8.04.2019

@bende mataram@ Bagian 107

@bende mataram@
Bagian 107


Melihat orang demikian galak, Panembahan Tirtomoyo tak dapat bersikap
mengalah lagi. Cepat ia mengangkat tangan bersiaga menangkis.
Sekonyong-konyong, sewaktu kedua tangan perkasa akan saling berbenturan,
berkelebatan sesosok bayangan. Bayangan itu menangkap tangan Panembahan
Tirtomoyo dan tangan Yuyu Rumpung dengan berbareng dan dilontarkan. Hebat
akibatnya. Kedua orang sakti itu dapat dipentalkan sampai mundur dua
langkah. Mereka jadi tercengang-cengang, karena kalau bukan orang tangguh
takkan mungkin mampu mementalkan tangan mereka.


Dengan tak setahunya sendiri, mereka mengawaskan pemisah itu. Dia adalah
seorang laki-laki berumur kira-kira 36 tahun. Pakaiannya serba putih,
bertubuh tegap perkasa dan bertampang ngganteng. Tatkala Yuyu Rumpung
melihat siapa dia, lantas saja mengundurkan diri cepat-cepat. Sanjaya
kemudian berkata memperkenalkan.


"Paman! Beliau bernama Yuyung Permana yang disebut orang dengan gelar sang
Dewaresi. Beliau berasal dari Banyumas dan baru untuk pertama kali ini
menginjak kota Pekalongan. Karena itu, beliau ingin berkenalan dengan Paman
dan tetamu-tetamu undangan lainnya."


Tidak semua yang hadir kenal siapa sang Dewaresi itu. Paling-paling mereka
hanya mengenal namanya belaka sebagai dongengan. Tetapi melihat cara mundur
Yuyu Rumpung, sebagian besar dari mereka kuncup hatinya. Panembahan
Tirtomoyo dan Sangaji yang baru untuk pertama kali bertemu pandang dengan
sang Dewaresi, diam-diam menyiasati dirinya.


Orang itu memang berpribadi besar. Alisnya yang tebal menolong kesan
penglihatannya. Sangaji lantas saja teringat kepada tutur-kata gurunya
Wirapati sewaktu berhenti di sebuah warung di sebelah barat kota Cirebon.
Dialah yang disebut-sebut sebagai pemimpin rombongan pemuda-pemuda
berpakaian putih. Dia pulalah yang disujuti Kartawirya dan rekan-rekannya
yang dahulu mencoba merampas kuda dan kantong uang untuk diserahkan kepadanya.


Sementara itu, sang Dewaresi lantas saja merangkapkan tangannya seraya
membungkuk merendahkan diri.


"Sebenarnya aku harus sudah berada di Pekalongan beberapa hari yang lalu.
Sayang, di tengah jalan aku bertemu dengan suatu perkara yang tak dapat
kuabaikan sehingga memperlambat perjalanan. Maafkan kelam-batanku ini."


Melihat cara dia memisahkan Panembahan Tirtomoyo dan Yuyu Rumpung dan
sekarang bisa bersikap merendah hati, orang-orang segera bersikap waspada.
Seolah-olah sudah saling memberi isyarat, segera sadar bahwa orang itu amat
berbahaya. Hanya Sangaji sendiri yang tak begitu menaruh perhatian
berlebih-lebihan. Begitu ia mendengar keterangan sang Dewaresi bahwa dia
terlambat di jalan oleh sesuatu perkara, lantas saja teringat kepada kedua
gurunya. Apakah dia kena dihadang kedua gurunya, sehingga terpaksa mesti
bertempur seru?


Panembahan Tirtomoyo pandai melihat gelagat. Tahu, bahwa mereka yang hadir
bukan orang sembarangan, maka segera ia mengalihkan pandang kepada Sanjaya.
la merasa diri tiada ungkulan jika meladeni mereka dengan sekaligus. Karena
itu berusaha menguasai diri agar jangan terlibat oleh sesuatu persoalan
hingga menerbitkan suatu pertengkaran. Katanya kepada Sanjaya mengalihkan
kesan.


"Mana gurumu? Mengapa belum juga muncul?"


"Ah," sahut Sanjaya berpura-pura terkejut. Lalu ia memanggil seorang
penjaga dan memberi perintah: "Undang guruku!"


Mendengar bunyi perintah Sanjaya, hati Panembahan Tirtomoyo lega. Bila Ki
Hajar Karangpandan muncul di sampingnya, tak usah dia cemas menghadapi
mereka. Biarpun


mereka menyerang dengan berbareng, rasanya sanggup melawan serta mengatasi.


Tidak lama kemudian, terdengarlah suara langkah berat. Lalu muncullah
seorang laki-laki gede, berperut gede, berkulit hitam lekam dan mengenakan
pakaian potongan bangsa Belanda. Pada dewasa itu adalah janggal sekali,
seorang bumi putra mengenakan pakaian potongan barat. Laki-laki yang masih
mempunyai kehormatan diri, tak sudi mengenakan pakaian demikian. Sebab
orang-orang lantas menuduhnya sebagai begundal-begun-dal Belanda.


Orang itu, berjanggut lebat dan berkumis lebat pula. Roman mukanya angker,
tetapi kocak matanya. Dengan demikian lebih patut disangka seorang bangsat
daripada seorang pembesar negeri.


"Guru!" Sanjaya tiba-tiba menyambut dengan gembira. "Paman itu hendak
bertemu dengan guru ..."


Melihat tampangnya orang gede itu dan mendengar lagu suara Sanjaya, hati
Panembahan Tirtomoyo panas seperti terbakar.


Tahulah dia, bahwa pemuda ningrat itu hendak mempermain-mainkan dirinya.
Maka dia berpikir dalam hati, benar-benar berhati busuk bocah ini.
Bagaimana adikku bisa mempunyai murid begini rendah budi-pakartinya...
Tetapi fneskipun hatinya panas, nampak sekali dia bisa mengendalikan diri.


Orang bertubuh gede itu, lalu menghampiri Panembahan Tirtomoyo serta
menegur seperti seorang pembesar negeri.


"Apa perlu kau hendak bertemu dengan aku? Bilang! Aku paling benci melihat
pendeta —cuh— manusia sok suci. Bih! Enek memuakkan!"


Bukan main sombong manusia gede itu. Memang dia seorang pegawai tinggi
dalam pemerintahan Kepatihan Yogyakarta. Orang-orang menyebutkan sebagai
bupati anom, entah bagian apa. Mungkin bagian perhubungan, karena di mana
saja ada seorang pembesar berpesiar ke luar daerah, selalu nampak batang
hidungnya.


Dengan memaksakan diri Panembahan Tirtomoyo bersikap merendah. Berkatalah
dia menusuk, "Memang kami ini golongan manusia yang sok kesuci-sucian.
Pantas tak disukai cecongor-cecongor pembesar negeri seperti Tuan.
Nah—kebetulan hari ini, aku yang rendah bertemu dengan moncong Tuan.
Boleh-kan aku yang rendah mengharapkan derma?"


Terang sekali, Panembahan Tirtomoyo membalas kesombongan pembesar itu
de-ngan kata-kata yang tak kurang pedasnya. Dan pembesar gendut yang
sebenarnya bernama Danuwinoto itu, terhenyak sampai tercengang-cengang.
Maklumlah, biasanya orang kuncup hatinya apabila kena gertak. Apalagi
berada di hadapan para pembesar negeri lainnya. Tetapi kali ini dia
tertumbuk batu. Belum pernah selama hidupnya, ia kena semprot seseorang
yang tiada mempunyai kedudukan, di depan hidung majikannya, la tak tahu,
kalau orang yang dihadapi itu pernah menjadi tangan kanannya Sri
Mangkunegoro 1 kala masih berjuang menuntut keadilan. Dengan kepala
berteka-teki ia menoleh kepada Sanjaya, anak majikannya, la ingin
memperoleh penerangan lagi mengenai jalannya permainan ini.


Memang dia bukan guru Sanjaya. Cuma, sewaktu Sanjaya masih kanak- kanak
pernah mengajari satu dua jurus belaka. Kalau disebut sebagai seorang guru,
sebenarnya masih kurang jauh syarat-syaratnya. Tetapi tadi dia dikisiki
oleh Sanjaya, bagaimana dia harus bersikap di depan Panembahan Tirtomoyo.


Maksudnya untuk membuat malu sang Pendeta. Sebagai seorang hamba yang
mengharapkan kebagian rejeki sebanyak-banyaknya manakala bisa meladeni
kehendak majikan, maka tanpa pikir lagi lantas saja dia bekerja.


Sanjaya tersenyum panjang.


"Guru! Bukankah cukup jelas maksud Paman menemui Guru? Dia minta derma."




Danuwinoto berdiri melongoh. Sama sekali tak diduganya, bahwa persoalan itu
akan dikembalikan kepadanya. Hatinya lantas saja jadi kelabakan hingga
matanya terkocak.


Sanjaya rupanya bisa menebak gejolak hatinya. Ia ingin menolong bawahannya.
Lalu memanggil seorang dayang dan disuruhnya mengambil uang sebanyak 50
ringgit. Ini adalah suatu jumlah luar biasa besar untuk suatu derma. Dan
sekali lagi, Danuwinoto yang mata duiten jadi terlongoh-longoh.


"Mari kita duduk," terdengar Sanjaya mempersilakan tetamu-tetamu
undangannya. "Paman Panembahan Tirtomoyo baru sekali ini berkunjung kemari.
Berilah tempat yang luas, Tuan-tuan sekalian!"


Dengan hati mendongkol Panembahan Tirtomoyo terpaksa menerima tata cara
penyambutan, la duduk bersama Sangaji. Dan di depannya tetamu-tetamu
lainnya duduk i seolah-olah sedang merubung dan siap mengkerubut bila
perlu. Dua orang opsir Belanda yang hadir pula pada jamuan itu, ikut pula
duduk. Tetapi mereka berdua lalu 'berbicara sendiri. Akhirnya berjalan
mengelilingi pendapa mengamat-amati perhiasan dinding dan dua perangkat
gamelan yang menarik perhatiannya.


Dayang-dayang yang tadi duduk bersimpuh di dekat pintu masuk, segera
bekerja dengan cekatan. Mereka mulai mengeluarkan minuman dan penganan.
Begitulah, lantas saja terjadilah suatu perjamuan yang disertai gelak tawa
sebebas-bebasnya.


Sangaji yang semenjak tadi berdiam diri, diam-diam memperhatikan air muka
Panem-fbahan Tirtomoyo. Orang tua itu seakan-akan sedang berpikir keras
memecahkan sesuatu persoalan. Mendadak saja ia mendongakkan kepala dan
berkata nyaring kepada Sanjaya.


"Eh, anak muda! Kebetulan sekali di sini hadir para pendekar yang sudah
mempunyai , pengalaman luas dalam pergaulan hidup dalam dunia ini. Aku akan
minta pendapat, pertimbangan dan pengadilan mereka."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar