@bende mataram@
Bagian 96
Sangaji habis kesabarannya. Ia terlalu iba pada Mustapa, karena itu tanpa
mempedu-likan segala lantas saja dia melompat.
"Kalau begitu, bayar kembali celananya!" ia membentak.
Si pemuda ningrat menegakkan kepala. Dengan pandang angkuh, ia mendamprat,
"Eh kau golongan seorang yang suka usilan. Apa kau menaruh hati kepada
gadis itu, tapi tak berani terang-terangan? Nah, ambillah dia! Kuhadiahkan
kepadamu!"
"Apa kaubilang?" Sangaji membentak.
Si pemuda ningrat tertawa berkikikkan. Mendadak saja, Sangaji menggerakkan
kedua tangannya. Inilah ajaran Jaga Saradenta yang terdiri dari 72 jurus.
Begitu kedua tangannya bergerak, lantas saja menyambar dan men-cengkram tangan.
Si pemuda ningrat terkejut bukan kepalang. Sama sekali tak diduganya, kalau
Sangaji bisa bergerak begitu sebat dan kuat. Tahu-tahu, pergelangan
tangannya kena ditangkap erat. Ia berusaha merenggut, tetapi sama sekali
tak dapat berkutik. Dalam terkejutnya, ia berkata mencoba menenangkan diri,
"Hai, kau mau mampus?"
Kemudian ia berontak sambil menendang perut Sangaji. Tetapi Sangaji cukup
berwaspada. Ia tak mengelak atau menghindarkan serangan. Sebaliknya ia
hanya menarik tangan. Dengan begitu, si pemuda ningrat tertarik ke depan
sampai tubuhnya terbungkuk-bungkuk. Batallah ia hendak menyerang perut,
malahan kini akan jatuh tersungkur ke depan. Gntung tubuhnya dapat bergerak
dengan ringan. Begitu ia merasa terlempar, cepat-cepat menjejak tanah.
Tubuhnya hanya ter-goncang sedikit, tetapi tak jadhjatuh tertengku-rap ke
tanah. Meskipun demikian, kejadian ini berarti kalau dia kalah satu babak.
Seketika itu juga rasa marahnya melonjak sampai ke kepala. Dengan membentak
ia berpaling kepada Sangaji, "Kau sudah bosan hidup?"
Sangaji menggelengkan kepala sambil menjawab tenang, "Tak ada niatku untuk
berkelahi dengan tampangmu. Meskipun menang, belum tentu kau mau mengawini
dia. Bayar saja harga celananya!"
Penonton yang mengira Sangaji mau membela keadilan jadi kecele mendengar
ujarnya. Sama sekali tak diduganya, kalau sikapnya yang garang berwibawa
hanya berhenti sampai di situ saja.
Sebenarnya, si pemuda ningrat agak segan pada Sangaji mengingat
pengalamannya di restoran Nanking Cirebon. Cuma saja, kalau ia dipaksa
membayar celana Nuraini di depan umum, kehormatan dirinya tak mengizinkan,
la lantas berbalik sambil menanggalkan baju jaketnya. Dengan tertawa dingin
ia berjalan mau meninggalkan gelanggang.
"Apa kau benar-benar mau pergi?" tegur Sangaji.
Pemuda ningrat itu lalu berjaga-jaga diri. Diam-diam ia mengatur
tipu-muslihat. Ia tetap berjalan meninggalkan gelanggang. Sangaji segera
menubruk mau menarik lengannya. Maksudnya hanya untuk menyanggah. Mendadak
si pemuda ningrat berputar sambil menengkurapkan jaketnya pada gundul
Sangaji. Karuan saja Sangaji yang tak menduga bakal diserang secara
demikian, jadi gelagapan. Di saat itu si pemuda ningrat menghajar tulang
rusuk Sangaji sampai dua kali berturut-turut.
Kena dihajar demikian, Sangaji tak kehilangan pengamatan diri. Untung dia
pernah menghisap getah pohon sakti Dewadaru dan pernah menerima
petunjuk-pentujuk Ki Tun-jungbiru mengenai penguasaan pemapasan. Meskipun
hajaran si pemuda ningrat bukan setengah-setengah, tetapi tulang rusuknya
tak patah. Hanya ia merasa sakit bukan main. Cepat ia mengumpulkan tenaga,
tanpa memikirkan jaket yang menelungkup kepalanya, ia terus menyerang
dengan jurus-jurus ajaran Wirapati yang cepat gesit. Serangannya melalui
bawah jaket dan berhasil mengenai lawan sembilan kali berturut-turut.
Inilah keistimewaan Wirapati yang dapat menciptakan jurus pembalasan dengan
menggunakan jaring tipu-muslihat musuh. Hanya sayang, Sangaji belum
mempunyai tenaga cukup sehingga jurus yang hebat itu jadi kurang sempurna.
Seumpama Wirapati sendiri yang menggunakannya, pasti lawan yang kena hajar
akan rontok tulang-belulangnya.
Si pemuda ningrat, sebenarnya bukan seorang pemuda yang lemah. Hanya saja,
ia tak mengira Sangaji bisa melakukan serangan pembalasan selagi kepalanya
tertengkurap jaket. Gerakan tangan Sangaji tak nampak karena jaketnya
sendiri. Inilah namanya, senjata makan tuan. Mula-mula ia mengira Sangaji
akan kelabakan karena penglihatannya kena tertungkrap jaket, tak tahunya
malah bisa mempergunakan sebagai pelindung gerakan pembalasannya. Ia jadi
kerepotan. Gugup ia berlompatan dan menangkis sebisa-bisanya. Tujuh kali
dia bisa menangkis serangan Sangaji, tetapi pukulan yang kedelapan dan
kesembilan benar-benar mengenai telak. Tubuhnya sampai terjengkang. Syukur,
ia tak kehilangan akal, dengan melepaskan jaket, ia menjejak tanah dan
berhasil melesat jauh.
Sangaji membuang jaket yang menengku-rap kepalanya. Wajahnya agak pucat
karena kaget. Inilah pengalamannya yang pertama kali menghadapi lawan yang
melakukan tipu-muslihat. Ia mengira, kalau dalam suatu pertempuran akan
berlaku aturan-aturan berkelahi menurut tata-tertib jurus-jurus ajaran. Tak
tahunya, baru pertama kali ia berkelana ke luar daerah sudah menemukan
lawan yang bisa berlaku curang. Diam-diam ia merasa bersyukur, dirinya
terlepas dari suatu maraba-haya.
Sebaliknya, si pemuda ningrat mendongkol hatinya, karena kena tendang serta
pukulan Sangaji. Segera ia melesat maju sambil mencengkeramkan jari.
Serangannya mengarah pada pundak Sangaji.
Sangaji belum bersiaga. Ia masih berenung-renung memikirkan pengalamannya.
Tahu-tahu ia diserang lagi. Karena gugup ia hanya menangkis separuh tenaga.
Dia terkejut bukan main, tatkala dadanya merasa sakit kena tindih. Cepat ia
mundur. Justru ia mundur, si pemuda ningrat berhasil menumbukkan tangan
kirinya ke dadanya. Tak ampun lagi ia jatuh terjengkang sampai tangannya
memegang tanah.
Melihat dia jatuh, para penonton golongan bajul dan pengiring bertepuk
tangan gembira. Mereka tertawa dan bersuit-suitan. Si pemuda ningrat
kemudian tertawa panjang sambil berkata, "Dengan bekal kepandaian begini,
kau mau menjadi pahlawan? Mana bisa? Kuanjurkan, kau belajar sepuluh tahun
lagi kepadaku sebelum melihat dunia untuk yang kedua kalinya..."
Sangaji tak pandai mengadu kecepatan Sdah. Dengan berdiam diri, ia
mengumpulkan tenaga. Dadanya memang terasa sakit kena kimbukannya. la
mencoba mengatur pema-pasannya. Ketika dirasanya agak enakan, segera ia
bangkit lalu menyerang.
"Awas!" ia berseru. Kali ini ia menggunakan jurus ajaran Jaga Saradenta,
yang mengutamakan mengadu tenaga. Itulah sebabnya, meskipun belum sempurna,
ayunan tinjunya mengeluarkan kesiur angin.
Pemuda ningrat itu terkejut. Gugup ia merendahkan kepala dan dapat mengelak
dengan gampang. Di luar dugaan, serangan Sangaji tidak berhenti sampai di
situ saja. Sekonyong-konyong siku kanannya disodok-kan ke samping dan
tangan kirinya maju hendak membentur muka.
Terpaksalah si pemuda ningrat menangkis dengan kedua tangannya. Mereka
berdua bentrok dengan hebatnya. Sangaji menang tenaga, tetapi si pemuda
ningrat menang gesit dan nampak sekali menang latihan. Itulah sebabnya,
mereka jadi berimbang. Begitu berbentrokan, kedua-duanya mundur selangkah
dengan tubuh bergoyang-goyang.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar