*Lewat Secangkir Kopi [4]*
Mataku terpaku ke arah kotak persegi di atas tempat tidurku. Kotak persegi
dengan warna krem itu berisi kimono yang diberikan ibu Shota sebagai kado
pernikahanku. Kimono itu berwarna merah keemasan dengan corak bunga–bunga
yang indah yang mengelilingi sisinya. Sudah sejam lamanya aku berdiri hanya
untuk memastikan apakah aku akan memakai pakaian tersebut atau tidak. Tapi,
jika aku memakainya, ini akan menjadi momen yang pas, karena kami berdua
akan pergi ke acara hinamatsuri, festival boneka Jepang.
Aku belum pernah memakai kimono. Terus terang, aku tidak tahu bagaimana
caranya. Namun, masa bodoh dengan cara memakai, toh, aku pernah lihat
beberapa film Jepang yang memakainya dan sepertinya mereka tinggal memakai
baju tersebut dan mengikatnya dengan tali lebar. Tadinya aku memang
berpikiran begitu. Pada kenyataannya, setelah aku memutar otakku untuk
memakainya, hasilnya tidak pernah secantik yang kulihat di film-film. Aku
kesal sekali, apalagi pakaian tersebut membuatku kepanasan.
Shota mengetuk pintu kamarku, karena waktu pergi kami terlambat satu jam
akibat kimono ini. Aku berteriak padanya agar bisa sedikit lagi menungguku.
Ia tidak menjawab, tapi dari bunyi siaran teve di ruang keluarga, itu
artinya ia setuju. Aku kembali lagi mengusahakan kimono ini tampil cantik
di tubuhku. Kulilitkan ikatan lebar tersebut di pinggangku, dan hasilnya
lumayan, walaupun tidak sesempurna wanita Jepang.
Aku keluar dari kamar. Pandangan Shota masih tertuju pada layar kaca,
walaupun aku telah mondar-mandir di depannya, mencari sepatu yang pas untuk
padanannya. Shota akhirnya mematikan siaran teve dan menuju kulkas. Ia
menuangkan jus jeruk di gelas, kemudian meminumnya. Aku sibuk mencari
sandal yang kuletakkan di atas lemari bajuku.
Tahu–tahu Shota sudah di sampingku. Ia mengangkat tangannya, kemudian
menurunkan kotak sandal, memberikannya padaku. Aku berterima kasih padanya
dan segera mengajak Shota berangkat. Aku berjalan menyusuri anak tangga
perlahan–lahan (tahu bahwa memakai kimono benar–benar menyebalkan, aku
tidak akan memakainya) dan Shota mengikutiku di belakang. Ketika di anak
tangga terakhir, langkahku terhentikan oleh sesuatu. Aku pikir kimonoku
tersangkut sesuatu, tapi ternyata tangan Shota yang menarik kimonoku.
"Ada apa?" tanyaku, bingung.
"Bisa pakai kimono?" pertanyaan Shota yang singkat itu jelas membuatku
kesal. Aku tahu aku belum pernah memakai kimono sebelumnya. Mana aku tahu
juga bahwa kimono setebal itu!
"Mau meledekku, ya?" tanyaku, kali ini dengan ketus.
Ia tidak menjawab, tidak sedikit pun menjawab pertanyaanku dan tidak juga
memberikan gesture bahwa ia memang menjawab pertanyaanku. Yang ia lakukan
malah menarik tali kimonoku, hingga ikatannya terlepas begitu saja dari
tubuhku. Aku terkejut! Bisa–bisanya dia melakukan hal itu padaku! Aku pun
sedikit ketakutan. Kami belum melakukan apa–apa selama enam bulan ini.
"Diam saja!" tiba–tiba Shota berbicara. Ia mengambil ikatan lebar yang
jatuh di lantai dan menyuruhku diam. Kemudian ia mendekatiku, merapikan
kain kimonoku dengan sangat hati–hati. Ia terlihat sangat cekatan dan
terampil. Terkadang ia menyuruhku berputar kadang mendongak. Aku tidak tahu
apa yang akan dilakukannya, namun rasanya ia begitu berkonsentrasi.
Setelah kain kimonoku selesai dirapikan, ia mengikatkan tali yang panjang
dan lebar itu ke pinggangku. Ia melilitkannya perlahan dan kencang, mirip
seperti melilitkan korset Jawa setiap mengenakan kebaya. Ia menyisakan
pinggiran ikatannya dan membiarkan tangannya melakukan sesuatu pada ikatan
kimonoku. Aku tidak yakin apakah ini akan berhasil, sampai kulihat dengan
mata kepalaku sendiri saat ia menyuruhku bercermin.
Entah kenapa, kimono berwarna merah pemberian ibunya jadi tampak sangat
indah kukenakan. Saat aku memutar ke belakang dan melihat ikatannya, aku
juga tidak mengerti kenapa ikatan berwarna keemasan itu jadi tampak sangat
manis dan menawan. Ada bentuk pita besar yang bersanggah dengan eloknya di
pinggang belakangku. Aku tersenyum puas melihat mahakarya yang
dilakukannya. Aku pun tidak sanggup mengucapkan terima kasih padanya.
Seluruh mulutku seperti terkunci dan terpana oleh caranya memakaikan kimono
tersebut padaku.
"Ayo, kita berangkat!" Shota memecah kebodohanku. Ia menarik tanganku,
memegangnya, dan membawaku turun dengan terburu–buru. Kali ini aku tidak
bisa lagi berbicara. Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataannya, namun
hati ini... tanpa kuketahui berdetak begitu kencang.
Ia mengendarai mobil dalam kesunyian.
Ia mengendarai mobil dalam kesunyian. Tidak ada salah satu di antara kami
yang mencoba untuk berbicara atau setidaknya memecah keheningan ini. Tidak
ada musik, tidak ada percakapan bodoh, tidak ada suara berisik radio. Hanya
ada aku dan dia. Ketika kami sampai pun tidak ada salah satu dari kami yang
berbicara. Ia menunduk mengunci mobilnya dan membawaku menuju lapangan
festival, lagi–lagi memegang tanganku.
Aku menurut mengikuti Shota pergi membawaku menuju lapangan festival. Ada
rentetan lampion kecil yang panjang dari berbagai sisi lapangan dengan
warna merah, putih, dan keemasan. Aku suka pemandangan suasana ini, ketika
matahari yang bersinar segera ingin menutup matanya untuk beristirahat dan
bangun di keesokan hari.
Shota pun kelihatan menikmatinya. Wajahnya terlihat tidak pucat seperti
biasanya. Matanya yang cokelat muda itu terlihat indah, berbeda dari
pandangannya yang entah berada di mana selama ini. Baru aku sadari ia
sangat tampan. Untuk ukuran pria berwajah oriental, ia tampak memukau di
antara pria-pria lainnya.
Selama ini aku terlalu memikirkan diri sendiri, memikirkan bagaimana
perasaanku dan yang lainnya, namun aku sama sekali tidak melihat ke
arahnya. Shota menoleh ke arahku, waktu mengetahui aku memperhatikannya.
Kacamata berbingkai hitamnya terlihat sedikit turun hingga ke ujung batang
hidungnya yang mancung. Ada sedikit kerutan di dahinya, namun kerutan itu
tidak sedikit pun menghapus ketampanannya. Aku baru memperhatikan
keseluruhan wajahnya, alis matanya yang terbentuk indah, bibirnya yang
merah bagaikan buah cherry, dan warna hitam rambutnya yang tertata
membentuk layer ke atas pundaknya. Tipikal pria oriental, lagi–lagi aku
menilai.
"Berapa umurmu?" tidak terpikir olehku bahwa aku akan menanyakan pertanyaan
semacam itu. Aku segera menundukkan wajahku, begitu mengetahui pertanyaanku
benar–benar bodoh.
Shota tidak sedikit pun melepaskan pegangan tangannya. Ia malah sedikit
meremas pergelangan tanganku dan kemudian menarikku menuju stan makanan.
"Pernah makan takoyaki?" lempar Shota ringan. Hari ini ia lebih banyak
berbicara. Aku menandai yang satu itu.
"Belum pernah!" ucapku jujur. Selama ini aku memang belum pernah datang ke
acara festival seperti ini. Aku tidak tahu banyak tentang Jepang, kecuali
bahwa negara ini pernah menjajah negaraku. Aku tidak tahu banyak tentang
Jepang kecuali sushi, itu saja.
"Kalau begitu tunggu di sini!"
......bersambung.....
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar