8.06.2019

@bende mataram@ Bagian 109

@bende mataram@
Bagian 109


Sang Dewaresi yang semenjak tadi berdiam diri, kemudian campur bicara.
"Yuyu Rumpung! Dalam hal apa kau berdendam kepada bocah itu?"


Mendengar suara sang Dewaresi, redalah amarah Yuyu Rumpung. Perlahan-lahan
ia kembali duduk ke kursinya sambil menjawab, "Sampai hari ini, Kartawirya,
Setan Kobar, Cekatik, Maling dan rombongan yang lain belum bisa bekerja
semestinya, semata-mata karena dipermainkan bocah itu. Masa kita biarkan
dia mencoreng muka anak-anak kita?"


Mendengar keterangan Yuyu Rumpung, sang Dewaresi menegakkan kepala. Juga
tetamu undangan lainnya sekaligus mengarahkan pandangannya kepada Sangaji.
Mereka semua akan pula membantu Yuyu Rumpung bilamana perlu untuk menangkap
si anak muda. Diam-diam Panembahan Tirtomoyo cemas juga. Musuh yang berada
di depannya, berjumlah banyak dan bukan orang-orang sem-barangan. Apa daya,
jika mereka bertindak berbareng? Cepat-cepat ia mencari akal untuk
membebaskan Sangaji. Pikirnya, empat puluh tahun lamanya, aku berkelana dan
bertempur di sembarang tempat dan waktu. Tapi kali ini, memang sulit.
Dapatkah aku melawan mereka sambil melindungi dia? Rasanya tak mungkin!
Malahan menolong diri sendiripun bukan gam-pang. Agaknya satu-satunya jalan
untuk melawan mereka harus mengulur waktu sambil menerka-nerka apa maksud
tujuan mereka berada di sini. Barangkali di kemudian hari ada gunanya.


Memikir demikian, lalu ia menggapai Sangaji
agar duduk di kursi lain. Kemudian berkata,


"Tuan-tuan sekalian. Bukanlah mudah bisa
bertemu dengan Tuan-tuan sekalian sekaligus






pada sembarang waktu, sekiranya orang tak mempunyai rejeki besar. Karena
itu, patutlah hari ini aku bersujud kepada Tuhan untuk menyatakan terima
kasihku. Sebab Tuan-tuan sekalian bukanlah manusia lumrah. Tuan-tuan adalah
sekumpulan manusia-manusia yang mempunyai gelar dan nama besar." Ia
berhenti sebentar mengesankan. Kemudian meneruskan sambil menuding Sangaji.
"Bocah ini bukan sanak bukan ka-dangku. Tapi dia seorang anak muda yang
berhati mulia, jujur dan berhati bersih. Hanya sayang, dia belum mengenal
betapa tingginya udara dan betapa besarnya gunung dan betapa luasnya
persada bumi. Karena umur dan pengalamannya yang masih hijau itulah, sampai
dia berani menyusahkan rekan-rekan Tuan dan dengan sendirinya menyusahkan
kepentingan Tuan-tuan pula. Jika Tuan-tuan kini bermaksud hendak menahan
dia, akupun tak dapat mempertahankan dan membelanya. Memang bocah ini patut
mendapat ganjaran setimpal dengan perbuatannya. Hanya saja demi kepentingan
Tuan-tuan sendiri, aku dan bocah ini pula, aku memberanikan diri untuk
memohon satu hal. Yakni, perlihatkan kepandaian Tuan-tuan di hadapannya.


Dengan demikian, akan bisa membuka matanya agar di kemudian hari tidak lagi
membuat susah kita sekalian. Kedua kalinya dengan menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri betapa tingginya kepandaian Tuan-tuan, dia takkan
menyesali aku mengapa tak mampu smembela dirinya ..."


Maksud Panembahan Tirtomoyo cukup jelas. Dia hendak mengulur waktu agar
mendapat kesempatan mencari kesempatan jalan keluar sebaik-baiknya. Tapi
Cocak Hijau yang sejak tadi berdiam diri, merasa ditantang. Memang dialah
orang yang pertama kali merasakan benturannya, tatkala berada di dalam
gelanggang pertarungan hendak menghajar Sangaji.


"Biarlah aku belajar mengenal dengan Tuan. Akan kubikin dia percaya dengan
menjungkir balikkan Tuan di depan hidungnya," serunya keras.


"Eh, Saudara ..." potong Panembahan Tirtomoyo. "Bukan maksudku mengadu
Saudara di depan si bocah, tetapi sebaliknya perlihatkan kepandaian saudara
di depannya. Dengan sejurus dua jurus ilmu kepandaian Saudara, aku percaya
dia bakal terbuka matanya. Dia bakal mendapat pengertian, bahwa di luar
gunung ada gunung lainnya. Di luar pulau ada persada bumi yang lebih luas
lagi. Kelak dia pasti jera dan tak berani mengumbar tingkah-laku ..."


Cocak Hijau mendongkol. Sebagai seorang yang sudah lanjut usia, ia sadar
sedang diejek orang. Tetapi kata-kata Panembahan Tirtomoyo cukup terang dan
jelas, sehingga susah untuk ditentang.


Mayarsewu pendekar sakti dari Ponorogo bisa berpikir lebih terang. Pikirnya
dalam hati, mustahil pendeta ini tidak mempunyai saudara-saudara
seperguruan. Dia bukan orang sembarangan, saudara-saudara seperguruannya
pasti juga sehebat dia. Bila Cocak Hijau sampai melukai atau membuat malu
dia, tidak mustahil akan berekor panjang. Mana bisa saudara-saudara
seperguruannya tinggal berdekap tangan. Sekarang kita berkumpul bersama.
Bila datang waktunya kita berpisah, inilah celakanya.


Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia berseru kepada Cocak Hijau.


"Cocak Hijau! Kata-kata Tuan Pendeta patut kau dengar. Itulah jalan
sebaik-baiknya. Nah, perlihatkan sedikit kepandaianmu!"


Mayarsewu adalah sahabat Cocak Hijau. Pernah dia bertempur melawan dia dan
tak ada yang kalah atau menang. Dengan begitu, tentang kepandaiannya dan
mulutnya dia kenal benar. Tidaklah memalukan bila dipamerkan, malahan bisa
sedikit menguncupkan orang-orang gagah di antara mereka.


Cocak Hijau lantas saja bersiaga. Dengan berseru, "Lihat!" Lalu ia meloncat
tinggi dan melesat dari tiang ke tiang, bagaikan burung Cocak hinggap di
dahan-dahan. Yang hebat lagi, gerakannya membawa kesiur angin yang
bergulungan. Penjaga-penjaga Sanjaya yang terdiri dari kaum buruh lumrah,
pada jatuh bergelimpangan kena samber angin. Cocak Hijau tidak




hanya memamerkan kegesitannya semata, tetapi tiba-tiba terjun ke lantai dan
menggempur batu-batu sehingga separo tubuhnya tertumblas seperti tonggak
tanggul.


Mereka yang melihat kagum sambil memuji keperkasaannya dengan terus terang.
Sangaji yang berhati polos, lantas saja bertepuk tangan seperti laku
anak-anak Jakarta yang menyatakan kekagumannya secara langsung. Pada dewasa
itu, orang jarang bertepuk tangan. Karena itu di antara mereka hanya dia
seorang yang bertepuk tangan. Semua menoleh kepadanya. Juga Cocak Hijau tak
urung melirikkan mata.


"Kasar kepandaian Saudara itu," ujar Mayarsewu. "Maklumlah, dia orang
berasal dari Bugis ..."


Sehabis berkata begitu, ia menepuk tepi meja dan piring-piring yang berada
di atasnya, kabur sekaligus dan berputaran di udara. Kemudian dia
mengibaskan tangan dan piring-piring seolah-olah bisa dikuasai, mendarat
berturut-turut di atas lantai tanpa bersuara.


Orang-orang yang melihat permainan itu, benar-benar kagum seperti
kanak-kanak melihat sulapan. Belum lagi habis kekaguman mereka, datang
pulalah pertunjukan yang lain. Dua orang penjaga diperintahkan membawa
pergi piring-piring itu. Tapi tatkala diangkat, mendadak saja piring-piring
itu rontok berentakan.


Panembaha Tirtomoyo terperanjat. Pikirnya, hebat ilmunya. Kalau orang ini
tidak sakti, mana bisa menghancurkan sesuatu benda dari kejauhan.


Dan selanjutnya, berturut-turut mereka menunjukkan kepandaiannya
masing-masing. Yang kebal, memperlihatkan kekebalannya. Yang perkasa
memperlihatkan keperkasaannya. Yang bertenaga, segera mengeluarkan
tenaganya dan memperkenalkan ilmunya yang disebut; Bayu Sejati. Dalam pada
itu, Sangaji sempat memperhatikan gerak-gerik


Sanjaya. Pemuda itu makin lama makin bersedih hati kesannya. Maklumlah,
selama pertunjukan itu Sanjaya bersikap seakan-akan menjadi majikannya.
Pandangnya angkuh dan selalu melepaskan senyuman mengejek kepada Panembahan
Tirtomoyo. Karena kesan itu, Sangaji terus teringat kepada si pemuda kumal
yang menjadi sahabat barunya. Dibandingkan dengan si pemuda kumal kesannya
alangkah jauh berlainan.


Teringat akan si pemuda kumal, ia teringat pula akan kata-katanya tadi
pagi. Katanya, dia hendak mencari dirinya. Maka diam-diam, ia mengantongi
empat bongkah daging goreng. Bukankah kawannya itu senang menikmati makanan?


"Sekarang sang Dewaresi!" tiba-tiba terdengar Sanjaya berseru. "Bolehkah
kami melihat dan menyaksikan kepandaian Tuan?"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar