@bende mataram@
Bagian 65
Ia mencabut sebatang pedang pendek. Kemudian meloncat garang seperti
gerak-gerik seorang sedang bertempur. Batang pohon sebelah bawah dttetaknya
dengan sekuat tenaga, lalu ia melesat pergi ke luar lingkaran bayangan
mahkota daun.
"Cepat hisap!" teriaknya.
Sangaji menubruk bekas tetakan. Jari-jarinya menyentuh benda cair yang
lumer. Ia mau membuka mulut, sekonyong-konyong terciumlah bau anyir menusuk
hidung. Ia merasa muak dan nyaris berontak, karena baunya bagaikan darah
manusia. Ketika sedang beitimbang-bimbang mendadak terdengarlah suara
berdesahan. la kaget. Dilihatnya akar-akar pohon mulai bergerak dan
bergoyang-goyang. Makin lama makin cepat dan seolah-olah mau mencengkeram
dirinya.
Melihat keajaiban itu hatinya memukul keras. Apa ini perbuatan setan,
pikirnya, la hampir ter-pengaruh. Tenaganya terasa surut habis. Gntung ia
mendengar teriakan Ki Tunjungbiru.
"Bocah! Jangan terpengaruh! Jangan pedulikan!"
Mendengar teriakan itu tersentaklah kesadarannya. Cepat ia bertindak.
Hidungnya ditekannya, lalu menghisap benda cair lumer itu. Benda cair itu
mula-mula dikulumnya di dalam mulutnya. Lalu ia mencoba menelan sedikit.
Begitu telah merasuk ke dalam kerongkongannya, ia jadi heran. Di luar
dugaan benda cair itu sedap luar biasa seperti madu. Maka tanpa ragu-ragu
lagi ia menelannya sambil hatinya berbicara, malam ini aku mati atau hidup
terserah pada takdir!
la terus menghisap, tapi hebat akibatnya. Tenaganya makin lama makin surut.
Kedua kelopak matanya menebal. Seluruh tubuhnya meremang seperti kena
kesiur angin lembut. Rasanya nyaman luar biasa.
"Terus hisap! Jangan pedulikan apa-apa! Jangan biarkan dirimu tertidur!"
terdengar suara teriakan Ki Tunjungbiru. Diam-diam Sangaji heran mendengar
nada suaranya. Kesannya seperti suara seorang yang menaruh dendam.
Dalam pada itu kesan pohon itu memang menyeramkan. Batangnya
bergoyang-goyang seolah-olah ingin merenggutkan hisapan Sangaji.
Akar-akarnya bergerak dan mengeluarkan suara bergelora dan berkerinyutan.
Dalam gelap malam hari luar biasa menyeramkan.
Sekiranya Sangaji seorang diri tidak ada kawan, pastilah dia akan jatuh
pingsan. Diam-diam ia merasa berterima kasih padanya.
Aneh benar pohon ini, pikirnya dalam hati. Apakah di dalamnya ada setannya?
Ah, kalau kuceritakan kepada Guru, apa mereka mau percaya.
Makin lama gerak pohon makin seram. Kini menimbulkan kesiur angin luar
biasa. Akar-akar pohon mulai merumun di atas kepala Sangaji dan menimbulkan
suara pula. Cepat-cepat Sangaji mengendapkan tubuhnya serata tanah.
Tenaga hisapannya kian diperkeras. Kini bahkan ia mulai menyedot
panjang-panjang. Entah berapa lama dia berjuang dengan gigih, ketika
membuka matanya ternyata ia tertidur di atas bukit karang.
la heran. Dilayangkan matanya sekitar dirinya. Alam yang menyelimuti tenang
tenteram tak berisik. Mendadak ia mendengar langkah menghampiri dirinya.
Ternyata Ki Tunjungbiru.
"Mengapa aku ada di sini?"
Ki Tunjungbiru membungkuki sambil mengacungkan ibu jarinya. Berkata dengan
nada girang, "Kau hebat, Bocah. Benar-benar hebat! Hampir saja aku
mencelakakan dirimu. Kau tahu aku tak berani mendekati. Akar-akar pohon
sudah merumuni kepalamu. Gugup aku merangkak maju—setapak demi setapak.
Kutarik kakimu. Alangkah berat! Tubuhmu gemuk seperti babi."
"Mengapa?" Sangaji heran.
"Kau benar-benar taat dan mendengarkan pesanku. Kau terlalu banyak
menghisap sampai perutmu melembung. Kau tahu seluruh tubuhmu menjadi putih.
Seputih gamping."
"Ah!"
"Aku berusaha menarik kakimu. Ternyata kamu masih menggigit batang itu."
"Kapan? Kapan Aki menarik kakiku?"
"Seandainya aku tak berhasil menarik kakimu, masa kamu sekarang ada di atas
bukit karang ini?"
Sangaji heran sampai terlongong-longong. "Tetapi aku tak tertidur, kan?"
ujarnya. "Tak tertidur?"
"Seumpama tertidurpun hanya sebentar, kan?"
Ki Tunjungbiru tertawa berkakakkan. Dengan tubuh terguncang-guncang.
"Sebentaran katamu?"
"Bukankah hari masih malam?"
"Benari Tetapi kamu telah melampaui satu hari panjang." "Ah! Tidak
mungkin!" Sangaji tak percaya.
Mendengar sanggahannya Ki Tunjungbiru tertawa kian meriuh. Katanya,
"Baiklah kuterangkan. Saat kutarik kakimu, ternyata kamu tak bergeming.
Jelas, kalau kamu kena pukau. Nyawamu tinggal tergantung pada sehelai
rambut. Ingin aku menyeretmu cepat-cepat, tetapi tak berani aku berlaku
sembrono. Seluruh akar pohon Dewadaru mengikuti tubuhmu."
"Ih!" Sangaji meremang. "Apa pohon itu bernyawa atau kemasukan setan?"
"Bukan! Nah, aku sekarang mau bercerita semuanya. Dengarkan dan tak usah
duduk. Berbaringlah dulu, sampai kau buang air besar."
"Mengapa?"
"Dengarkan dulu!" sahut Ki Tunjungbiru cepat. "Bukankah kamu menghendaki
petunjukku?"
Sangaji mengangguk dan mau tak mau ia harus menyabarkan diri. Kemudian Ki
Tunjungbiru mulai bercerita.
"Kami bangsa nelayan9) kaya dengan cerita-cerita perantauan. Di tengah laut
kami bertemu dengan nelayan-nelayan seluruh kepulauan Nusantara. Di sana
kita saling menukar cerita-cerita pengalaman atau dongeng atau kisah untuk
mengisi waktu luang. Cerita dan tutur-kata mereka penuh keajaiban dan
aneh-aneh. Sekali kami pernah mendengar kabar tentang pelita Nyai Roro
Kidul yang berjalan di atas permukaan laut. Pelita itu adalah tanda suatu
malapetaka bagi nelayan. Barangsiapa melihat pelita Nyai Roro Kidul harus
cepat-cepat mencari pantai. Sebab itu suatu tanda kalau laut akan mengamuk.
Mereka pandai pula membumbu-bumbui cerita itu, sehingga seolah-olah telah
terjadi di depan kita. Jika yang lain mau bercerita pula, cepat-cepat pokok
ceritanya ditambahi dengan pengalaman-pengalaman dan dongeng-dongeng ajaib.
Lambat-laun terasa, kalau tiap tukang cerita harus pandai memilih suatu
bentuk cerita yang menarik. Sehingga kemudian merupakan suatu perlombaan
tutur-kata. Nah, kami dengar juga tentang sebuah .pulau setan yang
mata-penca-harian penduduknya menangkap ikan. Mata uangnya bukan emas bukan
perak. Tetapi buah kunyit. Si pencerita pernah terdampar di pulau itu
karena dilanda gelombang. Dia disambut meriah, karena waktu itu perahunya
penuh dengan ikan. Setelah satu malam bermalam di pulau itu, keesokan
harinya dia diantar ke laut dengan dibekali seonggok kunyit. Si pencerita
mendongkol, karena ikannya hanya ditukar dengan kunyit. Tapi karena rasa
takut dia berdiam diri. Di tengah laut onggok kunyit itu sebagian besar
dibuangnya. Mendadak terjadilah suatu keajaiban. Sisa kunyit yang belum
terbuang berubah menjadi benda kuning berkilauan. Ternyata berubah menjadi emas
belaka. Sayang—hanya tinggal sedikit. Dia hampir gila, karena menyesal.
Maka pada beberapa hari kemudian ia mencoba mencari pulau setan itu. Tapi
pulau itu tak pernah dilihatnya lagi. Hilang begitu saja seperti
ditenggelamkan gelombang."
"Apakah emas itu laku juga dijualnya?" Sangaji menyela.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar