CANTING PART 19
Sekar tak bisa menahan tawanya.
"Bersabarlah, Mas. Toh Mas tidak berpuasa sendiri. Ada aku yang turut
menemani," hibur Sekar.
"Aku tahu itu. Hanya saja, berdekatan denganmu selalu membuat rasa itu kian
menggebu," ucap Hadi, setelah menghela napasnya dan memberikan satu
kerlingan manja.
Ia berkata benar. Betapa seringpun ia bertemu atau dikelilingi
perempuan-perempuan cantik rupawan, dengan beberapa yang berpakaian seksi
mengundang, tak lantas membuat naluri kelelakiannya bangkit seketika. Namun
saat berdekatan dengan Sekar, nalurinya selalu saja menggelora. Ia
nelangsa, tapi di satu sisi, ia bersyukur karenanya, lantaran hanya pada
istrinya saja nalurinya bekerja secara sempurna. Sedang pada yang lainnya,
tak berefek apa-apa. Sebagai lelaki, tentu saja ada desir yang sedikit
terjadi saat ia melihat keindahan yang terpampang nyata di hadapannya, tapi
ia selalu bisa membawa diri, meredam sedikit desirnya dengan prinsipnya
bahwa istrinya juga memiliki keindahan yang sama.
"Oh, jadi apa Mas mau kita tidur terpisah saja? Agar naluri Mas itu tidak
semakin menggelora?" goda Sekar. Hadi mbesengut. Ia tak bisa membayangkan
tidur berjauhan dengan istrinya.
"Ah, tidak-tidak. Aku lebih memilih untuk menahan gelora itu dari pada
harus tidur terpisah denganmu," ucapnya, sembari menyentil hidung mbangir
istrinya.
Lagi-lagi Sekar tertawa.
"Ya sudah. Mas harus nrimo kalau begitu. Eling, Mas. Setiap kesabaran dalam
penantian, pasti akan berujung pada kebahagiaan. Yang namanya berbuka,
pasti akan selalu terasa istimewa. Iya to?" kata Sekar, mencoba menghibur
suaminya.
Hadi menatap istrinya lekat-lekat.
Iya, aku tahu itu.
Hanya saja kamu tidak tahu betapa susahnya aku menghalau naluri
kelelakianku saat aku bersamamu.
Tapi, bukankah selama ini kamu juga berpuasa sepertiku?
Lalu kenapa rasanya kamu bisa lebih tahan daripada aku?
Hadi masih terus menatap istrinya, dengan beberapa pertanyaan yang muncul
di hatinya, membuat Sekar mengernyitkan dahinya.
"Mas? Kok diam saja? Apa Mas begitu menginginkanku sampai Mas terpesona
begitu? Menatapku tanpa sepatah katapun terucap dari bibirmu?" tanya Sekar,
menyentak Hadi dari selama beberapa saat tenggelam dalam keheningan.
Hadi tidak menjawab. Hanya jemarinya yang kemudian bergerak membelai rambut
Sekar, meraih beberapa helai, lalu menciumnya. Matanya terpejam merasakan
aroma wangi yang berasal dari rambut istrinya.
Melihatnya, Sekar langsung mengerti bahwa suaminya memang sangat
menginginkannya. Tak tega rasanya melihat suaminya nelangsa.
"Umm... Mas...," panggil Sekar ragu.
"Hmm?" jawab Hadi yang masih terus menikmati aroma rambut Sekar.
"Apa... Mas mau aku... aku...." Mendadak Sekar terbata. Entah apa sebabnya.
"Apa, Sayang? Kenapa jadi terbata-bata begitu, hmm?" tanya Hadi yang kini
tak lagi menciumi rambut Sekar.
Sekar menghela napas sejenak, lalu beringsut, mendekatkan bibirnya ke
telinga Hadi.
"Kalau Mas memang begitu menginginkanku, apa Mas mau aku..." bisiknya,
sedikit malu, sampai ia tak mampu meneruskan kalimatnya itu. Wajahnya kini
memerah.
Ia tak terbiasa begitu, hanya saja, melihat suaminya terlihat nelangsa, ia
memberanikan diri berinisiatif seperti itu.
Hadi langsung menangkap maksud istrinya, sekaligus menangkap rona istrinya
yang mendadak berubah merah merona. Ia tersenyum melihatnya.
"Tidak perlu, Sayang."
Hadi beringsut. Kini giliran dirinya yang mendekatkan bibir ke telinga
iatrinya.
"Sensasinya beda," sambungnya, sambil mengerling nakal. Lalu sebuah kecupan
mesra ia hadiahkan di pipi istri tercintanya.
Sekar semakin merona, lalu membenamkan wajah di dada suaminya. Malu sekali
rasanya. Tapi di sisi lain, ia bersyukur karena Hadi tak mengiyakan
usulannya. Andai saja iya, ia tak tahu harus bagaimana, harus mulai dari
mana. Ia tak begitu berpengalaman soal yang satu ini.
Kini giliran Hadi yang tertawa geli melihat tingkah istrinya.
"Kamu menggemaskan sekali," katanya, sedikit tertawa, membuat Sekar semakin
membenamkan kepalanya.
"Tenang saja, aku sudah tidak apa-apa. Aku akan sabar menjalani puasa ini.
Tapi siap-siap, ya. Lihat balas dendamku saat aku sudah pulih nanti," kata
Hadi, genit sekali.
Mendengarnya, Sekar langsung menghujani pinggang Hadi dengan sebuah
cubitan. Kali ini cukup kencang, sehingga Hadi mengaduh dan berteriak
karenanya.
"Do ngopo jane to bocah loro kuwi," gumam Kanjeng Ibu yang kebetulan lewat
depan kamar mereka, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, bertanya-tanya
apa yang tengah dilakukan keduanya.
Sedang Sekar Hadi, mata keduanya kini mulai terpejam, dengan posisi Sekar
yang masih menjadikan lengan Hadi sebagai bantal, hingga keduanya
benar-benar terlelap dengan rasa cinta di dada keduanya yang semakin meluap.
Di luar, temaram bulan dari bulan bulat tanggal 15 tampak begitu
menakjubkan. Ini berarti, bertambah 1 purnama lagi kebersamaan Sekar dan
Hadi menjalani bahtera pernikahan.
Mereka berdua memang bagaikan sinar bulan dan pekatnya langit malam, sangat
berbeda, namun saling melengkapi dan menguatkan. Seperti yang pernah
dikatakan Hadi saat Sekar gundah gulana, bukankah sinar bulan hanya akan
tampak menawan jika berada di pekatnya langit malam? Begitu juga dengan
hitam pekat langit malam yang tak lagi terasa menakutkan dengan adanya
sinar terang si bulan.
Hadi yang sudah matang usianya yang selalu sabar membimbing Sekar dengan
usianya yang belia. Hadi yang bijaksana, yang berhasil membuat Sekar yang
awalnya sering gundah gulana lantaran ketidakpercayaan dirinya menjadi
sosok Sekar yang berbeda. Sekar dengan samudera kesabarannya yang berhasil
menuntun suaminya kembali menemukan lentera hidupnya saat Hadi sempat
depresi karena keadaannya. Meski dalam prosesnya, selalu ada linangan
airmata. Ah, jangan lupakan juga Hadi yang tak sedikitpun mematahkan atau
menganggap remeh mimpi istrinya untuk mencoba berbisnis sendiri, meski Hadi
adalah orang yang sudah lama bergelut di bidang ini.
Bukankah ini indah? Sebuah romantisme nyata dalam hubungan cinta 2 anak
manusia. Romantisme yang jauh lebih tinggi levelnya dari sekadar romantisme
kata-kata cinta.
Maka memang begitulah seharusnya ikatan pernikahan berjalan; untuk
memajukan, bukan mengekang, untuk melejitkan potensi, bukan membatasi.
**********
Jalan Urip Sumoharjo, Klitren, Gondokusuman, Yogyakarta atau yang populer
dengan sebutan jalan Solo memang dikenal sebagai area pertokoan padat,
mulai dari toko sepatu dan tas, hingga toko-toko kain kiloan super murah.
Jalan satu arah membuat jalan ini tidak pernah sepi. Untuk sekadar
menyeberang saja akan sulit sekali.
Sekar memarkir motornya di depan Superindo, salah satu pusat perbelanjaan
di area itu, lalu kemudian menyeberang, menyusuri beberapa toko kain yang
ada di sana. Ia memang ingin mencari kain untuk project pertamanya.
Masuk di sebuah toko kain kiloan, Sekar tak langsung memilih kainnya. Ia
justru mengedarkan pandangan, menikmati detil demi detil kain-kain yang
terhampar di hadapannya. Perlahan, jemarinya menyentuh gulungan kain
berwarna pale turquoise, salah satu jenis warna biru, warna yang ia suka.
Ia tersenyum. Hadi pernah memberitahunya tentang filosofi selembar kain
saat hatinya pernah kembali didera rasa tak yakin.
"Kamu tahu filosofi kain, Sayang? Sejatinya kita ini seperti selembar
kain," kata Hadi kala itu, beberapa hari setelah ikrar cinta itu mengikat
keduanya.
Tak ada kata terucap. Sekar hanya menjawab dengan gelengan kepalanya.
"Sebelum menjadi sebuah pakaian yang indah, banyak hal menyakitkan yang
harus dialami oleh selembar kain. Berkali-kali digunting, berkali-kali
ditusuk jarum. Kadang, ia juga harus menerima saat ia harus disatukan
dengan kain lainnya. Tapi lihatlah, pada akhirnya ia menjadi sebuah
pakaian, menjadi sesuatu yang menawan," jelas Hadi sambil menggenggam
jemari Sekar.
"Begitu juga dengan kita. Adakalanya kita harus merasakan sakitnya
digunting oleh berbagai ujian, juga pedihnya ditusuk hal-hal yang
menyakitkan. Adakalanya pula kita tidak bisa memilih ketika takdir membawa
kita untuk berpasangan dengan siapa, hingga kita hanya bisa nrimo ketika
pada akhirnya dipasangkan dengan orang yang mungkin tak sedetikpun pernah
terlintas di benak kita. Tapi yakinlah, pada akhirnya akan ada keindahan
yang menjelma," imbuh Hadi, sambil tetap menggenggam jemari sosok yang
tengah menunduk di depannya.
"Jangan lagi merasa ragu mendampingiku, Sayang. Aku mungkin bukan orang
yang kamu inginkan, tapi bisa jadi aku adalah orang yang kamu butuhkan.
Seperti kain tadi. Ia tak pernah menyangka akan berpasangan dengan kain
lainnya, tapi pada akhirnya, keindahan tercipta ketika keduanya berpadu.
Aku berharap kita seperti itu."
Sekar masih menyentuh gulungan kain dihadapannya, sembari angannya terus
memutar memori manis saat Hadi memberikan wejangan filosofi kain padanya.
Benar, kini ia memang merasakannya, bahwa wejangan Hadi itu benar adanya.
Menikah dengan Hadi? Tak pernah sekalipun ia menginginkan ini. Bahkan ia
menangis berhari-hari karena Bapak menerima lamaran Hadi. Tapi kini,
sedetikpun rasanya tak sanggup untuk berpisah dengan Hadi.
"Mau yang ini, Mbak?"
Sebuah suara mengagetkannya, membuyarkan lamunannya.
"Sebentar ya, Mbak. Saya lihat-lihat dulu," jawab Sekar kemudian.
Sekitar 30 menit kemudian, Sekar sudah menenteng 2 plastik besar berisi
kain-kain yang dibelinya. Ada warna biru pale turquoise, warna kuning
papaya whip dan lemon chiffon, juga warna hijau dark olive green.
Sekar melihat sekeliling. Jalanan tampak ramai sekali. Ia hampir saja
menyeberang saat sejurus kemudian, ada yang menyentuh lengannya.
"Sekar?" Sebuah suara memanggilnya.
Sekar menoleh. Suara itu berasal dari sosok yang menyentuh lengannya.
Jantung Sekar rasanya berhenti berdetak saat ia tahu siapa yang kini berada
di sebelahnya. Ajeng, sosok yang sejujurnya ia tak pernah ingin bertemu
dengannya. Rasanya ia ingin berlari saja. Sayang, jalanan di depannya masih
begitu ramai dengan para pengendara yang berlomba membunyikan klakson
kendaraan mereka.
"Kamu... apa kabar?" tanya Ajeng. Sekar memalingkan muka dengan
berpura-pura menoleh ke kiri, seolah memastikan laju kendaraan yang lalu
lalang agar ia bisa segera menyeberang.
"Baik, Mbak," jawabnya singkat, tanpa sedikitpun melihat ke arah Ajeng.
Duh, Gusti... kenapa aku harus bertemu perempuan ini? Pasti sebentar lagi
dia akan menanyakan kabar Mas Hadi. Menyebalkan sekali.
"Umm... Mas Hadi... bagaimana?" tanya Ajeng lagi, sedikit ragu dan terbata.
Benar, kan? Dia hanya basa-basi saja menanyakan kabarku. Dia pasti hanya
ingin mengorek kabar Mas Hadi dariku. Sungguh tidak tahu malu.
"Baik juga," jawab Sekar lagi, tak kalah singkat.
Ajeng mendesah. Sejujurnya ia merasa bahwa Sekar sangat tidak ingin bertemu
dengannya, terlihat jelas dari sikapnya.
"Aku baru saja bertemu beberapa kolega di hotel Aston," katanya sambil
telunjuknya menunjuk ke arah hotel yang dimaksud, yang hanya terletak
sekitar 20 meter dari toko kain tempat Sekar berbelanja.
Aku tidak peduli kamu dari mana. Tolong pergilah segera.
"Aku tidak sengaja melihatmu saat tadi. Jadi aku menyapamu. Umm... mau
makan siang bersama?" tawarnya kemudian.
Sekar mendengus perlahan. Ia tidak tahu maksud perempuan ini. Tapi entah
mengapa ada perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba menggelayuti.
"Maaf, Mbak. Saya buru-buru. Mas Hadi membutuhkan saya," kata Sekar, sambil
terus celingukan mencari celah agar bisa menyeberang di jalan super padat ini.
Ajeng menelan ludah.
"Ayolah, Sekar. Sebentar saja. Aku yakin Mas Hadi pasti bisa menunggumu,"
pinta Ajeng.
"Ada rumah makan Madam Tan di lantai lobi gedung ini. Kita bisa makan di
sana," kata Ajeng sambil menunjuk sebuah gedung berlantai 4 yang berdiri
kokoh di belakang mereka, tepat di sebelah toko kain yang tadi dikunjungi
Sekar.
"Baiklah. Sebentar saja," kata Sekar kemudian. Tiba-tiba saja ia ingin tahu
alasan perempuan ini mengajaknya makan bersama.
Keduanya lalu berjalan beriringan, tanpa sepatah katapun terucap. Hening.
Sekar melirik sekilas. Ajeng lagi-lagi tampak menawan dengan balutan celana
hitam panjang, baju putih dengan pita menjuntai di bagian leher yang
dipercantik dengan balutan blazer kecoklatan bermotif kotak-kotak kecil,
motif yang senada dengan tas yang dijinjingnya. Rambutnya tergerai dengan
jepit rambut keemasan. Tubuhnya semakin terlihat semampai dengan heels 15
cm warna kremnya. Sempurna.
Sekar hampir saja menelan ludah melihatnya, namun ia kembali ingat
kata-kata Hadi untuk tak merasa kecil saat melihat Ajeng, sebab Sekar lah
juaranya, yang telah memenangkan hati Hadi sepenuhnya.
Sekar tersenyum, lalu berjalan dengan menegakkan kepala yang sedari tadi
hanya menunduk saja.
Mau sesempurna apapun dirimu, Mas Hadi sudah memilihku, Mbak.
Tanpa ia sadari, ternyata Ajeng juga sempat beberapakali meliriknya. Ajeng
mendesah. Ia menyesal pernah menganggap remeh seorang Sekar.
Ia kira Sekar hanyalah rumput yang bisa ia injak dan remehkan kapan saja.
Namun ia salah. Benar, sekilas Sekar memang seperti rumput. Remeh, berasal
dari bawah, juga tak terlihat. Namun ternyata, ia bukan rumput biasa. Sekar
layaknya bambu yang meski menurut klasifikasinya bambu adalah jenis rumput,
namun bambu adalah rumput yang berbeda karakternya. Tak seperti rumput
lainnya, bambu mampu menjulang tinggi. Akarnya yang kuat, juga tubuhnya
yang lentur, membuatnya kokoh menghadapi kencangnya angin yang menghampiri.
Memang, tubuh lenturnya sering terlihat tergoyah oleh angin, namun bukan
untuk roboh, melainkan ia sengaja gemulai mengikuti angin yang menerpanya
untuk pertahanan dirinya.
Ajeng kembali melirik sosok yang berjalan di sebelahnya. Sosok sederhana,
namun orang tak kan bosan kala memandangnya. Sesosok wajah dengan sepasang
alis yang melengkung cantik sekali, mata bulat dengan kilat berapi-api,
hidung yang cukup tinggi, kulit yang terang alami, juga bibir tipis yang
menghiasi. Pakaiannya biasa saja. Atasan sedengkul bermotif bunga-bunga
merah muda dengan kerut di bagian pinggang dan mengembang di bagian
bawahnya, pashmina polos warna merah muda yang menghiasi wajah lonjongnya,
celana hitam, sepatu girly dengan hak 3 cm yang juga berwarna merah muda.
Namun entahlah, melihatnya, Ajeng merasa Sekar terlihat begitu segar, muda
dan... menggoda. Pesona paripurna si daun muda.
Pantas saja Mas Hadi tergila-gila padanya.
Ajeng berusaha tersenyum untuk menyembunyikan rasa hatinyanya yang mendadak
ciut seketika, saat keduanya memasuki pintu lobi.
"Mbak Pipit?"
Sekar menyapa kasir di rumah makan Madam Tan yang merupakan teman SD Hadi
sekaligus tetangganya. Hanya beda RT saja. Ia lalu menyodorkan sepiring
makanan yang sudah ia ambil untuk dihitung totalnya. Ia mengambil sedikit
nasi, tumis daun pepaya campur teri, juga lauk tempe uyah bawang yang
memang ia sukai.
"Lho, Sekar, kok sampe sini, Nduk?" tanyanya, lalu celingukan ingin tahu
Sekar bersama siapa.
"Kamu dewean to?" tanyanya, saat ia tak melihat siapa-siapa.
"Aku tadi lihat-lihat kain di toko kain kiloan sebelah situ, Mbak. Lalu
tidak sengaja bertemu teman yang mengajakku makan siang di sini," jelasnya.
Namun tiba-hati dadanya terasa sesak. Teman? Yang benar saja. Tapi tak
mungkin ia menceritakan siapa Ajeng sebenarnya.
"Oh, yo wis. Sik ya, tak itunge."
Petugas kasir itu lalu menghitung harga makanan Sekar. Ia tersenyum. Ia
mengenal Sekar sejak Sekar masih belia. Keduanya lalu dekat, bersahabat.
Bahkan hingga kini Sekar sudah diperistri seorang juragan kaya, Sekar
tetaplah Sekar yang dahulu dikenalnya.
Menit demi menit berjalan, kini Sekar dan Ajeng duduk berhadapan. Tak ada
kata yang terucap, namun jelas keduanya digelayuti rasa tidak nyaman.
"Mas Hadi... sudah bisa berjalan?" Ajeng membuka percakapan.
Gusti... tidak bisakah kamu menanyakan hal lain selain Mas Hadi dan Mas Hadi?
"Mas Hadi masih harus terapi," jawab Sekar, lalu menyuapkan sesendok
makanan ke mulutnya.
"Maaf jika pertanyaanku membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ingin tahu
kabarnya saja," ucap Ajeng, menangkap rona wajah Sekar yang terlihat
sedikit kesal.
"Tidak usah khawatir, Mbak. Mas Hadi aman bersamaku," balas Sekar, sembari
sejenak memberikan tatapan tajam pada Ajeng.
Lalu hening. Keduanya kembali terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing.
"Sekar, aku minta maaf jika selama ini aku terkesan mengganggu kalian,"
ucap Ajeng lagi. Sekar mendengus. Entah mengapa ia merasakan ucapan Ajeng
tak tulus.
Kamu memang sangat mengganggu, Mbak.
Sekar masih terdiam. Sengaja, ia ingin tahu apa yang akan diucapkan Ajeng
selanjutnya.
"Aku sadar tindakanku selama ini salah. Aku... aku takut terjerembab lebih
dalam dalam kubangan dosa. Jadi, aku butuh bantuanmu, Sekar. Tolong bantu
aku," ucap Ajeng, membuat Sekar mengernyitkan dahi karena ia sama sekali
tak mengerti.
Sekar menajamkan pandangannya, meminta penjelasan pada sosok di hadapannya.
Ajeng menghela napas. Jemarinya memainkan gelas di depannya.
"Kamu tahu kan, kalau sudah sejak lama aku memendam rasa pada Mas Hadi?"
tanya Ajeng. Sekar hanya menjawabnya dengan sebuah lirikan, meski hatinya
terus saja berkomentar.
Iya aku tahu, tapi aku tidak peduli.
"Kamu pasti sangat mencintai Mas Hadi, ya?" imbuh Ajeng lagi, membuat
kekesalan di hati Sekar bertambah setumpuk lagi.
"Tentu saja. Tidak perlu ditanyakan lagi, Mbak," jawab Sekar, lalu
menyeruput es tehnya.
"Begitu juga dengan cintaku pada Mas Hadi. Cintaku betul-betul sebesar
cintamu padanya."
Kata-kata Ajeng semakin menyulut api di hati Sekar. Sekar hanya diam,
sembari terus meredam gejolak amarah yang kian menjadi merasuki batinnya.
"Dengan cinta sebesar itu, aku yakin kamu tidak akan pernah sanggup untuk
berpisah dari Mas Hadi. Begitupun denganku, Sekar. Aku sudah lama berusaha
mengikhlaskan, tapi aku tidak bisa. Rasa cinta itu justru semakin membesar
saja." Ajeng mulai terisak. Sekar memalingkan muka. Membiarkan makanannya
begitu saja. Beberapa pasang mata mulai memperhatikan mereka.
Seharusnya tidak kuiyakan ajakan perempuan ini.
"Jadi tolong, bantu aku Sekar. Bantu aku untuk mencintai Mas Hadi dengan
cara yang halal." Airmata Ajeng kini benar-benar tumpah.
Gemuruh di dada Sekar kian meluap. Ia sudah tidak sanggup untu menahannya
lebih lama lagi.
"Ijinkan aku menjadi madumu sehingga aku bisa sembuh dari lukaku."
Sendok dan garpu di tangan Sekar jatuh seketika.
(Bersambung)
Tunggu kelanjutannya di part 20 ya.
**********
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar