4.09.2019

CANTING PART 17




CANTING PART 17


Tumraping urip, sabar iku wigati.
Dalam hidup, sabar itu penting sekali.


**********


Hadi terus membelai istrinya, membiarkannya menumpahkan airmata tanda
bahagia dan rasa syukurnya. Kanjeng Ibu juga berlinang airmata. Ia lalu
mendekat, memeluk putra dan menantunya. Haryo dan dokter Adicandra
merasakan keharuan yang sama, terutama dokter Adicandra yang merasakan
sendiri bagaimana proses operasi Hadi. Perlahan, dokter Adicandra menjawil
pundak Haryo, memberinya isyarat untuk keluar ruangan, agar ketiganya lebih
leluasa menumpahkan gelak bahagia yang tengah mereka rasakan.


"Sudah, jangan terus menangis. Lihat, bajuku sampai basah begini," goda
Hadi. Sekar kembali pelan memukulnya. Ia masih tak bisa berkata apa-apa.
Namun airmatanya jelas menggambarkan apa yang dirasakannya.


Kanjeng Ibu beringsut, bergeser ke sisi kiri ranjang Hadi.


"Selamat datang kembali, anakku," katanya, sembari membelai kepala putra
semata wayangnya, lalu mengecupnya.


Hadi sempat mengalami Cardiac Arrest ketika operasi, sebuah keadaan di mana
kontraksi ventrikel kiri jantung tidak berjalan sebagaimana mestinya
sehingga menyebabkan kegagalan sirkulasi, membuat detak jantungnya sejenak
berhenti. Beruntung, dokter Adicandra dan timnya sigap dan memang sudah
memperhitungkan kemungkinan terjadinya Cardiac Arrest pada Hadi sehingga
Sudden Cardiac Death yang mereka takutkan berhasil dihindari.


"Kanjeng Ibu, gudang kita...."


"Sudah, Nak, sudah. Jangan pikirkan itu. Pikirkan kesehatanmu dulu," potong
Kanjeng Ibu sebelum Hadi menyelesaikan kalimatnya.


"Kamu tidak apa-apa?" Pandangan Hadi kini beralih pada Sekar yang berada di
sisi kanan ranjangnya.


"Tidak apa-apa, Mas. Hanya beberapa jahitan di kepala dan lengan,"
jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya karena nyeri di bekas
jahitan yang diterimanya.


"Tidak apa-apa apanya. Lihat dirimu," katanya.


Sekar tersenyum. Bukan tanpa alasan ia mengatakan dirinya tidak apa-apa.
Dokter mengatakan bahwa ia beruntung karena pecahan kaca mobil nyaris saja
melukai arteri brachialisnya. Jika saja iya, maka akan cukup fatal
akibatnya. Ia bisa saja mengalami ruptur di arteri brachialisnya. Cedera di
kepalanya juga digolongkan sebagai cedera ringan.


"Aku sungguh tidak apa-apa, Mas. Apalagi jika dibanding Mas Hadi yang
sampai harus dioperasi. Mas tidak tahu bagaimana rasanya menunggu suami
yang sedang berjuang antara hidup dan mati," kata Sekar.


Suaranya kembali serak, pelupuk matanya kembali menggenang. Ia kembali
ingat bagaimana rasa takut menggelayutinya, khawatir ia dan Hadi tak akan
pernah lagi bersua.


"Jangan menangis lagi. Aku sudah di sini, aku sudah kembali," katanya,
sembari menggenggam jemari istrinya. Ingin sekali ia berdiri merengkuh
Sekar. Sayang, kedua kakinya bahkan belum bisa ia gerakkan.


Sekar menghapus airmatanya.


"Maafkan aku, Sayang," imbuh Hadi. Diremasnya jemari sang istri yang sedari
tadi digenggamnya. Sekar membalasnya dengan tatapan hangat penuh cinta.


"Tidak perlu meminta maaf, Mas. Semua ini kersaning Gusti. Sama sekali
bukan salah Mas Hadi. Yang terpenting, kita sudah bersama lagi, seperti
kata Mas tadi," katanya, lalu membalas remasan tangan suaminya. Keduanya
kini saling menatap. Mata keduanya kembali berurai airmata. Kanjeng Ibu
sungguh lega melihatnya.


"Gusti..., eratkan dan jagalah ikatan mereka," gumamnya.


Keharuan kembali menyelimuti ketiganya. Sayang, suasana haru itu harus
terganggu saat sejurus kemudian, suara bentakan Haryo terdengar, seiring
dengan suara pintu kamar Hadi yang mendadak terbuka. Tiba-tiba saja Ajeng
sudah berada di sana. Sekar mendesah melihatnya. Perempuan ini... ia
sungguh tak tahu diri.


"Jeng!"


Haryo kembali membentaknya, lalu berusaha menariknya. Ajeng bergeming. Ia
menangis.


"Maaf, saya... saya hanya ingin tahu keadaan Mas Hadi," isaknya.


Ia pun sama, tak sedetikpun ia berhenti memikirkan Hadi selama Hadi
berjuang di ruang operasi. Ia juga takut tak akan bisa bertemu penghuni
hatinya kembali, hingga ia memilih untuk tetap berada di rumah saki ini
meski jam kerjanya sudah berlalu sejak siang tadi.


Hadi mengeratkan genggamannya pada jemari Sekar, berharap yang dilakukannya
mampu memberikan beberapa ampere kekuatan.


"Mas Hadi baik-baik saja, Mbak. Jika Mbak ingin tahu keadaannya, tanyakan
saja pada dokter Adicandra, bukan malah ke sini mengganggu kebersamaan
kami," kata Sekar, tegas sekali.


Ajeng terhenyak dan tak berani membalas tatapan tajam Sekar.


"Saya sedang berbahagia karena suami saya sudah bangun kembali. Jika Mbak
memang punya hati, seharusnya Mbak tahu diri untuk segera pergi dari
ruangan ini," imbuh Sekar lagi.


Hadi semakin mengeratkan genggamannya. Ia bisa merasakan gemuruh yang
muncul di hati istrinya, saat berhadapan dengan perempuan yang
terang-terangan mencintai dan mencoba meraih suaminya.


Napas Sekar mulai tersengal. Hatinya sungguh merasa kesal. Sedang Ajeng
hanya mampu terdiam.


"Cukup, Jeng! Ayo keluar!"


Haryo kembali menarik tangannya. Ajeng mengikutinya dengan berurai airmata.


Tangis Sekar kembali pecah. Ia menelungkupkan wajahnya di sisi kanan
ranjang Hadi dengan tangisan yang kian menjadi-jadi. Hadi nelangsa. Saat
seperti ini, ingin sekali ia merengkuhnya. Apa daya, ia hanya bisa
terbaring saja, tak bisa leluasa memeluk, atau menghapus airmata Sekar
seperti biasanya.


Tiba-tiba saja ia merasa begitu tak berguna.


**********


Tiga purnama berlalu sudah, dan Hadi sudah kembali pulang ke rumah. Namun
semua terasa berbeda, sebab ia tak lagi bisa bergerak leluasa. Cedera yang
dialaminya membuatnya butuh waktu yang cukup lama untuk bisa pulih seperti
sedia kala. Sementara, ia masih harus tergantung pada kursi roda.
Sejujurnya, hal ini mempengaruhi emosinya. Entah karena bosan atau karena
sebab lainnya, akhir-akhir ini, ia sering didera rasa bahwa ia cacat, bahwa
ia tak lagi berguna. Jangankan untuk melanjutkan usaha batiknya kembali,
untuk ke kamar mandi saja, ia tak mampu melakukannya sendiri.


Hadi mendesah.


Keadaannya semakin diperparah dengan ketidakmampuannya untuk mengajak istri
tercintanya bermain dalam lautan cinta, meski itu hanya sementara. Bukankah
3 bulan itu cukup lama? Apalagi baginya yang seharusnya masih menikmati
manisnya madu pengantin baru.


Hadi menatap nanar langit mendung yang tampak dari jendela kamarnya.
Hatinya sungguh terasa hampa.


"Mas?"


Tetiba ada jemari yang menyentuh pundaknya. Ia menoleh. Sekar sudah berada
di sebelahnya.


"Sarapan dulu, ya," katanya.


Sekar menggeser sebuah kursi ke dekat Hadi, mendudukkan diri di sana, lalu
bersiap menyuapkan sesendok makanan ke mulut suaminya. Tapi tiba-tiba, Hadi
menampik tangan Sekar hingga sendok yang dipegangnya bergoyang, membuat
isinya jatuh ke lantai.


Sekar mendesah perlahan. Sejak semalam, Hadi tidak mau makan.


"Sedikit saja, Mas. Tolonglah," katanya, kembali menyodorkan sesendok
makanan untuk suaminya.


Sayang, Hadi kembali menampiknya. Kali ini lebih keras hingga piring berisi
makanan itu terlempar, pecah, dan isinya berhamburan.


Sekar terhenyak.


"Aku tidak lapar," kata Hadi singkat. Manik matanya kembali menatap nanar
ke arah jendela.


Sekar bersimpuh, memunguti pecahan piring yang berserakan di lantai dengan
jemarinya. Sedang Hadi terus bergeming pada posisinya.


Perlahan, airmata Sekar menetes. Ia sungguh tak mengira suaminya jadi
seperti ini. Ia tahu Hadi terpukul dengan keadaannya, yang entah butuh
waktu berapa lama hingga ia bisa kembali sembuh seperti sedia kala. Hanya
saja, ia tak pernah mengira menjalani ini akan terasa begitu berat bagi
Hadi, sampai emosinya terpengaruh seperti ini.
Lagipula, ia sama sekali tak pernah menganggap keadaan Hadi sebagai beban.
Ia ikhlas merawat Hadi, sebagai bukti cinta sekaligus baktinya sebagai
istri, mulai dari menyuapinya, memandikannya, memapahnya ke tempat tidur,
bahkan membersihkan kotorannya. Sekar sama sekali tak masalah dengan itu
semua. Tapi rupanya, Hadi menganggapnya berbeda.


"Aw!" Sekar mengaduh.


Salah satu pecahan piring rupanya menggores jari telunjuknya. Hadi
mengalihkan pandangannya. Melihat istrinya yang tengah terisak sambil
membersihkan kekacauan yang disebabkannya, Hadi semakin merasa bahwa ia
hanya menyusahkan saja.


"Maafkan aku, aku hanya bisa menyusahkanmu," katanya, lalu kembali
memalingkan wajahnya.


Sekar mengentikan aktifitasnya, lalu bangkit mendekati suaminya, memeluknya
dari belakang, hingga pipi keduanya bersentuhan. Kini keduanya terhanyut
dalam tangisan.


"Jangan pernah bicara begitu, Mas. Mas tidak pernah menyusahkanku,"
katanya, dengan airmata yang semakin deras membasahi wajahnya.


"Aku sudah bukan aku yang dulu, Sekar. Aku yang sekarang hanyalah benalu,"
isak Hadi. Sekar semakin mengeratkan pelukannya.


"Tidak, Mas. Mas Hadi sama sekali bukan benalu. Tolong jangan bicara
begitu," katanya.


"Aku cacat, Sekar. Suamimu yang dulu bisa leluasa menggendongmu, sekarang
tak lebih dari seonggok daging hidup yang tidak bisa apa-apa, hanya mayat
hidup yang terus menyusahkan saja!"


Airmata Sekar semakin tumpah mendengarnya.


"Mas Hadi tidak cacat. Dokter tidak pernah bilang seperti itu. Mas hanya
butuh waktu untuk bisa sembuh seperti semula."


Sekar sedikit mengubah posisinya, hingga tangan kanannya bisa leluasa
membelai kepala suaminya.


"Kanjeng Ibu pontang-panting sendirian mengurusi pengembalian uang, sedang
aku hanya bisa duduk terdiam. Lalu kamu, seharusnya kamu sudah bisa
melanjutkan pendidikanmu, tapi kamu justru terjebak untuk merawatku. Selain
itu, sudah 3 bulan lebih aku tidak mampu untuk menafkahi batinmu." Hadi
menundukkan kepalanya.


Sekar menghela napas dan menghapus airmatanya. Ia sungguh tak tega melihat
keadaan suaminya. Ia beringsut, lalu memosisikan kedua lututnya di lantai
hingga posisinya kini tepat menghadap suaminya.


Sekar meraih jemari Hadi, menggenggamnya erat sekali.


"Mas Hadi tahu kan, bagaimana rasa sedihku saat aku harap-harap cemas
menunggu nasib Mas Hadi yang saat itu ditangani di dalam ruang operasi?
Jujur, Mas, ternyata... ternyata lebih sedih melihat Mas Hadi seperti ini."
Tangis Sekar kembali pecah.


Hadi terhenyak mendengarnya.


"Bagaimana bisa?" tanyanya.


"Mas Hadi yang sekarang bukan bukanlah Mas Hadi yang kukenal dulu. Bukan
soal keadaan fisik, tapi soal sikap Mas Hadi. Aku rindu Mas Hadi yang penuh
semangat tinggi, Mas Hadi yang selalu mengajariku tentang kesabaran dan
kebesaran hati." Sekar kembali menghela napas sebelum melanjutkan
kalimatnya kembali.


"Raga Mas Hadi memang sudah kembali bersamaku di sini, tapi... aku tidak
merasakan kehadiran jiwa Mas Hadi lagi. Aku...." Sekar tak sanggup lagi
melanjutkan kalimatnya. Ia terhanyut dalam tangisnya.


Hati Hadi tersentak melihat tubuh istrinya yang terguncang karena tangisan.


Gusti... apa yang sudah kulakukan?


"Apa yang lebih menyedihkan dibanding melihat sosok yang kita cinta
kehilangan semangat hidupnya, Mas? Apa?" Sekar kembali bersuara di tengah
tangisnya.


Hadi memejamkan kedua matanya sejenak. Benar, ia memang tengah kehilangan
semangat hidupnya. Ia tahu tak seharusnya ia begitu. Hanya saja...


"Batinku tidak akan tersiksa hanya karena Mas belum bisa lagi memberikan
nafkah batin sebagaimana mestinya. Tapi batinku sungguh tersiksa melihat
Mas Hadi yang tak lagi sama seperti Mas Hadiku yang sebelumnya." Hati Hadi
tersentak untuk kedua kalinya.


Gusti... sedzalim itu rupanya aku padanya.


"Lalu soal rencanaku kuliah, bagaimana aku bisa dengan tenang menuntut ilmu
jika di saat yang sama, sigaraning nyawaku membutuhkanku? Aku lebih memilih
menunda rencanaku dari pada aku harus meninggalkanmu, Mas."


Hadi melepaskan jemarinya dari genggaman Sekar. Sejurus kemudian, posisinya
berbalik. Kini jemari Hadi yang menggenggam jemari Sekar.


"Sakit hatiku mendengar Mas Hadi menganggap keadaan Mas sebagai beban
untukku. Padahal, aku... aku ikhlas melakukan semua ini sebagai tanda cinta
sekaligus baktiku sebagai istrimu."


Mendengar tangisan dan curahan hati istrinya, kini Hadi merasa bak suami
paling jahat sedunia. Ia terus menggenggam jemari Sekar, sambil lisannya
kini tak henti mengucap istighfar.


Keduanya kini terhanyut dalam keheningan, dengan isakan Sekar yang masih
terus terdengar.


"Maafkan aku, Sekar. Aku tidak menyangka ternyata aku pergi sejauh itu,"
kata Hadi, memecah keheningan. Sekar terkesiap mendengarnya.


"Aku... aku hanya khawatir kamu tidak bahagia karena waktumu habis untuk
merawatku," imbuhnya. Sekar manatap suaminya, lalu menyunggingkan senyuman
di tengah tangisnya.


"Dengarkan aku, Mas. Urip rekasa gelem, mukti uga bisa, sabaya mukti sabaya
pati. Hidup dalam kesusahan bersedia, hidup makmur pun bisa, sehidup semati
dalam suka maupun duka. Itulah aku padamu, Mas," katanya. Kini giliran Hadi
yang terkesiap setelah mendengarkan istrinya.


Kini keduanya saling bertatapan, dengan jemari yang masih terus saling
menggenggam.


"Tolong jangan pergi lagi, Mas. Kembalilah jadi Mas Hadi yang kukenali,"
pinta Sekar sambil menciumi jemari suaminya.


Hadi mengangguk perlahan.


"Maafkan aku, Sayang. Maaf aku baru menyadari bahwa aku sudah terlalu lama
pergi. Aku kembali. Ini aku, Hadimu yang kamu rindukan selama ini."


Airmata kembali mengaliri mata keduanya; airmata bahagia, hingga mereka tak
sadar ada sepasang mata lainnya yang juga berurai bulir-bulir bening tanda
bahagia; airmata Kanjeng Ibu yang sedari tadi memperhatikan di balik pintu
kamar mereka yang sedikit terbuka.


"Jarimu berdarah!" seru Hadi kemudian.


Sekar melihat jemarinya. Ah, ia sampai lupa jika jari telunjuknya terluka.


"Iya, Mas. Tergores pecahan piring yang kubersihkan tadi," jawabnya. Kini
perihnya mulai terasa.


"Kemarikan jari telunjukmu. Biar aku menghisapnya agar darahnya berhenti
dengan segera," kata Hadi sambil meraih jari telunjuk Sekar, lalu
meletakkan jari yang terluka itu ke mulutnya.


Sekar tersenyum. Tetiba ada hujan salju di hatinya.


Ia bahagia.
Sangat.


**********


Sebagaimana langit yang tak selalu biru, atau bunga cantik yang bisa layu,
begitu pula dengan hati manusia yang bisa kelabu.


Sekar mendekat ke jendela kamarnya, memastikan jendela itu sudah tertutup
dengan sempurna. Ia sungguh bersyukur, lambat laun, Hadi kembali menemukan
kepercayaan dirinya, kembali menjadi Hadi yang sangat dikenalnya, meski
keadaan fisiknya belum bisa dikatakan pulih sepenuhnya. Namun kini,
semangat hidupnya telah kembali. Salah satu buktinya adalah luapan
semangatnya acapkali ia akan bertolak untuk terapi.


"Aku ingin bisa segera menggendongmu lagi." Begitu katanya, lengkap dengan
kerlingan manjanya, membuat Sekar selalu geli mendengarnya.


Sekar menoleh saat mendengar derit pintu yang terbuka. Ia terkesiap. Hadi
muncul dengan kursi rodanya, dengan sebuah rangkaian bunga melati di
pangkuannya. Sekar memang sangat menyukai bunga melati. Selain karena warna
dan wanginya, Sekar menyukai bunga ini karena filosofinya.


Dalam bahasa Jawa, bunga melati disebut sebagai kembang mlathi, yang oleh
sebagian orang dipercaya merupakan singkatan dari rasa melat saka njero
ati, yang berarti dalam berucap dan berbicara hendaklah selalu tulus dari
hati nurani. Lahir dan batin haruslah selalu sam, bukan lisan berkata A,
namun hati berkata yang lainnya.


Inilah yang selalu Sekar pegang dalam menjalani hari-harinya, termasuk
kehidupan pernikahannya, sehingga ia lebih memilih untuk selalu berterus
terang pada Hadi tentang apapun yang dirasakannya, daripada memendam rasa
sendirian, di lisan bilang baik-baik saja, tapi hati gundah gulana. Sekar
tidak mau itu, karena ketidakjujuran pada pasangan seringkali hanya akan
menciptakan kesalahpahaman.


Hati Sekar berdegup kencang saat Hadi semakin mendekat padanya.


"Selamat ulang tahun yang ke-19, Sayang," ucap Hadi, sembari menyodorkan
rangkaian melati itu untuk istri tercintanya.


Sekar terharu. Ia bahkan tak ingat jika hari ini adalah hari ulang tahunnya.


"Mas Hadi ingat jika hari ini hari ulang tahunku?" tanyanya malu-malu,
sembari jemarinya menerima rangkaian melati itu.


"Tentu saja. Bagaimana aku bisa lupa pada hari paling bersejarah di dunia
di mana hari ini, 19 tahun yang lalu, permaisuri hatiku lahir ke dunia?"
jawab Hadi. Sekar semakin tersipu mendengarnya.


"Andai aku sudah pulih seperti sediakala, aku pasti sudah menggendongmu,
menghadiahimu dengan siraman cintaku," kata Hadi lagi. Genit sekali.


Sekar meletakkan kembali bunga yang dipegangnya ke pangkuan Hadi. Ia
berlutut, lalu menegakkan badannya hingga ia bisa meraih jemari Hadi.


"Bersabarlah, Mas. Anggap saja ini sebagai puasa. Mas tahu, kan, bagaimana
nikmatnya berbuka? Itu yang nanti akan kita rasa," katanya.


Hadi takjub mendengarnya. Keduanya bertatapan, dengan sorot mata yang
dipenuhi gelak cinta dan kesyukuran.


Hadi menyunggingkan senyuman.


"Matur sembah nuwun, Gusti. Kau kirimkan padaku seorang bidadari," gumamnya
pelan.


Bersambung.
Tunggu kelanjutannya di part 18.


**********




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar