@bende mataram@
Bagian 101
Si pemuda ningrat benar-benar terkejut. Tak diduganya, kalau lawannya bisa
berlaku sehebat itu dalam saat-saat menunggu tenaga terakhir. Cepat-cepat
ia meniru gerakan Sangaji. Tangannya lantas juga membekuk leher. Dengan
begitu kedua pemuda itu saling berkutat mempertahankan batang lehernya.
Beberapa waktu kemudian, keadaan mereka bertambah berbahaya. Masing-masing
berusaha hendak mematahkan tulang lengan dan tulang leher dengan berbareng.
Tangan yang satu mencekik dan yang lain memutar lengan.
Semua orang yang memperhatikan pertarungan itu memekik kaget. Ibu si pemuda
ningrat yang berada di keretapun kelihatan pucat. Nuraini yang di dekat
Mustapa pucat pula.
Manyarsewu, Cocak Hijau dan Yuyu Rumpung lantas saja berjaga-jaga siap
menolong si pemuda ningrat.
Tetapi sejurus kemudian pertarungan antara Sangaji dan si pemuda ningrat
berubah de-ngan tiba-tiba. Dia diajak berkutat mengerahkan segenap tenaga.
Sekonyong-konyong dia menarik seluruh tenaganya, sehingga terasa menjadi
lenyap. Sangaji kaget. Sebelum sadar akan akibatnya, si pemuda ningrat
merenggutkan diri dan berhasil menggaplok muka Sangaji sampai kelabakan.
Dan benar-benar Sangaji terkejut kena gaplokan itu. Matanya sampai
berkunang-kunang dan kepalanya serasa berputaran. Untung dia tidak
kehilangan akal. Secepat kilat ia tata-berke-lahinya. Teringatlah dia pada
ajaran Jaga Saradenta. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menangkap pinggang
lawannya dan di angkat ke udara. Kemudian dengan mengerahkan tenaga ia
melemparkan sekuat-kuatnya. Tetapi si pemuda ningrat bukannya lawan yang
lemah, la tahu bahaya. Begitu dirinya terapung di udara, segera teringatlah
jurus-jurus ilmunya. Sebelum tubuhnya mendarat ke tanah ia menjejak keras.
Seketika itu juga, tubuhnya melesat seperti sebatang tombak terlem-parkan.
Dengan cepat ia menyambar paha Sangaji dan didorongnya sepenuh tenaga.
Kena dorongan tak terduga itu, Sangaji roboh terguling. Melihat Sangaji
terguling, pemuda ningrat itu melesat lagi menyambar tombak salah seorang
pengiringnya. Kemudian menikam tubuh lawannya. Terang sekali, hawa
pembunuhan mulai berbicara. Itulah sebabnya penonton lantas saja mundur
berserakan. Sebaliknya di luar dugaan, Sangaji cukup berwaspada. Begitu
melihat berkelebatnya mata tombak, dengan gesit dia menggulingkan diri.
Tetapi lawannya terus memburu dengan menikamkan tombak tiada hentinya. Maka
terpaksalah ia menjejak tanah dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Sekali
melesat ia dapat berdiri tegak berbareng dengan menghunus pedang hadiah
Willem Erbefeld. Sekarang pertempuran dilanjutkan dengari mengadu senjata
masing-masing. Sangaji menggunakan ilmu pedang ajaran Wirapati, sedangkan
si pemuda ningrat menggunakan ilmu tombak gaya Bali. Melihat gaya itu,
Mustapa terkejut.
"Ah!" ia komat-kamit. "Pemuda itu mengenal ilmu tombak Bali. Siapa gurunya?"
Suasana gelanggang pertarungan kini benar-benar menjadi sibuk tegang.
Banyak penonton yang mundur ketakutan. Raden Ayu Bumi Gede sampai pula
memekik-mekik menyerukan pertolongan. Mendengar pekik Raden Ayu Gede, Cocak
Hijau ingin membuat jasa. Segera ia melesat ke dalam gelanggang pertarungan
dan sekali depak berhasil mementalkan pedang Sangaji sehingga terapung
tinggi di udara.
Sangaji terkejut bukan kepalang. Cepat ia mundur, tetapi kalah gesit.
Tahu-tahu ia kena hajar pundaknya. Hebat akibatnya. Selama berguru kepada
Wirapati dan Jaga Saradenta belum pernah ia bertemu pukulan sekuat itu.
Kecuali kala kena terkam Pringgasakti. Itulah sebabnya, lengannya lantas
saja lumpuh tak dapat digerakkan.
"nDoromas! Minggir! Biar kutamatkan riwayat bocah itu, agar nDoromas bebas
dari gangguannya ..." kata Cocak Hijau.
Habis berkata demikian, dengan gesit ia meloncat lagi dan menerjang.
Sangaji tak ber-daya mempertahankan diri. Masih dia berusaha menangkis,
tetapi bagaimana mampu melawan tenaga Cocak Hijau yang dahsyat, la
berguling bergelimpangan di tanah. Tatkala itu dalam sekilas pandang ia
melihat telapak kaki Cocak Hijau terjun hendak menginjak lehernya. Cepat ia
bergulingan. Tetapi Cocak Hujau lebih gesit lagi. Berbareng dengan
datangnya bahaya, mendadak nampaklah sesosok bayangan melesat ke dalam
gelanggang. Kaki Cocak Hijau kena terbentur. Masing-masing terpental satu
langkah dan berdiri bergoyangan.
Cocak Hijau terperanjat. Pembela Sangaji terperanjat pula. Mereka lantas
saling menga-mat-amati. Ternyata penolong Sangaji adalah seorang laki-laki
berumur kurang lebih 60 tahun.
Rambutnya nampak putih dan sebagian kepalanya tertutup oleh kopiah hitam.
Mukanya licin, sama sekali tak berkumis atau berjenggot. Ini menandakan,
kalau orang itu gemar pada kebersihan. Pakaian yang dikenakan warnanya agak
kelabu.
"Apakah Tuan yang bernama Cocak Hijau, pendekar dari Gresik?" kata orang
itu. "Hari ini aku yang rendah dapat berjumpa dengan Tuan, alangkah besar
rejekiku."
"Hm ... bagaimana berani kamu menyebut diriku sebagai pendekar Gresik,"
sahut Cocak Hijau dengan suara parau. "Namaku sebenarnya Daeng Malawa. Cuma
orang usilan saja yang menyebut diriku Cocak Hijau. Bolehkah aku mengenal
nama Tuan dan gelar Tuan?"
Orang itu tersenyum manis. "Aku seorang pegunungan. Padepokanku berada di
sebelah selatan Gunung Lawu ..." jawabnya dengan takzim.
"Ih!" potong Cocak Hijau terkejut. "Apakah Tuan yang di sebut Panembahan
Tirtomoyo? Ah, mataku buta sampai tak mengenal tingginya gunung dan
dalamnya lautan. Maafkan aku ..."
Mendengar disebutnya nama itu, Manyarsewu dan Yuyu Rumpung ikut pula
terperanjat. Hanya mereka yang masih asing bagi pendengarannya tiada
mempunyai kesan. Mereka hanya kagum atas kegesitannya tadi. Diam-diam
mereka memperhatikan warna dan potongan pakaian yang dikenakan. Kesan
mukanya dan pribadinya.
Sebaliknya, Manyarsewu dan Yuyu Rum-pung nampak mengerinyitkan dahinya.
Sudah lama mareka mengenal nama itu. Suatu nama yang agung bersemarak
melintasi gunung-gunung. Bagaimana tidak? Panembahan Tirtomoyo adalah
seorang saleh. Kecuali itu sakti dan berwibawa besar. Pada jaman Perang
Giyanti, ia adalah seorang pejuang ulung di samping Raden Mas Said. Banyak
sekali jasanya dalam sejarah kebangkitan Kerajaan Mangkunegoro.
Dengan tersenyum ramah, Panembahan Tirtomoyo menghampiri Sangaji dan
berkata kepada Cocak Hijau, "Sama sekali aku tak kenal bocah ini. Aku hanya
tertarik pada kemuliaan hatinya dan kegagahannya. Karena dorongan hati itu,
aku memberanikan diri terjun ke dalam gelanggang dengan maksud memohon
ampun pada Tuan."
Melihat sikapnya yang sopan santun dan tahu merendahkan diri, semua orang
lekas saja terpikat. Cocak Hijau sendiri jadi segan pula. Dengan membungkuk
hormat, ia me-nyatakan persetujuannya.
Panembahan Tirtomoyo membungkuk hormat juga dan menyatakan terima kasih
beru-lang kali. Tatkala memutar tubuh hendak meninggalkan gelanggang,
mendadak pedangnya bersinar tajam kepada si pemuda ningrat. Berkata angker,
"Siapa namamu? Siapa pula gurumu?"
Tatkala si pemuda ningrat mendengar nama Panembahan Tirtomoyo, ia sudah
menjadi gelisah. Agaknya ia pernah mendengar nama itu. Segera ia hendak
berlalu, mendadak ia kena pandang. Gugup ia menjawab pertanyaan Panembahan
Tirtomoyo, "Aku putra Pangeran Bumi Gede. Nama guruku tak dapat kusebutkan
di sini."
"Hm! Bukankah gurumu pendeta edan-edanan dari Karangpandan?" bentak
Panem-bahan Tirtomoyo.
Untuk mempertahankan harga diri dan menutupi rasa gugupnya, si pemuda
ningrat tertawa cekikikkan. Ia hendak membelokan perhatian.
Tetapi ia terkesiap ketika melihat pandang Panembahan Tirtomoyo yang
menyala seperti sebilah belati menusuk ulu hati. Maka kuncuplah hatinya dan
segera ia mengangguk.
"Hm! Memang sudah kuduga, kamu murid adikku." Kata Panembahan Tirtomoyo.
"Bagus benar kelakuanmu. Apa kau tak pernah menerima petuah gurumu? Apa kau
tak per-nah menerima pesan-pesan sumpah suatu perguruan?"
Pemuda ningrat itu tampak berubah air mukanya. Benar-benar hatinya kuncup
kena pandang Panembahan Tirtomoyo. Selagi dia kebingungan, mendadak ibunya
memanggil, "Ayo pulang! Apa lagi yang kautunggu?"
Lega hatinya mendengar panggilan itu. Dengan demikian ia mempunyai alasan
untuk meninggalkan lapangan. Tetapi teringat akan kata-kata Penembahan
Tirtomoyo, kalau gurunya adalah adiknya ia jadi cemas. Khawatir jika sepak
terjangnya pada hari itu terdengar oleh gurunya yang sok edan-edanan,
segera ia mengubah sikapnya yang keagung-agungan. Cepat-cepat ia membungkuk
memberi hormat kepada Panembahan Tirtomoyo seraya berkata takzim, "Paman
mengenal guruku. Karena itu, sudilah Paman datang berkunjung ke rumah
pon-dokanku di kota ini. Ingin aku mendengar petuah-petuah Paman yang lebih
mendalam. Pasti ada guna-faedahnya bagiku."
Penembahan Tirtomoyo bukanlah seorang anak kemarin sore. Ia seorang yang
mempu-nyai pergaulan luas dalam kalangan ningrat.
Maka ia tahu pula arah lagak-lagunya. Dengan suara dingin ia menjawab, "Hm."
Pemuda ningrat itu benar-benar cerdik. Melihat gelagat kurang baik, segera
ia meng-hampiri Sangaji sambil membungkuk takzim. Berkata merendahkan diri,
"Saudara! Kalag tidak bertempur, pastilah kita berdua tak bakal saling
mengenal. Aku sangat mengagumi ilmu kepandaianmu. Maka itu, perkenankan
pula aku mengundangmu juga datang berkunjung ke pondokanku. Ini bukan
rumahku, tapi aku punya keleluasaan untuk menerima tamu undanganku. Maukah
kau memenuhi harapanku ini demi memperkokoh suatu persahabatan?"
Tetapi Sangaji bukanlah seorang pemuda yang bisa menyesuaikan diri dengan
suatu perubahan pembicaraan. Hatinya terlalu sederhana dan utuh. Tanpa
menjawab, ia menuding kepada Nuraini sambil berkata, "Bagaimana soal
perjodohanmu dengan Nona itu?"
Keruan saja si pemuda ningrat jadi tersipu-sipu. Cepat-cepat ia berusaha
menyembunyi-kan peristiwa itu di hadapan ibunya. Berkata mengesankan, "Hal
itu akan kita bicarakan bersama dengan perlahan-lahan."
Mendengar jawabannya, Mustapa menghampiri Sangaji dan menarik lengannya
ber-bisik, "Anak muda, mari kita pulang! Apa perlu melayani seorang bangsat
kecil?"
Meskipun diucapkan dengan berbisik, tetapi pemuda ningrat itu mendengar
tiap patah katanya dengan jelas. Menuruti tabiat dan harga dirinya, pasti
ia akan mengumbar rasa mendongkolnya. Tetapi ia nampak tersenyum
seolah-olah hendak memperlihatkan kesa-barannya. Semua orang tahu, kalau
dia segan terhadap Panembahan Tirtomoyo.
"Paman." Katanya sejurus kemudian kepada Panembahan Tirtomoyo. "Sampai di
sini kita berpisah. Benar-benar aku menunggu kunjungan Paman."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar