8.04.2019

@bende mataram@ Bagian 106

@bende mataram@
Bagian 106


Sangaji mengangguk. Hatinya tiba-tiba menjadi pedih, melihat sepak-terjang
dan perangai temannya sepermainan dahulu. Dengan pandang tajam ia
mengamat-amati dan mencoba mencari-cari suatu ingatan dalam masa
kanak-kanaknya. Lapat-lapat dikenalnya pula potongan tubuh dan raut-muka
temannya itu. Justru ia memperoleh ciri-ciri ingatan, jantungnya memukul
keras. Untung, ia tadi telah menerima nasehat Panembahan Tirtomoyo. Maka
cepat-cepat ia menguasai luapan perasaannya, sampai mukanya merah padam.


Sanjaya tersenyum melihat perubahan air muka Sangaji. la mengira
olok-oloknya dengan menggunakan istilah sahabat kecil, mengenai sasaran dan
tetamunya tak dapat berkutik untuk membalas permainannya. Sebaliknya
Panembahan Tirtomoyo kelihatan mendongkol. Lalu ia mendamprat, "Berapa
tahun kamu menjadi murid gurumu sampai kau tak mengenal tata-istiadat?"


"Itulah celakanya, kalau seseorang menekuni pelajaran suatu ilmu
acak-acakan," sahut Sanjaya dengan tertawa lebar. Maksudnya hendak
merendahkan diri, tapi justru menikam kehormatan gurunya sebagai adik
kandung Panembahan Tirtomoyo. Maka orang tua itu membentak tajam.


"Meskipun gurumu orang edan-edanan, ilmunya bukan ilmu acak-acakan. Gurumu
bakal tiba di sini, mengapa kamu berani merendahkan keharuman namanya?"


"Guruku telah berada di sini, malah. Apakah Paman ingin bertemu dengan beliau?"


Panembahan Tirtomoyo heran sampai terhenyak. Berkata menebak-nebak, "Di
mana dia sekarang? Coba panggil! Aku mau bicara!"


"Silakan masuk. Segera akan kuundangnya kemari," sahut Sanjaya. Ia kemudian
memanggil salah seorang penjaga dan membisikkan suatu kalimat perintah.


Panembahan Tirtomoyo dan Sangaji kemudian memasuki pendapa kadipaten.
Pendapa itu benar-benar mentereng dan penuh hiasan beraneka-warna.


Bukan sekali dua kali Sangaji pernah melihat gedung-gedung mentereng. Sudah
sering dan sudah pula menjadi suatu penglihatan lumrah dalam sehari-harinya
ketika masih berada di Jakarta. Tetapi pendapa Kadipaten Pekalongan ini,
memang benar-benar istimewa. Kesannya lain daripada gedung-gedung mentereng
milik bangsa Belanda atau Tionghoa.


Hiasannya khas selera Jawa Tengah. Berwibawa, angker dan indah. Di sudut
sana berdirilah seonggok tombak pusaka dengan didampingi payung emas.
Kemudian gambarraja Susuhunan Surakarta lengkap dengan permaisuri dan
keturunannya. Pada dinding lain tergantunglah bermacam-macam hiasan yang
terbuat dari emas dan perak dengan diselang-seling hiasan terbuat dari
beludru mahal dan kain batik pilihan. Di atas lantai tergelarlah dua
perangkat gamelan Pelok dan Selendro yang terawat baik-baik. Nampak pula
sebuah kotak wayang kulit yang berdiri di antara pot-pot tetanaman. Di
hampir tiap sudut pendapa duduklah beberapa penjaga siap dengan senjatanya.
Dan di dekat pintu masuk yang dihiasi gambar sepasang




muda-mudi lagi berkasih-kasihan, nampak enam dayang-dayang duduk bersila
dengan kepala menunduk.


Sanjaya segera memperkenalkan dengan tetamu-tetamu undangan lainnya yang
terdiri dari dua puluh orang. Di antara mereka nampaklah Manyarsewu
pendekar sakti dari Ponorogo, Yuyu Rumpung, Cocak Hijau dan dua orang opsir
Belanda.


"Inilah Cak Abdulrasim dari Madura. Dan ini Putut Tunggulnaga dari Kediri,"
kata Sanjaya lagi. Kemudian berturut-turut ia menyebut nama-nama,
Sawungrana dari Surabaya, Glatikbiru dari Banyuwangi, Wiryadikun dan
Somakarti dari Surakarta, Wongso Gdel dari Blora, Jokokrowak dari Kudus,
Orang-aring dari Maospati, Trunaceleng dari Sragen. Keyong Growong dari
Cirebon, Munding Kelana dari Indramayu, Banyak Codet dari Cilacap, Sintir
Modar dari Bagelen dan Gajah Banci dari Semarang.


Panembahan Tirtomoyo tercengang-cengang hingga dia sibuk menduga-duga,
"Aneh, mengapa benggolan-benggolan dari semua penjuru berkumpul di sini?"


Sebagai seorang bekas pendekar alam yang banyak mempunyai pengalaman, sudah
barang tentu mengenal nama-nama dan gelar mereka semua. Karena itu dia kini
bersikap hati-hati dan berwaspada.


"Ah," katanya merendahkan diri. "Tak berani aku menerima kehormatan begini
besar sampai pula diperkenalkan dengan para pendekar sakti."


Sekonyong-konyong terdengarlah suara parau seperti burung betet pendekar sakti.


"Eh—semenjak kapan Panembahan Tirtomoyo bekerja sama dengan Jaka Saradenta
Gelondong Segaloh?"


Panembahan Tirtomoyo terkejut. Suara itu luar biasa tajamnya dan mempunyai
tenaga mantran. Cepat-cepat ia mengatur pernapasan dan menenteramkan diri
sambil melayangkan pandangnya ke arah datangnya tegoran. Ternyata yang
berbicara adalah Yuyu Rumpung si pendek buntet. Memang orang itu masih
penasaran menyaksikan kemenakan muridnya kena dipermain-mainkan oleh si
pemuda kumal sahabat Sangaji. Sebagai seorang yang luas pemandangannya,
lantas saja dapat menebak perhubungan antara Sangaji dan si pemuda kumal.
Diapun dapat menebak ilmu tata-berkelahi Sangaji. Maklumlah, dia berasal
dari Banyumas dan menjadi penasehat sang Dewaresi. Dengan sendirinya
mengenal juga siapa Jaga Saradenta. Bukankah dia paman Kodrat yang dahulu
pernah menjadi salah seorang bawahan sang Dewaresi? Sehabis melepaskan
tegoran untuk mempengaruhi keadaan, ia berjalan menghampiri Panembahan
Tirtomoyo.


"Ih! Belum pernah aku bertemu denganmu seperti air kali dan air telaga,
mengapa kamu tiba-tiba bersikap demikian garang?" kata Panembahan Tirtomoyo
di dalam hati. Menimbang kalau orang itu bukan tokoh sem-barangan, maka dia
bersikap sabar. Dengan sopan ia menyahut, "Nama dan gelar Tuan telah lama
kukenal. Mengapa Tuan salah duga terhadapku?"


Yuyu Rumpung tertawa riuh sampai perutnya terguncang-guncang. Berkata
nyaring, "Bukankah Tuan yang terkenal dengan nama Panembahan Tirtomoyo?"


'Tak berani aku memperkenalkan diri dengan sebutan sementereng itu. Namaku
sebenarnya Tunggulgeni. Gubukku berada di Tirtomoyo. Hanya orang yang salah
dengar menyebut diriku sebagai Panembahan Tirtomoyo."


Yuyu Rumpung tak mempedulikan sikap orang yang begitu sabar dan
sopan-santun. Tabiatnya memang keras dan mau menang sendiri. Sepak
terjangnya galak dan gampang marah. Itulah sebabnya, meskipun hampir semua
bawahan sang Dewaresi dalam asuhannya, tidak ada seorangpun yang berhasil
mewarisi ilmu kepandaiannya.


Dia lantas saja melototkan pandang kepada Sangaji. Tanpa sungkan-sungkan,
tangannya mencengkeram hendak merenggutkan rambut Sangaji. Gntung Sangaji
cukup berwaspada.




Melihat gerakan orang, cepat ia mundur selangkah. Panembahan Tirtomoyo
sendiri lalu maju melindungi.


"Bagus! Bagus! Kau melindungi kelinci cilik ini!" Yuyu Rumpung mengumbar
amarahnya. Terus saja ia menyambar dada Panembahan Tirtomoyo.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar