@bende mataram@
Bagian 94
Mustapa menghampiri seraya membungkuk! hormat, "Mengapa Paduka
memperlakukan begitu? Bukankah sekarang dia jadi miliki Paduka sendiri?"
"Masa begitu?" Sebentar Mustapa berdiri menebak-nebak, Kemudian tertawa
panjang seperti memaklumi cirinya yang kurang pengertian. "Ah—ya... orang
sebodoh aku mana bisa sandingkan dengan paduka yang biasa berpikir dan
berbicara gaya ningrat. Seorang ningrat bisa mengangguk, selagi hatinya
melawan. Seorang ningrat bisa tertawa riang, selagi hatinya menangis
meraung-raung," ia berhenti mengesankan dirinya sendiri. Kemudian
mengalihkan pembicaraan, "Paduka telah memenangkan pertandingan ini.
Perkenankan aku mengucap terima kasih. Ontuk perun-ingan selanjutnya,
apakah aku boleh mengenal nama Paduka?"
"Mengapa kau berbicara yang bukan-bukan!" sahut pemuda itu cepat. Dia
berputar dan bergerak hendak meninggalkan gelanggang. Dua orang
pengiringnya datang menghampiri dengan membawakan pakaian luar .semacam
jaket. Seraya menerima jaketnya, ia mengerling manis kepada Nuraini.
Terlalu 'manis malah, sehingga berkesan pancaran nafsu birahi.
Mustapa menyangka, kalau cara tak sudi memperkenalkan namanya dengan terus
terang adalah kelumrahan kaum ningrat sebagai adat pergaulan. Itulah
sebabnya, cepat-cepat ia berseru mengerti.
"Kami berdua tinggal di sebuah losmen dekat pemberhentian gerobak. Apakah
Paduka sudi berjalan bersama ke losmen tersebut untuk meneruskan
pembicaraan ini?"
"Kenapa ke sana? Aku tak punya waktu," sahut si pemuda kasar. "Lagipula apa
sih yang mau kalian bicarakan?"
Mustapa terperanjat, la sibuk menebak-nebak. Air mukanya berubah.
"Paduka kan sudah berhasil mengalahkan! anakku?" dia berkata dengan masih
terua berteka-teki dalam benaknya.
"Kalau sudah menang?"
"Sudah barang tentu, anakku ini sudah menjadi jodoh Paduka. Paduka tahu,
kalau dunia ini mengizinkan manusia berkelahi sampai mati mengenai empat
hal. Satu, urusan keyakinan sujud pada suatu kepercayaan. Dua, urusan
negara. Tiga, urusan jodoh. Dan empat, urusan kehormatan diri. Ah, mestinya
paduka sudah pernah membaca cerita-cerita kuno. Semua buku-buku itu
mengisahkan perkara pertempuran mengenai empat hal tersebut.
Sekarang ini, aku sedang berbicara mengenai jodoh dan kehormatan diri
sekaligus. Ku-mohon dengan sangat, agar Paduka mendengarkan dengan sedikit
perhatian."
Mendengar ujar Mustapa si pemuda heran sampai tercengang-cengang. Dengan
suara tinggi, dia menjawab, "Jodoh? Urusan perjodohan? Kapan kita terikat
perjanjian begitu? Ini kan main-main mengadu kepandaian? Masa soal jodoh
dibawa-bawa. Kamu gila, masa aku harus berjodoh dengan anakmu, gadis
jalanan?" Ujar si pemuda ningrat tajam luar biasa, sampai Mustapa pucat.
Penonton dan Sangaji yang tadi ikut bergembira menyaksikan kemenangannya,
begitu mendengar kata-katanya yang tajam berubah menjadi tak senang pula.
Mereka jadi berbelas-kasih pada Mustapa dan gadis. Alangkah hebat
penderitaan hatinya, dihina dan direndahkan terang-terangan di depan umum.
"Kau ... kau ...!" Mustapa tergagap-gagap deh rasa marahnya.
Pengiring si pemuda begitu mendengar majikannya diper-engkaukan, lalu maju
sambil mendamprat.
"Apa kau, kau, kau? Kamu anggap siapa Beliau? Apakah beliau akan kamu paksa
me-ngawini gadis jalanan karena semata-mata menang berkelahi? Eh, tidaklah
semudah begitu. Paling tidak, kamu harus menghadap ayah dan ibunya. Tidak
lantas berbicara dan ngomong tanpa aturan di tengah alam terbuka."
Bukan main marah Mustapa. Serentak dia melompat dan menggaplok si pengiring
sam-pai berkaok-kaok kesakitan. Bagaimana tidak? Gaplokan yang disertai
suatu kemarahan luar biasa, hebat akibatnya. Gigi si pengiring rontok lima
biji. Lalu jatuh pingsan, karena melihat darahnya menyemprot keluar.
Si pemuda mentereng tahu menjaga kehormatan diri. Ia tak mempedulikan
keadaan pe-ngiringnya yang jatuh pingsan. Sambil memberi perintah pengiring
lain agar menolong kawannya, ia menghampiri kudanya. Tatkala hendak
meloncat ke atas pelana, Mustapa berseru dengan nada marah.
"Jadi kau datang cuma ingin mengganggu kami? Jika sedari tadi kau tak
berniat mem-; peristerikan dia, mengapa memasuki gelanggang? Biar begini
rendah dan hina, kamipun] manusia yang mempunyai kehormatan diri. Takkan
kami membiarkan diri menggerogoti tulang di jalanan seperti anjing. Takkan
bakal membiarkan diri mampus telanjang bulat di tengah jalan seperti binatang."
Tetapi pemuda itu tetap tak mau menghiraukan. Dia lantas melompat di atas
pelana dan siap menarik les kudanya. Dan Mustapa habis kesabarannya. Dengan
berteriak dia memaki, "Bangsat benar kau! Pantas rakyat-mu tak pernah akur
sama golonganmu! Dengarkan! Anakku juga takkan kuizinkan kawin dengan
manusia anjing seperti tampangmu. Cuma saja, sekarang bayar celananya yang
kau robek."
Pemuda itu menjawab, "Robeknya celana dia, kan salahnya sendiri. Mengapa
seorang perempuan mengenakan celana? Coba, dia tak banyak cingcong mencari
jodoh dengan mengadu kepandaian, takkan bakal mengalami peristiwa begini.
Takkan bakal celananya robek sampai lutut..." lalu dia tertawa berkikikkan.
Tubuh Mustapa menggigil. Tanpa berkata lagi, ia melesat menangkap kaki si
pemuda hendak menyeretnya ke tanah. Gntung dia awas. Begitu melihat Mustapa
melayang hendak menubruk, ia menarik kakinya. Dia menang mudah dan menang
cekatan. Dada Mustapa kena dibentur balik dan pergelangan tangannya
dihantam telak, sampai tulangnya patah gemeretak.
"Karena kau menyerang, terpaksa aku membela diri. Lagi pula kalau
sekali-kali aku tak menghajar padamu, tentu kau masih saja memaksa aku
mengawini anakmu, si gadis pasaran..." seru pemuda itu sambil tertawa
mengejek. Lalu ia menjejak sanggurdi kuda dan melesat ke tengah lapangan.
Gerak-gerik pemuda itu memang cekatan dan gesit. Sayang, mulutnya terlalu
tajam. Lagi pula, sikapnya begitu angkuh dan gaya tertawanya menjemukan
pendengaran. Selain penonton golongan bajul, tidak ada yang senang padanya.
Mendengar ia merendahkan Mustapa, mereka ikut jadi panas hati. Cuma saja
mereka tak dapat berbuat lain, kecuali memaki-maki dalam hati.
Mustapa bangun dengan tertatih-tatih. Pergelangan tangannya sebelah kiri
mulai tam-pak bengkak. Tetapi ia tak menghiraukan. Mulutnya bergetaran,
suatu tanda kalau dadanya serasa hampir meledak. Mendadak ia meloncat
sambil berteriak, "Nuraini anakku! Biarlah aku mengadu nyawa!"
Si pemuda cukup berwaspada. Tahulah dia, kalau Mustapa sedang kalap. Maka
dengan mudah, ia meloloskan diri dari serangan itu. Kakinya bergeser ke
kanan, sedang tangan kiri disodokkan hendak menumbuk dada. Mau tak mau,
Mustapa cepat-cepat menarik serangan-nya. Kini ia menangkis dengan tangan
kanannya dan kakinya bergerak.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar