@bende mataram@
Bagian 64
Ki Tunjungbiru rupanya dapat menduga gejolak hati Sangaji.
Dia tertawa berkakakkan sambil berkata, "Aha... aku tahu apa yang
kaupikirkan. Pastilah kamu mengira aku mau mengajarimu menghisap darah
seorang gadis. Dalam hal ini lapangkan dadamu. Tidak ada niatku untuk
mengajarimu ilmu sesat. Maksudku tadi hanya ingin menceritakan kepadamu
tentang salah satu macam ilmu sesat yang pernah didengar orang.
Memang kamu mau kuajar menghisap sesuatu agar tubuhmu menjadi kuat perkasa
tiada tara." "Menghisap apa?" Sangaji cemas.
Melihat Sangaji cemas, Ki Tunjungbiru senang bukan main. Ia tertawa riuh
sampai tubuhnya ter-guncang-guncang.
"Kau nanti akan melihat. Dan aku akan memaksamu. Dan kamu takkan bisa melawan."
Sangaji jadi ketakutan. Diam-diam ia menyelidiki alam sekitarnya. Seberang
menyeberang adalah air belaka. Tak dapat ia membebaskan diri dengan
menceburkan diri ke laut. Karena itu, mau tak mau ia harus menyabarkan diri.
"Aki! Apa aku harus menghisap... menghisap ..." katanya terbata-bata.
Ki Tunjungbiru memotong kata-katanya dengan tertawa meriuh lagi. Menyahut
cepat, "Jangan kaucemas, bocah. Meskipun kamu harus menghisap sesuatu,
tetapi perbuatan itu bukan sesat. Percayalah! Kedua gurumupun takkan tahu
darimana kamu tiba-tiba mendapat kemajuan mulai besok."
Beberapa saat kemudian perahu minggir ke pantai. Itulah pantai Pulau Edam
yang gelap-guli-ta penuh pohon-pohon liar. Sangaji bergidik bulu kuduknya
mengingat kata-kata Ki Tunjungbiru. Di pulau ini ia akan dipaksa menghisap
sesuatu, dan ia takkan kuasa melawan.
la dibawa mendaki sebuah bukit batu yang penuh semak-belukar. Suasananya
sunyi menyeramkan. Margasatwa terdengar bergemerisik di antara semak-semak
belukar dan batu-batu yang mencongakkan diri dari tanah berpasir.
Kadang-kadang terdengar suara berdesis penuh rahasia. Dalam gelap malam
Sangaji dapat menduga, itulah binatang-binatang berbisa yang lari menyibak
karena terkejut
"Bocah! Lihatlah di depanmu!" sekonyong-konyong Ki Tunjungbiru berkata.
Sangaji menajamkan pandangannya. Di depannya berdiri sebatang pohon raksasa
yang berdaun sangat rimbun. Angin laut yang menusuk dari arah utara
menggoyang-goyangkan mahkota daunnya. Suaranya bergemeresak dan berdesahan
seperti dengkur seseorang yang tidur lelap.
"Kau tahu pohon apa itu?" tanya Ki Tunjungbiru.
Sangaji mencoba menebak. Tapi malam terlalu gelap, bagaimana ia dapat
mengenal jenisnya. Meskipun demikian ia mencoba. "Kelihatannya seperti
sebuah pohon beringin. Itu akar-akarnya yang panjang."
Ki Tunjungbiru tertawa melalui hidungnya.
"Kamu hampir benar, tetapi sama sekali salah. Di siang hari bolongpun kamu
takkan dapat me-jiebak. Memang batangnya mirip pohon beringin. Akarnya
panjang dan bergantungan begitu penuh. Tetapi daunnya lebar seperti daun
kam-boja. Dahan dan rantingnya penuh duri dan berwarna hijau mengilap."
"Ah!" Sangaji heran.
"Namanya pohon Dewadaru. Pohon itu jarang ada di kolong dunia. Belum tentu
kamu mene-mukan di seluruh Pulau Jawa. Pohon itu sakti. Di malam hari dia
tidur dan berdengkur seperti manusia. Tapi pada siang hari dia sangat
berbahaya."
"Apa bahayanya?"
Ki Tunjungbiru tidak menjawab. Ia hanya tertawa perlahan seperti lagi
mengendapkan ingatannya yang buruk.
"Kamu mengharapkan petunjukku, bukan?" Sangaji mengangguk tak mengerti.
"Dengarkan, aku bercerita." Ki Tunjungbiru mengesankan. "Dulu aku bertubuh
lemah. Jauh lebih lemah daripadamu. Ayahku seorang nelayan, dan aku
membantu mencari penghidupan.
Pada suatu malam perahu kami terdampar di pulau ini. Waktu itu hari
sangatlah panas. Kami berdua berada di atas bukit karang ini menunggu siang
hari. Perutku sangat lapar dan rasa hausku bukan main. Pada waktu matahari
sepenggalan tingginya, kami tertarik kepada pohon yang sangat indah itu.
Dia menyebarkan bau harum dan berkesan rindang. Karena kami tak tahan terik
matahari, kami hampiri pohon itu. Kami berte-duh. Untuk iseng, aku
mencongkeli batangnya. Kuhisap getahnya untuk penawar haus. Kemudian...
terjadilah suatu peristiwa yang..." Ki Tunjungbiru tiba-tiba diam tak
meneruskan. Ia menghela napas dalam. Kepalanya menunduk. Kemudian terpekur
sekian lamanya.
mur Sangaji bani menginjak 17 tahun. Meskipun demikian sudah banyak ia
mendapat pengalaman dari pergaulan. Tahulah dia, kalau Ki Tunjungbiru
sedang berduka. Karena itu tak berani dia mendesak, takut menyinggung
perasaannya.
Sejenak kemudian Ki Tunjungbiru mulai berkata lagi. Tetapi tak menyinggung
tentang suatu peristiwa yang akan disampaikan. Katanya mengalihkan
pembicaraan, "Di luar dugaanku tubuhku menjadi kuat. Semua
binatang-binatang berbisa tak berani menyinggungku. Mereka tunduk dan tidak
berani membantah kemauanku. Itulah sebabnya dulu aku dapat menangkap dua
ekor lutung begitu mudah. Dan sekarang hai bocah, kalau kamu ingin memiliki
tubuh seperkasa pohon itu, hisaplah getahnya. Aku akan menetak batangnya
sebelah bawah dengan pedang dan cepat-cepatlah kau menghisap getahnya.
Jangan lalai dan lengah!"
"Malam begini gelap, bagaimana aku bisa melihat getahnya?" tanya Sangaji.
"Rabalah bekas tetakanku," sahut Ki Tunjungbiru cepat. Sekonyong-konyong
suaranya menyeramkan. "Pohon itu akan terbangun. Akar-akarnya akan
bergerak. Dia akan mengeluarkan suara bergelora dan berkerinyutan bagaikan
kera raksasa. Tapi jangan pedulikan!
Terus hisap dan hisap! Dan jaga pulalah dirimu agar terus mendekam serendah
tanah." "Mengapa begitu?"
"Sekarang tidak ada waktu untuk menerangkan sebabnya. Kau ingin mendapatkan
petunjukku atau tidak? Katakan sekarang!"
Sebenarnya Sangaji masih ragu. la belum mendapat suatu penjelasan yang
cukup kuat. Kesan cerita Ki Tunjungbiru masih begitu diliputi kabut
rahasia. Tetapi ia sudah berada di tengah pulau. Dan ia sadar pula, kalau
satu-satunya harapan agar dapat menyenangkan kedua gurunya, dipertaruhkan
belaka kepadanya. Berpikir demikian ia lantas mengangguk.
"Bagus! Karena kamu menghendaki petunjukku, ingat-ingatlah semua pesanku
tadi. Kamu wajib mendengar semua perintahku. Kamu mengerti?"
"Mengerti," jawab Sangaji dengan kepala kosong.
"Sementara kamu menghisap getahnya, aku akan berjaga di luar bayangan
rimbun pohon. Jangan sekali-kali kamu berhenti menghisap sebelum aku
membawamu pergi. Dan jaga jangan sampai tertidur!"
"Tertidur? Masakan sedang menghisap bisa tertidur?"
Ki Tunjungbiru tidak menjawab. Dia hanya tertawa lebar. Kemudian mencoba
menerangkan, "Pohon itu mempunyai kesaktian ajaib. Barangsiapa berada dalam
lindungan mahkota daunnya, akan kena terhisap tenaganya, la akan lumpuh dan
tertidur dengan tak sadar8).
Sehabis berkata demikian ia menyambar lengan Sangaji dan dibawanya lari
menghampiri pohon. Begitu berada di bawah lindungan mahkota daun, hawa
terasa amat sejuk dan nyaman luar biasa. Sekarang tahulah Sangaji, apa
maksud Ki Tunjungbiru agar dia pandai menjaga diri. Seluruh tubuhnya
mendadak merasa penat. Rasa kantuk mulai pula meraba matanya.
"Kamu telah merasakan khasiat pohon sakti ini?" tanya Ki Tunjungbiru.
Sangaji mengangguk.
"Karena itu kita harus bekerja cepat! Sehabis kutetak, kau lantas saja
menubruk. Aku akan berada di luar sana. Seterusnya terserah padamu, apa
kamu akan berhasil menghisap getahnya."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar