8.03.2019

@bende mataram@ Bagian 105

@bende mataram@
Bagian 105


"Tuan-tuan berdua mendapat undangan Raden Mas Sanjaya agar sudi berkunjung
ke istana Kadipaten. Inilah surat undangan beliau."


Panembahan Tirtomoyo diam menimbang-nimbang. "Baiklah. Sampaikan saja,
kalau kami berdua akan segera datang."


Setelah berkata demikian, dengan menggandeng tangan Sangaji ia memasuki
losmen. Rombongan polisi daerah itu, lantas saja mengundurkan diri. Rupanya
mereka telah agak lama menunggu kedatangan mereka berdua. Begitu selesai
melakukan tugas, cepat-cepat meninggalkan serambi losmen.


"Sangaji! Baiklah kita datang saja. Di sana kamu bakal ketemu dengan
Sanjaya. Mungkin pertemuan itu akan mendatangkan angin bagus."


Sangaji mengangguk. Hatinya girang. Memang ia merasa menyesal, mengapa
sampai bertengkar dengan temannya itu. Seumpama siang-siang dia mengetahui
siapa pemuda ningrat itu sebenarnya, takkan terjadi peristiwa demikian.


Waktu memasuki kamar, mereka melihat Mustapa sedang merebahkan diri di atas
pembaringan. Kedua pergelangan tangannya membengkak dan berwarna biru.
Nuraini yang terluka dadanya, duduk di sampingnya dengan wajah kebingungan.
Alangkah dia bergirang hati, tatkala melihat kedatangan mereka. Gugup ia
mempersilakan duduk di atas kursi, sedang dia sendiri tetap berada di tepi
pembaringan.


Panembahan Tirtomoyo membuka bebat yang melilit pergelangan, kemudian
memeriksa dengan cermat. Tulang pergelangan kedua belah tangan patah.
Itulah kejadian lumrah dalam suatu pertarungan. Hanya saja bengkak itu
nampak tersembunyi bentong-bentong merah hitam seperti kena bisa ular.


Ih, aneh! pikir Panembahan Tirtomoyo. Biarpun Hajar memiliki ilmu mantran
pelik-pelik, tetapi tak mungkin mengantongi suatu mantran jahat. Sanjaya
terang anak murid Hajar. Dari manakah dia mempunyai ilmu pukulan begini
berbisa?


Selagi Panembahan Tirtomoyo sibuk menebak-nebak, Sangaji mengawaskan
Nuraini yang selalu menunduk dalam, la jadi perasa. Ingin ia membesarkan
hatinya dan menyatakan pula bersedia membela kehormatannya betapa besar
akibatnya.


Tak lama, Panembahan Tirtomoyo merogoh kantung sakunya dan mengeluarkan
sebuah kotak kecil terbuat dari kayu.


"Siapakah namamu?" katanya pada Nuraini. Nuraini menegakkan kepala.


"Nuraini binti Maksum." "Dialah ayahmu?"


"Bukan. Dia ayah angkatku. Namanya Mustapa."


Panembahan Tirtomoyo tak bertanya lebih jauh. Ia mengalihkan pembicaraan,


"Ayah angkatmu kena pukulan beracun. Kebetulan aku mengantongi sebuah kotak
kecil berisi bubuk daun Sangkalputung. Daun ini sangat mustajab untuk
memulihkan tulang patah. Nanti kutolong menyambungkan tulangnya yang patah.
Hanya saja aku mengkhawatirkan bentong-bentong racun itu. Kamu perlu
merawatnya hati-hati."


Nuraini terperanjat. Sangajipun kagetnya pula. "Kena racun? Kapan dia kena
racun?"


"Dia bukan kena racun, tetapi kena. pukulan beracun. Rupanya Sanjaya
mempunyai pukulan berbisa yang berbahaya. Darimana dia mendapat pukulan
itu, sulit aku menebaknya. Jelas sekali pukulan demikian, bukan berasal
dari Hajar. Pasti ada lika-likunya di belakang kejadian


ini."


Sangaji diam berpikir keras. Ia mencoba mengingat-ingat perkelahian antara
Sanjaya dan Mustapa. Sanjaya tadi hanya mengembangkan ke lima jarinya
seperti hendak mencakar. Lalu diterkamkan dan menyambar pergelangan.
Serangan inilah yang mematahkan pergelangan tangan Mustapa.


"Tak mungkin! Tak mungkin!" dia komat-kamit.


Panembahan Tirtomoyo yang sedang menyambung tulang pergelangan, menoleh.
"Apanya yang tak mungkin?"


"Sebab-musabab patahnya tulang perge-langannya, masih teringat segar dalam
benakku. Dia kena serangan aneh semacam jurus milik Pringgasakti."


"Apa katamu?" Panembahan Tirtomoyo terperanjat, la nampak menguasai diri,
karena tengah menyambung tulang. Setelah selesai, segera ia menyuruh
Nuraini memborehkan bubuk Sangkalputung dan membebatnya rapi. Kemudian
membawa Sangaji ke luar losmen.


"Kamu tadi mnegatakan apa?"


Sangaji mengisahkan riwayat pertemuannya dengan Pringgasakti di sebuah
bukit daerah Cibinong. Karena pengalamannya itu, gerakan serangan Sanjaya
mengingatkan dia kepada gaya Pringgasakti.


"Ah! Bukankah Pringgasakti si iblis itu? Masa dia masih hidup pada jaman
ini?" potong Panembahan Tirtomoyo gugup. Ia mempercepat langkahnya
seolah-olah hendak memburu sesuatu.


Sangaji mencoba membicarakan Pringgasakti menurut pendengarannya dari
omongan kedua gurunya. Panembahan Tirtomoyo mendengarkan dengan berdiam
diri. Diam-diam ia mulai curiga pada murid adik kandungnya.


"Kau bilang, gurumu Jaga Saradenta melihat Pringgasakti berjalan bersama
Pangeran Bumi Gede di Jakarta?" dia menegas.


"Begitulah kata guruku Jaga Saradenta."


Panembahan Tirtomoyo menaikkan alisnya, tetapi tidak mengucap sepatah kata
lagi. Dengan berdiam diri ia menggandeng Sangaji memasuki halaman Kadipaten
Pekalongan yang lebar dan luas. Pendapa Kadipaten bagaikan sebuah pendapa
pangeran-pangeran pati di Surakarta atau Yogyakarta. Teguh, tegak dan
mentereng. Di sana nampak segerombolan orang yang mengenakan pakaian daerah
masing-masing.


"Sangaji, dengarkan!" bisik Panembahan Tirtomoyo. "Dalam hal kecerdikan dan
pengalaman bergaul dalam dunia luas ini, kamu kalah dengan Sanjaya. Karena
itu mulai sekarang kamu harus bersikap hati-hati dan waspada. Jangan
biarkan hatimu dikisiki luapan perasaan belaka. Kuasailah dirimu sebaik
mungkin! Bergaul dengan penguasa-penguasa negara tak boleh menyatakan
perasaan hati dengan terang-terangan. Kau mengerti?" Sangaji mengangguk.


"Bagus!" Panembahan Tirtomoyo gembira-melihat Sangaji mendengarkan
nasehatnya. Meneruskan, "Lebih baik kamu tak dikenal mereka daripada
memperkenalkan diri dengan terang-terangan. Ada guna faedahnya. Karena itu,
janganlah kamu menyapa Sanjaya dahulu. Lain kali masih ada kesempatan. Kini
bersikaplah wajar seperti tadi. Selain dirimu aman, kamu mempunyai
kesempatan mengamat-amati dia sebelum bertanding. Dengan begitu, kamu bisa
menempatkan diri kelak dalam gelanggang pertandingan."


Sangaji tak menyetujui nasehat yang terakhir ini. Hatinya yang jujur bersih
emoh berbuat suatu laku curang. Tetapi tatkala hendak membuka mulut,
tiba-tiba Panembahan Tirtomoyo seperti telah dapat membaca hatinya.


"Bukankah kamu tadi telah mendapat pe-. ngalaman, bagaimana licinnya
lawanmu? Dalam suatu pertandingan, orang tak boleh hanya mengutamakan
keuletan tenaga belaka. Sebelum




kamu memasuki wilayah Jawa Tengah, bukankah kamu telah diselidiki terlebih
dahulu? Kau tadi bilang perkara perkelahianmu melawan pemuda Surapati adik
seperguruan Sanjaya."


Teringat akan Surapati, Sangaji terkesiap. Barulah sekarang dia mengerti
tentang arti kedatangan pemuda itu di Jakarta dan dengan sengaja menantang
berkelahi tanpa sesuatu, alasan tertentu. Sebagai seorang pemuda yang masih
jujur bersih dan tak pernah pula memikirkan tentang hal-hal yang tiada
lurus biar selintaspun, lantas saja timbul rasa dengkinya pada pemuda
Surapati. Mendapat perasaan demikian, ia kemudian mengangguk tanpa
ragu-ragu lagi.


Sanjaya yang berada di pendapa, waktu itu datang menyambut kedatangan
Panembahan Tirtomoyo. la tertawa berseri-seri seraya berkata merendahkan diri.


"Paman benar-benar sudi berkunjung di rumah pondokanku. Meskipun rumah ini
bukan rumah sendiri, tetapi aku mendapat kebebasan luas untuk berlaku
sebagai tuan rumah. Nah, selamat datang Paman. Selamat datang pula
kuucapkan pada sahabat kecil ini."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar