@bende mataram@
Bagian 66
"Tak pernah kami minta penjelasan dan mendapat keterangan dari dia.
Pokoknya, cerita itu dapat menggirangkan dan meringankan hati,
sudahlah cukup," sahut Ki Tunjungbiru. Kemudian meneruskan, "Kami pernah
bertemu juga dengan seorang nelayan dari Madagaskar. Nelayan itu-ternyata
seorang keturunan suku Jawa pula. Dia pun pandai bercerita. Di sebelah
barat pulau Madagaskar tergelarlah sebuah benua bernama Afrika. Di benua
itu banyaklah tumbuh pohon-pohon ajaib. Diantaranya terdapat sebuah pohon
pemangsa darah. Pohon itu perkasa, berbunga indah dan harum baunya.
Barangsiapa berada di dekatnya, akan tertidur pulas. Maklum mahkota daunnya
rimbun, sejuk dan membuat rasa nyaman luar biasa. Akar-akarnya panjang dan
menyenangkan bagi kera-kera atau lutung yang tidak berpengalaman. Jika
binatang atau manusia yang kena terkam akarnya yang panjang itu10), takkan
ada suatu kekuatan lain yang sanggup merenggutkan. Seekor gajahpun tak
berdaya jika telah kena ringkus. Perlahan-lahan mangsanya ditarik ke atas
dan dimasukkan ke dalam mulutnya untuk dihisap darahnya. Kerangkanya
kemudian dilontarkan jauh-jauh seolah-olah mau menghilangkan jejak.
Mendengar cerita itu, kami yang mendengar tak mau cepat percaya. Kami minta
bukti-bukti, tetapi sudah barang tentu dia tak dapat membuktikan.
Maklumlah, selain Benua Afrika sangat jauh letaknya, pohon itu jarang pula
terdapat di kolong langit ini. Tetapi siapa menyangka, kalau aku akhirnya
menjumpai pohon itu di sebelah utara Pulau Jawa ini."
"Itu pohon Dewadaru yang Aki sebutkan?" sela Sangaji lagi.
"Begitulah kami menyebutnya," ujar Ki Tunjungbiru. "Seperti kau dengar
kemarin malam, kami...
aku dan Ayah... terdampar di Pulau Edam. Keesokan harinya kami berteduh.
Hawa mula-mula sangat panas, karena itu rimbun pohon Dewadaru sangat
menyenangkan. Aku mencongkel batangnya dan kuhisap getahnya untuk penawar
haus. Rasanya sedap bukan main."
"Seperti madu?"
"Ya, seperti madu. Ayah tertidur di sampingku. Aku biarkan saja, karena aku
tahu dia sangat letih. Mendadak udara yang terang benderang jadi
gelap-gulita. Awan hitam datang bergulung-gulung, namun hujan tidak turun
juga. Itulah sebabnya hawa kian terasa menjadi panas. Sekonyong-konyong aku
mendengar suara bergelora dan berkerunyitan. Ternyata tubuh ayahku telah
teringkus dengan akar-akarnya. Aku terperanjat. Ingin aku menolongnya,
tetapi tenagaku seolah-olah lumpuh. Dengan hati tersayat- sayat aku melihat
tubuh Ayah terangkat ke atas. Seketika itu juga teringatlah aku pada cerita
nelayan dari Madagaskar. Teringat akan cerita itu seluruh tubuhku
menggigil. Aku melihat Ayah masih saja tertidur lelap. Aku mencoba
memekik-mekik tinggi. Namun dia tak terbangunkan. Mendadak akar-akar yang
lain me-ringkus diriku pula. Aku tergulung-gulung bagai seekor ikan
teringkus jala. Kucoba meronta, tetapi tenagaku benar-benar seperti
terhisap hilang."
"Lantas ?" Sangaji tak bersabar lagi.
"Perlahan-lahan aku terangkat naik. Seluruh tubuhku terasa seperti
digerumuti binatang-binatang serangga. Aku memekik-mekik tinggi. Tetapi
siapa yang akan mendengar suaraku ? Keadaan pulau sunyi lengang tak ada
penghuninya. Aku sudah putus asa. Sekonyong-konyong terjadilah suatu
peristiwa tak terduga. Kilap mengecap menusuk cakrawala dibarengi suara
guntur berdentum. Dan pohon itu seperti terkejut. Aku dilontarkan dan
terbuang di tanah. Gntung, aku belum terayun tinggi, sehingga meskipun
jatuh jungkir balik tak mencelakakan diriku. Tetapi Ayah..."
Sangaji melongok.
"Tetapi Ayah..." Ki Tunjungbiru mengulangi. "Benar ia dicampakkan juga ke
tanah, tetapi napasnya telah hilang. Mulutnya nampak bersenyum dan tubuhnya
lemas seperti benda lumer." "Ah!"
"Semenjak itu aku menaruh dendam kepadanya. Ingin aku menebasnya dan
menumbangkan. Tapi aku sadar, kalau maksudku itu takkan tercapai. Batangnya
terlalu kuat. Akhirnya aku berpikir, satu-satunya jalan untuk membalas
dendam ialah, menghisap habis seluruh getahnya. Karena pikiran ini aku
merantau mencari seorang pemuda yang kuat dan bersemangat. Banyak kujumpai
pemuda-pemuda demikian, tetapi aku kecewa kepada kemampuan dan semangatnya.
Lebih empat puluh pemuda sudah menjadi korban pohon itu. Kebanyakan mereka
ketakutan atau terlalu sembrono. Mereka melarikan diri tatkala pohon
bergerak-gerak dan melihat akar-akarnya berserabutan. Sudah barang tentu
mereka kena sambar dan menjadi mangsanya. Sedangkan aku tak berdaya
melepaskannya. Kemudian datanglah kau. Ah, hampir saja aku membuatmu
celaka. Gntung nasibmu baik dan semangat tempurmu tinggi. Kulihat kamu
berjuang dengan gigih menggigit batangnya. Kulihat juga kautahan menghadapi
renggutan pohon itu. Hatimu tahan menentang pemandangan yang ngeri. Terus
terang, keberani-anmu melebihi keberanianku sendiri. Kamu berhasil, sudah.
Tetapi aku hampir lupa akan perhitungan karena besarnya dendamku pada pohon
itu. Aku mengharapkan agar kamu bisa menghisap seluruh getahnya. Bukankah
ini suatu radang hati yang gila? Ya—bagaimana tubuhmu sekecil ini bisa
menghirup seluruh getah pohon raksasa begitu. Pada saat kamu terancam
nyawamu, aku mendadak sadar. Hal itu terjadi tatkala kulihat seluruh
tubuhmu memutih seperti gamping. Aku hampirimu dengan penuh pengakuan dosa.
Kurenggutkan dan kusentakkan batangnya. Kemudian dengan merayap-rayap
akuberhasil membebaskan dirimu dari bahaya maut..."
Mendengar keterangan Ki Tunjungbiru hati Sangaji terpukul. Bulu romanya
meremang, terbayang saat-saat penuh ketegangan dan kengerian. Sebaliknya,
ia menjadi terharu membayangkan perjuangan Ki Tunjungbiru menolong dirinya
dari bahaya maut. Tak terasa matanya berkaca-kaca.
"Bocah! Janganlah terharu dan merasa berterima kasih kepadaku," kata Ki
Tunjungbiru seakan-akan dapat membaca gejolak hatinya. "Tapi sebaliknya,
justru aku akan mencelakakan dirimu."
Sangaji menghela napas panjang. Mendadak ia bangkit dan berkata gugup.
"Aki! Darimana Aki tahu, kalau pohon itu tidur di waktu malam?"
"Itulah mudahnya," sahut Ki Tunjungbiru. "Seseorang yang hendak membalas
dendam, bukankah menyelidiki dulu keadaan lawannya secermat mungkin?"
"Ya—itu yang kuketahui. Barangkali pula telah menghisap darah
binatang-binatang berbisa. Dengan demikian tubuhmu kini penuh dengan
bermacam-macam darah."
Mendengar keterangan itu Sangaji menggigil. Mukanya pucat, mendadak saja
ingin dia melon-tak dan perutnya sakit luar biasa. Ki Tunjungbiru heran
bercampur kaget.
"Hai bocah! Mengapa? Apa salahnya?"
Sangaji menggigit bibir. Menyahut gap-gap, "Aki! Jadi aku... aku telah
menghisap darah manusia?"
Ki Tunjungbiru terhenyak sampai terlongong-longong. Menyahut cepat, "Ah!
Itu bukan! Bukan! Bukan!"
Sangaji terguling-guling di atas tanah. Ia mencoba melontakkan seluruh isi
perutnya. Tangannya meraba-raba mencari batu.
"Aki tak pernah aku menjahatimu... mengapa Aki membuatku sengsara? Mengapa
menjeru-muskanku ke dalam kesesatan ini?... Aki tadi membawa pedang pendek.
Tolong, tikamlah aku! Aku manusia! Selama hidupku... selama hidupku...
Mengapa aku mesti menghisap darah sesama manusia pula?"
Ki Tunjungbiru menjadi gugup mendengar ucapan Sangaji. Cepat ia membungkuki
sambil berkata membujuk, "Bocah! Percayalah, tidak ada niatku
menjerumuskanmu ke jalan sesat. Aku memang tidak lurus juga. Tetapi
percayalah, kalau aku tak berniat menjerumuskan. Dengar! Dengarkan
kata-kataku. Kamu tidak menghisap darah manusia. Sama sekali tidak!
Seseorang yang makan daging singa atau harimau, apakah juga sama halnya
memakan daging manusia, andaikata singa dan harimau itu habis menerkam
manusia? Tidak! Sama sekali tidak! Seseorang makan daging ikan paus yang
sudah sering menelan tubuh nelayan-nelayan malang, apakah juga sama halnya
memakan manusia? Tidak! Sama sekali tidak! Seseorang makan daging ayam,
apakah sama halnya makan cacing dan kotoran manusia? Tidak! Ayam itu sudah
kodratnya menjadi binatang pemangsa cacing dan pemakan kotoran manusia.
Ikan paus itu sudah kodratnya menelan apa saja yang dijumpai. Singa dan
harimau sudah kodratnya menjadi binatang pemangsa daging. Pohon Dewadaru
sudah kodratnya pula menjadi pemangsa daging dan darah. Kalau berpikir
tentang kemurnian, mana ada di dunia ini yang hidup di atas kakinya
sendiri. Semuanya saling terjalin, berhubungan dan saling memberi. Walaupun
itu tumbuhan, kalau dipikirkan tidak murni bersih. Katakanlah, daun
lembayung, ba-yam, rumput, kacang, ketela ya semuanya ... apakah tidak
menghisap sari-sari burni. Bukankah sari-sari bumi terjadi dari kumpulan
benda-benda dari luar dan dalam? Kalau dipikir, bumi-pun menelan
tubuh-tubuh manusia, binatang dan sekalian yang kotor-kotor ... yang pernah
ada di kolong langit ini. Manakah yang suci mumi dan bersih dari segalanya?
Semuanya pengaruh mempengaruhi, anakku. Meskipun kamu hidup di atas langit
sana dan hanya melulu hidup dengan menghisap hawa, itupun tak bersih dari
segala. Karena hawapun terjadi dari endapan campur-baur antara yang busuk
dan bersih. Bocah, janganlah kamu berpikir yang bukan-bukan! Tenteramkan
hatimu! Kamu sekarang dengan hatimu yang suci bersih memperoleh, karunia
alam. Kamu akan tumbuh menjadi seorang manusia yang memiliki kekuatan
mukjijat. Aku bersyukur kepada rejekimu yang maha besar."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar