@bende mataram@
Bagian 63
"Sangaji! Jurus yang ingin kuwariskan kepadamu berjumlah 98," kata Jaga
Saradenta sungguh-sungguh. "Supaya dapat mengejar waktu kamu harus sudah
dapat menguasai dua jurus untuk setiap minggunya."
Mendengar keterangan Jaga Saradenta ia ter-longong-longong. Sembilan puluh
delapan jurus! Banyak sekali! Baru jurus ke-14 napasnya sudah sesak dan
merasa tak sanggup maju lagi. Belum lagi ditambah ilmu ajaran Wirapati yang
berjumlah 165 jurus.
Karena hatinya tertekan-tekan, akhirnya teringatlah dia kepada pesan
laki-laki berkepala gede. Ia menaruh harapan baru. Pada tengah malam
berangkatlah dia seorang diri ke tepi pantai.
Waktu itu bulan gede. Laut sedang bergelombang besar. Di jauh sana
nampaklah pelita perahu-perahu nelayan berkedipan. Di tepi pantai sunyi
senyap. Hanya terdengar ombak berdebur tiada hentinya.
Sangaji terus mengawaskan tengah laut sambil berjalan menyusur pantai, la
tak melihat sesuatu yang bergerak. Apakah dia tak datang, pikirnya. Di jauh
sana dilihatnya segunduk batu karang. Sangaji mengira, laki-laki berkepala
gede berada di balik batu karang. Maka bergegas ia menuju ke tempat itu.
Tetapi sesampainya di atas gundukan karang suasananya sunyi sepi menyayat hati.
Ia berdiri tegak memutar penglihatan. Angin malam kian lama kian keras dan
dingin menusuk tubuh. Mendadak dilihatnya suatu benda hitam mengambang di
atas permukaan air. Benda itu laju sangat cepat dan melawan ayunan
gelombang begitu angker. Kemudian terdengarlah suara nyaring luar biasa.
"Bocah! Itu kamu?"
Sangaji girang bukan kepalang sampai melompat-lompat kecil.
"Ya," sahutnya. Tapi suaranya hilang ditelan deru ombak dan gelora angin.
Sekarang ia baru merasa kagum dan tahluk kepada tenaga laki-laki berkepala
gede yang suaranya saja dapat melawan deru ombak dan gelora angin.
Tapi laki-laki berkepala gede itu tajam pendengarannya. Meskipun suara
Sangaji sangat lemah, pendengarannya dapat menangkap dengan jelas.
"Melompatlah!" Teriaknya dengan suara nyaring.
Sampannya ternyata berada dalam jarak dua puluh langkah dari gundukan batu
karang. Sangaji berbimbang-bimbang. Pikirnya, bagaimana aku bisa mencapai
sampan?
Tapi ia ingat pada pesan laki-laki berkepala gede itu. Jika tidak bisa
mencapai sampannya, tidak ada harapan bisa berjumpa dengannya kembali.
Padahal dia menaruh harapan kepadanya. Kalau kali ini gagal, semua ajaran
kedua gurunya tidak ada gunanya lagi ditekuni. Walaupun ia mengerahkan
tenaga akan sia-sia belaka.
Memikir demikian timbullah kenekatannya. Pikirnya, lebih baik mati daripada
menanggung kegagalan. Ia seorang anak yang berhati kukuh. Dulu dia berani
mengadu nyawa ketika memutuskan untuk melindungi Willem Erbefeld
semata-mata karena telah terdesak. Kini ia menghadapi persoalan yang
bernada sama pula. Maka segera ia mundur beberapa langkah. Kemudian
menjejak tanah dan melompati laut yang sedang bergelombang besar sambil
memejamkan mata.
Tetapi bagaimana dia sanggup melompat sejauh dua puluh langkah, apalagi
harus melawan deru angin yang sedang laju menusuk pedalaman? Ternyata dia
hanya dapat melompat kurang lebih sebelas langkah saja. Tubuhnya lantas
saja melayang ke bawah. Sekonyong-konyong ia merasa disambar suatu tenaga
dahsyat. Kemudian ditolak tinggi dan jatuh jungkir balik tepat di atas
sampan. Sampan bergonyang-goyang. Tatkala ia membuka mata, laki-laki
berkepala gede nampak berdiri bergoyangan di sampingnya.
"Terima kasih," bisik Sangaji. Ia tahu, kalau laki-laki berkepala gede
menolong dirinya.
"Bocah, kamu sungguh-sungguh bersemangat jantan," kata laki-laki berkepala
gede itu. "Mulai sekarang panggillah aku Ki Tunjungbiru."
"Itulah nama Aki?"
"Sebenarnya itulah nama julukanku. Tapi biarlah kamu memanggilku begitu
juga. Apa rugiku? Sekarang, ayo kita pergi."
Perahu kemudian dikayuh melawan gelombang pasang. Tenaga Ki Tunjungbiru
kuat luar biasa. Perahu seperti laju di atas permukaan telaga yang tiada
gelombang.
"Kamu tahu ke mana kita mau pergi?" tanya Ki Tunjungbiru tiba-tiba.
Bagaimana Sangaji dapat menebak teka-teki itu. Selama hidupnya baru malam
itu ia berpesiar di atas laut. Kalau saja tidak mabuk laut sudah untung
baginya.
Ki Tunjungbiru tertawa dengan kepala mendongak. "Jauh di sana ada sebuah
pulau yang berada di antara gugusan pulau-pulau. Pulau itu bernama Edam.
Ha—kita ke sana. Kau nanti bakal melihat dan merasakan bagaimana mulai
malam ini kamu akan menjadi manusia baru."
Sangaji terlongong-longong keheranan. Benaknya mulai menduga-duga siapakah
Ki Tunjungbiru sebenarnya. Ia hanya melihat perawakan tubuhnya yang
menyolok dibandingkan dengan manusia-manusia yang pernah dijumpainya.
Gerak-geriknya diliputi penuh rahasia. Apakah dia manusia buruk atau
berbudi, tak dapat ia memperoleh pegangan. Hanya selama dia berkenalan, ia
selalu menunjukkan sikap yang baik. Pertama-tama, dia ditunjukkan
kelemahannya. Kedua, diberi hadiah seekor lutung. Ketiga, menolong dirinya
di atas permukaan laut.
"Siapakah namamu?" tiba-tiba dia bertanya. "Sangaji."
"Bagus!" orang itu gembira. "Kulihat kamu memiliki dua macam kepandaian
yang mempunyai sumber berbeda. Pastilah gurumu dua orang."
Sangaji mengangguk.
"Kedua gurumu bukan orang-orang lemah. Aku tahu dengan pasti. Karena itu,
aku tak sudi kau angkat menjadi gurumu. Lagi pula andaikata aku mengambilmu
sebagai murid, pastilah akan menyinggung kehormatan gurumu."
"Tetapi, bukankah Aki akan memberi ajaran kepadaku?"
'Tidak! Sama sekali tidak! Aku hanya memberi petunjuk-petunjuk belaka."
Kembali lagi Sangaji menebak-nebak maksud Ki Tunjungbiru yang penuh
teka-teki. Tetapi tetap ia merasa seperti diselubungi kabut tebal. Akhirnya
ia menyerah. Pikirnya, baik kulihat apa yang akan dilakukan padaku.
"Pernahkah kamu mendengar penjelasan tentang suatu kemukjizatan?" ujar Ki
Tunjungbiru. "Kemukjizatan apa itu?" sahut Sangaji tak mengerti.
"Bahwa ada kecenderungan untuk menambah tenaga dan kegesitan tubuh dengan
pertolongan khasiat sesuatu dari luar?"
Sangaji mengernyitkan dahi. Sibuk ia menebak teka-teki itu. Tetapi ia tak
mengerti.
"Aki! Berkatalah yang jelas. Otakku terlalu bebal untuk dapat menebak-nebak
hal-hal yang masih asing bagiku." Jawab Sangaji tak mengerti.
"Otakmu tidak bebal. Hanya hatimu jujur dan bersih. Itulah yang menyebabkan
kamu berpikir terlalu sederhana," kata Ki Tunjungbiru. "Dengarkanlah! Di
kolong langit ada suatu ajaran-ajaran ilmu yang dianggap sesat oleh mereka
yang menekuni ilmu-ilmu sejati. Kamu seorang murid dari aliran sejati.
Meskipun tak boleh kamu mempelajari ilmu sesat, setidaknya harus mengenal
jenisnya. Umpamanya ada suatu ilmu sesat untuk menambah tenaga jasmani
dengan menghisap darah seorang gadis atau memperkosanya sekali. Ada pula..."
Sangaji terperanjat mendengar ujar Ki Tunjungbiru. Sekelebatan teringatlah
dia kepada tutur kata kedua gurunya, kalau mereka mempunyai seorang musuh
sakti yang seringkali menghisap darah seorang gadis untuk menambah tenaga
jasmaninya. Teringatlah kepada tutur kata kedua gurunya, meremanglah
sekujur badannya. Dengan pandang curiga ia mengawaskan tubuh Ki
Tunjungbiru. Apa dia Pringgasakti, pikirnya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar