan orang-orang gagah
sebanyak itu? Untuk berjumpa dengan salah seorang saja di antara mereka
biasanya bukan gam-pang. Mengapa mereka sudi berkumpul di sini? Apa
kepentingan mereka? Dan apa pula maksud Pangeran Bumi Gede? pikirnya.


Dia sendiri, sebenarnya bermaksud hendak mengunjungi makam almarhum Kyai
Lukman Hakim di Cirebon. Tak tahunya sesampainya di Pekalongan, ia melihat
gelanggang pertarungan dan tertarik pada kemuliaan hati Sangaji. Lantas
saja dia terlibat dalam suatu persoalan. Kini secara kebetulan pula
menyaksikan berkumpulnya orang-orang gagah dari semua penjuru.


Sangaji kagum bukan main. Mulutnya tak ada henti-hentinya memuji kepandaian
sang Dewaresi. Bagaimana tidak? Sendok-sendok dan garpu-garpu yang
tertancap di lantai tidak ada yang melesat atau miring. Sedang tadi, Sang
Dewaresi terang-terang bersilat di atasnya sambil membawa beban sebuah meja
panjang lagi besar. Bagaimana cara dia mengurangi berat benda dan berat
badannya?


Sampai di sini pertunjukan nampaknya hampir selesai. Tinggal Yuyu Rumpung
sendiri yang belum memperlihatkan kepandaiannya. Diam-diam Panembahan
Tirtomoyo sadar akan bahaya. Sehabis orang itu memperlihatkan
kepandaiannya, pasti mereka bakal bertindak menangkap Sangaji. Kalau sampai
kena tangkap, bagaimana si anak muda bisa lolos dari suatu siksaan tak
terlukiskan lagi. Memikirkan demikian, ia lantas bertindak cepat. Dengan
tak terduga-duga, ia menangkap Sanjaya dengan suatu kesehatan luar biasa
dan kemudian menjengkelit pemuda itu di depan hidungnya.


Sanjaya terperanjat. Ingin dia meronta, tetapi mendadak saja tubuhnya
serasa seperti lumpuh sampai tak dapat berkutik. Para tetamu lainnya tak
kurang-kurang terkejutnya. Salah seorang dari mereka akan maju, tetapi sang
Dewaresi segera berkata,


"Tuan-tuan, harap tenang. Jangan ada seorang pun yang mengulurkan tangan."


Sang Dewaresi ternyata orang yang dapat berpikir cepat. Ia pandai pula
melihat gelagat. Menimbang, bahwa Panembahan Tirtomoyo bukan orang yang
sembarangan pula, maka ia tak berani bertindak sembrono. Sedikit
menimbulkan kecurigaan, sang pendeta bisa membunuh mampus anak Pangeran
Bumi Gede. Kalau terjadi demikian, akan besar akibatnya.


Panembahan Tirtomoyo kemudian berkata sambil menarik Sangaji di sampingnya,


"Kami tak berselisih atau bertengkar dengan Tuan-tuan. Kami juga bukan
sanak kadang bocah ini seperti yang kami terangkan tadi. Sekarang,
Tuan-tuan telah memenuhi permohonan kami untuk memberi kesan sedikit
kepadanya. Cukuplah hal itu untuk menjadi buah pengalamannya. Kami
tanggung, dia takkan berani berlaku kurang ajar lagi terhadap Tuan-tuan
sekalian. Dengan kesadaran ini, perkenankanlah kami mohon belas kasih dan
kemurahan Tuan-tuan. Bebaskanlah bocah ini."


Semua yang mendengar diam membungkam. Mereka mengarahkan pandang kepada
Sanjaya yang terbekuk tak mampu berkutik lagi. Diam-diam mereka mengeluh
dalam hati.


"Apabila Tuan-tuan bersedia meluluskan permohonan kami ini, anak muda ini
pun akan kami




lepaskan pula," kata Panembahan Tirtomoyo meneruskan. "Seumpama sebuah
benda, putra Pangeran Bumi Gede jauh lebih berharga dari pada bocah ini.
Sebab dia adalah anak dari seseorang yang tak mempunyai kelas. Anak rakyat
jelata yang hidup menempel di bawah perlindungan tuan-tuan penguasa negara.
Jika kita pertukarkan, bukankah pihak Tuan yang lebih beruntung?
Nah—bagaimana pendapat Tuan-tuan sekalian?"


Yuyu Rumpung yang masih penasaran tak dapat lagi mengendalikan diri. Tetapi
ia mengenal bahaya berkat usianya yang cukup makam garam. Maka ia meledak.


"Tuan Pendeta agaknya bukan seorang manusia yang pandai mengaji dan
bersujud pada Penguasa jagad. Di luar dugaanku, pandai juga menjenguk
persoalan dunia."


"E-hem!" Sang Dewaresi mendehem. Dehem itu disertai suatu tenaga mantran,
sehingga terasa pengaruhnya. Kemudian berkata tegas, "Jangan banyak
cingcong! Tawaran sang Pendeta cukup adil."


Kata-kata Sang Dewaresi merupakan kepu-tusan mereka. Maka Panembahan
Tirtomoyo membebaskan Sanjaya. Sadar bahwa yang hadir bukanlah orang yang
tolol dan kelicikan serta kelicinan mungkin di luar perhitungan dan dugaan,
maka cepat-cepat Panembahan Tirtomoyo mengundurkan diri sambil menggandeng
tangan Sangaji.


"Ijinkanlah kami mengundurkan diri sampai bertemu lain kali," katanya takzim.


Semua orang tertegun, seperti rombongan penonton sandiwara menyaksikan
pembunuhan di atas panggung.


Sanjaya lalu datang menghampiri seraya menyahut dengan senyuman,


"Berkenalan dengan Paman, tiada ruginya. Sudilah sekali-kali Paman
berkunjung ke pondokku di wilayah Bumi Gede Yogyakarta? Sayang, di sini
tidak ada waktu untuk membicarakan lebih leluasa ..."


"Hm!" dengus Panembahan Tirtomoyo melalui hidungnya. "Urusan kita telah
selesai. Apa perlu berhubungan lagi denganmu?"


Sanjaya tersenyum panjang. Air mukanya tidak berubah seperti berhati batu
gunung, la malahan membungkuk hormat dan mengantarkan Panembahan Tirtomoyo
sampai ke luar halaman.


Terang-terangan Yuyu Rumpung melancarkan serangan kilat Daripada membiarkan
diri diserang, Panembahan Tirtomoyo membalas serangan pula. Kesudahannya
hebat luar biasa...


Yuyu Rumpung yang semenjak tadi mengawasi dengan muka guram, segera ikut
serta mendampingi Sanjaya sambil berjaga-jaga. Hatinya menaruh curiga
kepada orang tua itu, karena menganggap lagak-lagunya tak beda dengan
dirinya sendiri.


Sampai pintu pagar, Panembahan Tirtomoyo sambil membungkuk dengan hormat
untuk perpisahan. Sanjaya pun buru-buru membalas hormatnya. Mendadak Yuyu
Rum-pung lari menubruk sambil berseru, "Sang Pendeta! Ini ada sesuatu yang
ketinggalan."


Terang-terangan Yuyu Rumpung melancarkan serangan kilat yang tak
terduga-duga. Panembahan Tirtomoyo tak sempat lagi menangkis, karena
gerakan Yuyu Rumpung sangat cepat. Dalam kegugupannya ia memperoleh pikiran
cepat. Daripada membiarkan dirinya diserang lebih baik membalas serangan
pula. Memikir demikian, lantas saja dia maju menubruk. Masing-masing
terhantam dadanya dan terpental mundur satu langkah. Tubuhnya bergoyangan
seperti tonggak tipis terayun angin.


"Sungguh mati, aku merasa takluk." Kata Yuyu Rumpung. Air mukanya berubah
dan mundur satu perlahan-lahan.


Panembahan Tirtomoyo tersenyum. Bertanya, "Barang apa yang masih
ketinggalan? Eh, sampai aku gugup menyambut kelalaian itu."


Yuyu Rumpung gusar diejek demikian. Segera ia mendamprat.




"Si budak kecil juga berada di sampingmu. Mana lagi yang ketinggalan. Aku
cuma menuntut ganti kerugian dengan menahanmu..." Belum habis dia berkata,
ia lontak darah. Terang sekali, kalau bentrokan adu tenaga itu bukan
main-main akibatnya. Jantungnya kena dilukai Panembahan Tirtomoyo. Tapi
kalau sampai lontak darah di depan hidung lawannya sendiri adalah
kesalahannya sendiri. Coba dia dapat mengenda-likan gejolak hatinya, pasti
bisa mempertahankan harga dirinya.


Panembahan segera mengundurkan diri cepat-cepat dari kadipaten. Ia
seolah-olah tak menghiraukan lagi keadaan Yuyu Rumpung. Tangan Sangaji
digandengnya kuat-kuat. Di tengah jalan dia menoleh. Ternyata tidak ada
yang mengejar. Orang-orang yang hadir di kadipaten agaknya mendapat
kesimpulan, bahwa dirinya bukan orang sembarangan. Ternyata Yuyu Rumpung
yang perkasa kena lontakan darahnya. Tetapi tiba-tiba dia berkata
mengejutkan hati Sangaji,


"Sangaji! Di manakah kita bisa menemukan sebuah losmen?" Sebentar Sangaji
tergagap.


"Aku mempunyai kamar penginapan. Kemarin malam ..."


"Gendonglah aku cepat ke kamarmu ..." Panembahan Tirtomoyo memotong. Air
mukanya berubah hebat. Ia nampak pucat lesu dan ada seleret darah yang
menggumpal di antara bibirnya.


Sangaji terkejut bukan main. Cepat ia bertanya, "Aki terluka juga?"


Panembahan Tirtomoyo mengangguk. Setelah itu, tubuhnya terhuyung hampir
roboh. Sebat Sangaji menahannya, kemudian digendong dan dibawanya lari ke
penginapan, la tak berani melalui jalan besar, takut mendapat perhatian.
Gntung, waktu itu sudah pukul tiga siang. Jarang orang ke luar di jalanan,
karena matahari bersinar terik di kota Pekalongan. Meskipun demikian,
Sangaji memilih jalan sempit dan lari cepat-cepat seperti maling. Setelah
melintasi pagar dan jalan-jalan sempit, sampailah dia di dekat penginapan.
Ia bernapas lega. Karena sebenarnya, dia belum kenal lika-liku jalan Kota
Pekalongan. Tadi dia hanya lari dengan memilih keblat tertentu belaka.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar