*Lewat Secangkir Kopi [5]*
Cepat–cepat Shota menghilang dari sampingku, melepaskan genggaman tangannya
dan bergabung dengan kerumunan di depan sana. Ia tidak merasa letih untuk
mengantre, walaupun panjang sekali. Aku menunggu Shota, menunggunya
memegang tanganku lagi. Beberapa menit kemudian, ketika sampai di menit
ke-15, ia datang membawa dua kotak berisi makanan berbentuk bundar seperti
bakso. Hanya, warnanya kelihatan merah kecokelatan dan di atasnya diolesi
mayones.
Tahu–tahu saja ia menggunakan sumpitnya untuk mengambil satu bola takoyaki
itu. Ia menadahkan tangan kirinya di bawah bola itu agar saus takoyaki-nya
tidak jatuh ke pakaian kami dan ia menjulurkan bola tersebut ke arahku, ke
arah mulutku.
Aku terkejut melihat sikap Shota yang tiba–tiba sangat manis kepadaku,
meskipun wajahnya masih tetap belum mau tersenyum. Pelan–pelan kubuka
mulutku hingga bola tersebut masuk. Shota menatapku kemudian mengatakan
sesuatu yang rasanya terdengar seperti mengajakku memasak atau apalah.
Karena pikiranku tertuju dengan hal lain, maka aku meminta Shota mengulang
kata–katanya.
"Nanti kita buat yang seperti ini di rumah, ya?"
Demi Tuhan! Benarkah ini Shota? Shota yang tinggal selama enam bulan
bersamaku dan tidak suka banyak bicara? Juga tidak menyukai keramaian?
Benarkah ini Shota yang secara tertulis merupakan suamiku? Aku hampir tidak
percaya Shota bisa berubah seperti itu. Kenapa ia malah membuatku jadi
salah tingkah dan tidak keruan begini?
Shota kelihatannya tidak melihat keanehanku karena ternyata ia sudah
beranjak dan berjalan menuju kerumunan kedai es serut. Buru–buru aku
mengejarnya, tapi Shota sudah menghilang di balik kerumunan. Aku
menghentikan langkahku sambil menghela napas. Aku tidak mengenalnya... aku
tidak mengenal pria ini... Shota tampak di luar pengetahuanku.
"Untukmu!" Tiba–tiba Shota datang dengan membawa 2 mangkuk kecil berisi es
serut berwana merah dan hijau. Ia memberikan yang merah kepadaku. Tanpa
pikir panjang, aku mengambilnya. Tangan yang hangat itu kembali menyentuh
tanganku. Aku berusaha meredam rasa gemetar yang timbul di dadaku. Mata
Shota tidak sedikit pun menoleh ke arahku.
Aku merasakan tangannya basah berkeringat. Mungkin kami
berdua merasakan getaran yang tidak semestinya, walaupun kami malu mengakuinya.
Aku membiarkan tangan Shota menggenggam tanganku, membawaku pergi ke mana
pun menuju tempat yang ia inginkan, menuju berbagai cahaya pelangi yang
mulai menyala seiring hari yang makin gelap. Ia menarikku menuju warna
terang kembang api di angkasa malam dan membiarkan kehangatan ini tetap
terjaga.
Mengingat bahwa tadi malam aku seperti sedang mendapatkan mimpi indah, maka
aku bangun sangat telat keesokan paginya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10
pagi, saat kulihat jam weker. Buru–buru aku turun ke lantai bawah dan
mempersiapkan kedaiku. Aku berdiri tepat di atas anak tangga terakhir waktu
kulihat kedaiku sudah dibuka. Aku melihat sepintas, Edo sedang melayani
para tamu, para pekerja yang lain sedang membereskan pesanan, dan Shota
sedang melayani para tamu. Hah? Tidak salah?
"Tuan putri sudah bangun!" tahu–tahu Edo berseru. Hampir dari beberapa tamu
tertawa melihatku. Shota menoleh ke arahku kemudian menyunggingkan tawa
kecilnya padaku. Buru–buru aku melangkah ke atas dan masuk ke kamar mandi.
Shota tidak kerja? Bukannya hari ini hari Senin?
"Shota-san membantu membuka kedai, Mbak! Maaf, ya, nggak nunggu Mbak Ayu
dulu," Edo takut–takut menatapku, ketika aku sudah ikut berada di bawah
membantu mereka.
Bukan itu yang aku permasalahkan, sungguh! Aku hanya bingung kenapa Shota
hari ini tidak bekerja? Aku ingin bertanya padanya sejak tadi, tapi dia
kelihatan sangat menikmati bekerja membantu kedaiku. Jadi, aku tidak bisa
lagi bertanya apa pun. Shota beristirahat sebentar, saat tamu sudah mulai
pulang.
Karena tidak banyak tamu di siang hari, aku menyusul Shota ke belakang. Ia
sedang merapikan buku–buku yang kemarin ia kumpulkan bersama Edo. "Belum
ada kopi untukku hari ini," tanyanya tiba–tiba, nadanya datar. Aku jadi
tersadar. Aku memang belum sempat membuatkan secangkir kopi panas untuknya.
Buru–buru aku ke dapur dan menyajikan secangkir kopi untuknya. Shota segera
mengambil cangkir tersebut beserta tatakannya. Ia meniup kopi itu dan
menyeruputnya.
Sebenarnya aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, tapi barangnya belum jadi.
Besok saja, deh," Shota kembali berbicara. Nadanya masih sama. Ia memang
bukan orang yang menyenangkan untuk diajak berbicara.
"Memangnya ada apa?" aku bertanya.
"Sesuatu, sebenarnya untukmu. Aku sengaja memesannya. Mungkin baru akan
dikirim dua atau tiga hari lagi, kalau cepat. Tapi, bisa juga seminggu
kalau terlambat."
"Sesuatu apa?" aku bertanya lagi, lebih pada penasaran. Sebelumnya Shota
tidak pernah memberikanku sesuatu.
"Nanti lihat saja kalau sudah datang."
Karena ia sudah berbicara seperti itu, maka aku tidak lagi bertanya. Aku
ingin beranjak dari sisi Shota, aku benar–benar ingin beranjak dan membantu
Edo, tapi aku seperti tertahan untuk tetap berada di sampingnya.
"Mau buat apa?" sebisa mungkin aku berbasa–basi.
Shota menoleh ke arahku. Alis kanannya terangkat sementara kacamatanya
sedikit turun. "Kenapa tanya?"
"Tidak boleh bertanya, ya?" aku tertawa.
"Bukan. Kenapa kau bertanya seolah–olah kau tidak tahu?" Shota masih
memandang ke arahku. Matanya seperti menangkap basah rasa gugupku.
"Maksudmu?" aku mulai salah tingkah.
"Edo kan sudah memberi tahumu." Ya, Tuhan! Aku benar–benar tidak suka
caranya memandangku. Ia seperti ingin memakanku hidup–hidup.
"Memang kenapa kalau aku bertanya lagi padamu?"
"Lucu saja!" kali ini ia tertawa kecil. Bola matanya mulai sedikit
menyipit. Aku baru menyadari bahwa ia memiliki lesung di pipi kirinya. Bulu
matanya tampak lebih lebat dan tidak melengkung turun seperti pria
oriental, yang pernah kutemui pada umumnya. Aku hampir saja tersihir oleh
sosok pria ini.
Tamu Shota duduk di kursi favorit Shota ketika ia masih menjadi pelanggan
setiaku. Ia terus melihat ke arah jendela dan memandangi jalan raya pada
siang menjelang sore itu. Saat Shota menghampirinya, baru ia menoleh dan
menyalami Shota. Melihat caranya memberikan salam dan mendengarnya
berbicara, ia pasti orang Jepang. Shota memang beruntung mempunyai ibu yang
punya darah Indonesia, sehingga ia bisa berbahasa Indonesia dengan lancar,
walau terhitung belum lama tinggal di Jakarta.
Tadinya aku ingin mengantarkan teh ke meja mereka. Tapi, aku memperhatikan
lagi, pembicaraan mereka sangat serius. Tidak pelan tidak juga terdengar
keras oleh tamu-tamu lainnya memang, namun pembicaraan mereka terlihat
tidak boleh diinterupsi. Akhirnya kuurungkan niatku.
Terus terang, aku benci sekali mendengar Shota berbicara bahasa ayahnya,
bahasa yang tidak sekali pun kumengerti. Ingin sekali kudatangi Shota untuk
memintanya berbahasa Indonesia saja. Namun, mengingat bahwa statusku cuma
teman hidup dalam arti yang sebenarnya, kuputuskan untuk diam.
......bersambung.....
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar