@bende mataram@
Bagian 103
PANEMBAHAN TIRTOMOYO memperlambat larinya. Akhirnya berjalan wajar seperti
seseorang yang lagi menikmati pemandangan. Ia menunggu kesan Sangaji.
Tetapi ternyata kesan Sangaji dingin membeku seolah-olah enggan menaruh
perhatian. Diam-diam ia heran atas tabiat pemuda itu yang tiada usilan.
Pikirnya, hatinya beku sederhana. Kokoh dan utuh. Bagus bakatnya. Kalau
saja ia menemukan seorang guru yang pandai mengenal pribadinya, kelak bakal
jadi seorang kesatria-pendeta. Sebagai seorang pendeta, lantas saja hatinya
kian tertambat pada pribadi Sangaji.
Sangaji sendiri waktu itu memang lagi berpikir lain. Dia hanya mendengar
ujar Panembahan Tirtomoyo dengan setengah hati, karena pikirannya mendadak
melayang kepada sahabatnya si pemuda kumal. Sesungguhnya dalam segala hal,
hatinya lebih tertarik pada gerak-gerik pemuda kumal itu daripada yang
lain. Ia sudah memperoleh kesan buruk terhadap si pemuda
ningrat. Apa perlu hendak mengetahui keadaannya lebih jauh? Inilah
ciri-ciri pribadinya yang jauh berlainan daripada kebanyakan manusia yang
masih berdarah panas. Mungkin pula, usianya masih muda. Hatinya masih hijau
pupus terhadap segala persoalan hidup yang bernapaskan lika-liku pelik.
Terhadap si pemuda kumal, ia mempunyai kesan aneh. Teringat akan
kepandaiannya yang dapat mempermain-mainkan orang semacam Kartawirya,
hatinya ikut bersyukur dan girang luar biasa. Ingin ia hendak lekas-lekas
bertemu agar dapat menumpahkan semua perasaannya. Lalu ia teringat pula
kepada lipatan kertas yang diberikan kepadanya semenjak di Cirebon. Dua
kali ia melalaikan pesannya agar membuka lipatan kertas itu setelah dua
hari dua malam. Tetapi oleh suatu kesibukan pesannya belum dapat
dilaksanakan. Tatkala pagi tadi dia menerima warta tentang kedatangannya
dari mulut pelayan losmen, ia lupa pula membuka lipatan kertas itu karena
terdorong rasa girang. Kini ia mau melakukan tegoran sahabatnya itu.
Diam-diam ia merogoh kantungnya. Ternyata lipatan kertas itu masih mengeram
baik-baik. Segera ia hendak merogoh, mendadak mendengar Panembahan
Tirtomoyo berkata seolah-olah mendesak.
"Pernahkah kamu mendengar tentang seorang pendeta edan-edanan bernama Ki
Hajar Karangpandan?"
Sangaji mengangguk. Memang ia pernah mendengar nama itu. Pertama-tama
keluar dari mulut kedua gurunya. Kedua, dari mulut Ki Tunjungbiru tatkala
mengisahkan riwayat pertemuannya sehingga orang tua itu terikat oleh suatu
perjanjian tiada kawin selama hidupnya.
"Dia seorang guru besar," ujarnya dingin. Ia teringat kepada pemuda
Surapati yang mengabarkan dirinya sebagai murid Ki Hajar Karangpandan di
samping sahabatnya semasa kanak-kanak Sanjaya.
"Dialah guru pemuda itu."
"Sudah kuduga sebelumnya, karena gerak-geriknya mirip dengan seorang pemuda
yang pernah berkelahi denganku di Jakarta."
"Siapa pemuda itu?"
"Namanya Surapati. Dia adik seperguruan teman sepermainanku semasa
kanak-kanak." "Hm." Panembahan Tirtomoyo berdengus
melalui hidungnya. "Akupun segera mengenal tata-ilmu berkelahinya. Itulah
gaya adik kandungku Hajar edan."
Mendengar keterangan Panembahan Tirtomoyo bahwa Ki Hajar Karangpandan
adalah adik kandung, terperanjatlah Sangaji mengingat bahwa dia sampai
berkelahi melawan murid-kemenakannya, hatinya merasa bersalah. Cepat-cepat
dia berkata, "Aki! Kalau begitu aku bersalah terhadap Aki karena berkelahi
melawan kemenakan murid Aki. Aku mohon maaf sebesar-besarnya. Alasan
perkelahian itu sebenarnya hanya berkisar pada soal perjodohan. Dia hendak
mengingkari janji dan menghina kehormatan seorang gadis dengan
terang-terangan di muka umum. Sekiranya aku tahu dia adalah murid adik Aki,
bagaimana aku berani berlaku lancang ..."
Panembahan Tirtomoyo tertawa perlahan.
"Tak perlu kamu minta maaf padaku. Bahkan aku periu menyatakan kekagumanku.
Hatimu amat mulia, bocah. Aku senang padamu. Kau tahu, meski pun adikku
seorang pendeta edan-edanan, tapi hatinya jujur bersih. Tak bakal ia
membantu muridnya dengan membabi buta. Tak bakal pula dia membiarkan
muridnya merusak namanya. Kautahu, karena demi nama, adikku bersedia
berkelahi mengadu nyawa. Demi nama, dia berani menyiksa diri tidak kawin
sepanjang hidupnya. Demi nama pula, dia terikat oleh suatu perjanjian
dengan dua orang pendekar utama pada jaman ini." la berhenti mengesankan.
"Bocah! Siapakah sebenarnya nama kedua gurumu dan kamu berasal dari mana?
Menilik tata bahasamu kamu bukan
seorang anak yang hidup di tengah pergaulan daerah Jawa Tengah."
Dua belas tahun lamanya Sangaji hidup di kota Jakarta. Meskipun dapat
berbicara bahasa-daerah Jawa Tengah dengan lancar, tetapi bahasa
sehari-sehari yang digunakan ialah bahasa Melayu Jakarta. Itulah sebabnya
bagi pendengaran orang Jawa Tengah, tutur katanya terdengar kaku.
Sangaji menatap pandang Panembahan Tirtomoyo. Terhadap orang sesaleh dia,
tak perlu ia menaruh keberatan menyebut nama kedua gurunya.
"Guruku dua orang. Yang berusia tua bernama Jaga Saradenta dan berusia
pertengahan, Wirapati."
"Ah!" seru Panembahan Tirtomoyo terkejut. "Masa kamu murid mereka? Kabarnya
dua orang itu, sekarang berada di daerah barat."
"Benar." Sahut Sangaji dengan hati bangga. "Beliau berdua berada di Jakarta
selama mengasuhku."
"Eh ... jadi... jadi kaukah bocah pertaruhan itu?"
Sangaji menebak-nebak arti kata orang tua itu. Terus terang, dia belum bisa
menanggapi. "Pertaruhan?" tanya Sangaji minta penjelasan.
"Ya, bukankah kamu anak yang dijadikan pertaruhan antara kedua gurumu dan
Hajar? Dua tahun yang lalu, aku berjumpa dengan Hajar di dekat Desa
Bekonang. Dia menceritakan seperti itu demi kehormatan diri masing-masing."
"Ah, itukah maksud Aki?" Sangaji baru mengerti. Lalu ia mengangguk. "Kamu
tahu, diapun anak yang dipertaruhkan."
"Dia siapa?"
"Pemuda keagung-agungan tadi."
Mendengar keterangan Panembahan Tirtomoyo tentang si pemuda ningrat yang
senasib dengannya, rasa dengkinya turun. Ia malah tertawa perlahan karena geli.
"Ia dipertaruhkan untuk bertanding melawan siapa?" "Melawanmu."
"Aku?" Sangaji heran.
"Ya, karena dia itulah Sanjaya."
Kalau orang kaget disambar petir, tidaklah sekaget Sangaji. Pandangnya
lantas saja jadi kabur dan hatinya memukul keras. Kakinya terasa menjadi
kejang. Dan dia berdiri tegak bagaikan sebatang tonggak. Bagaimana tidak?
Nama Sanjaya tak pernah hilang dalam perbendaharaan benaknya, sebagai teman
sepermainan masa kanak-kanak.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar