@bende mataram@
Bagian 36
Pasukan pengawal Gubernur Jenderal Mr. P Vuyst ternyata didesak mundur.
Mayor de Groote gugup. Secepat kilat ia datang menghadap Gubernur Jenderal
Vuyst.
"Pasukan pengawal tak sanggup bertahan," katanya.
"Hm," sahut Gubernur Jenderal. "Kenapa tak sanggup bertahan? Kalau berlagak
mau mengambil kekuasaan VOC sudah tak mampu, bagaimana akan sanggup
mengurusi tanah jajahan yang tersebar luas di bumi kepu-lauan ini? Hai,
jangan sekali-kali lagi bilang sebagai seorang mayor gagah perkasa!"
Didamprat demikian Mayor de Groote berdiri gemeteran. Wajahnya terus
berubah. Mendadak saja ia merampas pistol seorang serdadu dan menyerbu
dengan menghunus pedangnya. Ia mengamuk seperti orang gila. Pedangnya
berputaran seperti kitiran. Sebentar saja tiga orang musuh dirobohkan.
Seregu barisan yang diserbu Mayor de Groote mundur ke barat. De Groote
terus menyerang. Pistolnya kini mulai berbicara. Sepak terjangnya ini
ditiru oleh serdadu-serdadunya. Mereka lantas menyerbu.
Mendadak de Groote melihat sebuah panji-panji bertuliskan VOC
berkibar-kibar di tengah-tengah barisan Dua Belas Majikan. Segera ia
melompat dan menyerang. Dengan sembilan sepuluh tebasan pedang, ia berhasil
merangsak maju. Panji-panji VOC kena dirampasnya. Ia gembira. Cepat-cepat
ia mengundurkan diri sambil membawa panji-panji rampasan.
Diacungkan panji-panji itu di depan Gubernur Jenderal hendak mencari pujian.
"Sudah dapat kurampas! Apa sudah tiba saatnya kita melepaskan tiga kali
tembakan tanda serbuan serentak?" teriaknya.
"Bagus! Kau bisa merampas panji-panji VOC. Tetapi serbuan serentak belum
tiba saatnya. Mereka belum lelah."
De Groote jadi gelisah sendiri. Barisan lawan gusar menyaksikan panji-panji
kebesarannya terampas. Selama malang-melintang di seluruh kepulauan
Nusantara belum pernah sekali juga terampas panji-panji kebesarannya.
Itulah sebabnya mereka lantas saja menyerbu dengan gagah berani. Terdengar
teriakan-teriakan mereka.
"Serbu! Tangkap hidup-hidup Vuyst jahanam!"
Barisan pengawal Gubernur Jenderal P Vuyst kian menipis. Mereka bertahan
mati-matian. Mayor de Groote tertegun sambil menggenggam tongkat
panji-panji erat-erat. Ia belum dapat mengambil keputusan tetap.
Sekonyong-konyong dari arah timur muncullah seorang panglima dengan
mengenakan pakaian perisai. Ia menjengkelit sepucuk senapan. Lantas
menembak. Dan tiang panjipanji VOC yang digenggam Mayor de Groote patah
berantakan.
"Bagus!" seru Gubernur Jenderal P Vuyst.
Sekali lagi si panglima itu menembak. Dan tiang bendera kebangsaan Belanda
runtuh pula. Mayor de Groote kaget. Tetapi Gubernur Jenderal tak
memperhatikan hal itu. la menegakkan kepala. Matanya mencoba menajamkan
penglihatannya.
"Bagus! Penembak jitu. Siapa dia?" Teriaknya nyaring.
Berbareng dengan kata-kata pujian terdengar lagi ia menembak. Dua orang
pengawal yang melindungi Gubernur Jenderal jatuh terjengkang tak bernapas.
Mayor de Groote menggigil cemas.
"Apa kita lepaskan tembakan tanda serbuan serentak?" Mayor de Groote
berteriak. "Sebentar lagi," sahut Gubernur Jenderal P Vuyst.
Terdengar lagi tembakan bersuing. Gubernur Jenderal P Vuyst kaget. Kakinya
kena tembakan dan peluru senapan orang itu menembus perut kuda. Serentak ia
rubuh ke tanah. Kudapun rubuh setelah kedua kaki depannya meninju udara.
Seluruh pasukan pengawal terkejut bukan kepalang. Mereka gusar bercampur cemas.
Tetapi Gubernur Jenderal P Vuyst bangkit kembali. Kemudian memberi
perintah, "Lepaskan tembakan tiga kali, kita menyerbu berbareng."
Dengan perintah itu tembakan tanda serbuan dilepaskan ke udara. Dari balik
gundukan dan dari arah barat muncullah dua pasukan besar, pimpinan perwira
Speelman dan Kapten Doorslag. Mereka menyerbu serempak dengan
teriakan-teriakan dan tembakan-tembakan bergemuruh. Mayor de Groote yang
memimpin pengawal Gubernur Jenderal lantas saja memberi aba-aba maju menyerang.
Diserang dari tiga jurusan pasukan Dua Belas Majikan seketika jadi
berantakan. Mereka tadi sedang menyerbu serentak. Kini mendadak didesak dan
dirangsak dari samping. Keruan saja mereka keripuhan dan mundur sejadi-jadinya.
Panglima yang mahir menembak yang berada di belakang pasukan penyerbu Dua
Belas Majikan, lantas saja berteriak-teriak menghadang, "Jangan kacau!
Bertahan dan serang!"
Tetapi usahanya sia-sia belaka. Dia bahkan kena, diterjang mundur sampai
kudanya berputar-putar berkisar dari tempatnya. Senapannya tak dapat
digunakan lagi. Dia bagaikan sebuah perahu tanpa kemudi lagi dan mau tak
mau terseret-seret arus. Lambat-laun, ia terpisah. Sisa pasukan Dua Belas
Majikan telah lari berserabutan meninggalkan gelanggang.
"Tangkap dia!" perintah Gubernur Jenderal P Vuyst.
Beberapa puluh serdadu berkuda lantas saja mengaburkan kudanya dan
berbareng mendesak. Melihat gelagat buruk panglima itu memutar kudanya dan
lari mengarah ke gundukan Sangaji.
Hebat panglima itu. Sambil melarikan kudanya ia menembak. Tembakannya jitu
tak pernah luput. Itulah sebabnya tujuh delapan serdadu pengejar jatuh
terjungkal dari atas kudanya. Yang berada di belakangnya jadi terhalang.
Mereka terpaksa menyibakkan kudanya dulu, baru mulai mengejar lagi, dengan
demikian panglima itu dapat meloloskan diri.
Sangaji kagum melihat sepak terjang panglima itu. Pandang matanya tak
pernah lepas daripadanya.
Mendadak saja panglima itu menelungkupi punggung kudanya. Ternyata ia kena
tembakan berondongan dari kejauhan. Di kaki gundukan sebelah timur ia
terpelanting dari kudanya dan jatuh terbanting di tanah.
Tubuhnya terus bergulungan dan terbaring di depan Sangaji.
Sangaji terperanjat. Tersentak oleh rasa kagumnya, ia menghampiri. Muka
panglima itu penuh debu. Dadanya berlepotan darah, la terluka parah. Tetapi
ia masih berusaha merang-kak-rangkak sambil tangannya mencabut pedang.
Tubuhnya bergoyang-goyang, matanya bersinar merah. Masih saja ia tampak garang.
"Tolong ambilkan air!" Katanya ketika melihat Sangaji.
Sangaji tertegun. Pikirannya bekerja. Mendadak teringatlah dia air sungai.
Sangaji lantas lari menuruni gundukan menghampiri sungai. Setelah sampai di
tepi sungai matanya celi-ngukan mencari daun. Ia mendapat daun itik.
Cepat-cepat ia menyenduk air dan dibawa hati-hati kepada panglima itu.
"Ini air sungai," katanya.
Panglima itu tak mempedulikan. Air itu disambarnya dan terus diminum. Baru
saja mulutnya
menempel air, darah dari dadanya terkucur membasahi tangan. Lukanya
benar-benar parah. Sedikit saja bergerak, darah terus menyemprotkan. Ia
rubuh di tanah. Wajahnya pucat lesi, tetapi nampak gagah.
Sangaji terperanjat. Tak tahu dia apa yang harus dilakukan. Ia hanya
berjongkok mendekati. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benak. Cepat ia
menanggalkan bajunya dan dibuatnya membebat luka panglima itu.
Panglima itu ternyata seorang Indo Belanda. Namanya Willem Erbefeld.
Ternyata dia salah seorang keturunan Pieter Erbefeld yang berontak melawan
kekuasaan VOC pada tahun 1721 dengan kawannya Kartadriya39)
Beberapa saat kemudian, Willem menyenakkan mata. "Adik kecil ... kaupunya
senjata bidik?" katanya perlahan. "Punya."
"Bagus. Ambilkan aku air lagi."
Sangaji lari kembali ke kali. Ia memetik setangkai daun itik lagi dan
menyenduk air dengan cepat. Setelah sampai, ia menolong meminumkan air.
"Terima kasih, adik yang baik," bisik Willem. "Kau mengorbankan bajumu
untuk lukaku."
Willem kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan segenggam mata uang.
Diulurkan mata uang itu kepada Sangaji. "Adik yang baik, terimalah uang ini
untukmu."
Sangaji menggelengkan kepala. "Aku tak dilarang menerima apa pun juga
sebagai balas jasa." "Siapa yang melarangmu?" "Ibu."
Willem tercengang. Lalu tertawa terbahak-bahak. Tetapi justru dia tertawa
darahnya menyemprot lagi. Berbareng dengan itu didengarnya derap kuda makin
mendekat.
"Adik!" ia terkejut. "Mana senjata bidikmu?"
Sangaji merogoh sakunya dan mengeluarkan katapelnya. Diangsurkan katapel
itu ke Willem. Willem yang tadinya mengharapkan memperoleh senapan, menjadi
lesu melihat katapel. Tetapi ia tertawa lebar.
"Adik yang baik ... aku mau bertempur. Bukan mencari burung."
Sangaji bingung. Tak dapat ia menebak maksud orang itu. Willem lantas saja
tertawa berkakakan.
"Terima kasih, adik. Kau sudah berusaha memenuhi permintaanku. Tetapi
maksudku senjata bidik ialah senapan. Bukan katapel."
"Senapan? Aku tak punya," ujar Sangaji.
Willem sadar akan kekeliruannya sendiri. Pikirnya, mana bisa seorang
kanak-kanak mempunyai senapan. Dia bukan anak kompeni. Mendapat
pertimbangan itu, dia tertawa lagi,
"Ah ... akulah yang salah. Sekarang minggir! Aku akan bertempur melawan
mereka dengan pedang ini."
"Kauluka parah ... tak bisa melawan mereka seorang diri. Kenapa tak
sembunyi saja?" Willem heran oleh usul itu. "Di mana aku bisa bersembunyi?"
Sekarang Sangaji yang terkejut. Ia menyapukan pandangannya. Tidak
dilihatnya seonggok gerumbulan. Tiba-tiba dia teringat akan terowongan air
di dalam sungai. Gap-gap ia berkata, "Di dalam tebing sungai kulihat ada
sebuah terowongan. Mungkin goa ... mungkin pula ..."
Willem lantas saja bangkit. Ia harus mengambil keputusan cepat. Bertempur
dalam keadaan luka, tanpa senjata pula adalah tidak mungkin. Lawan begitu
banyak jumlahnya. Satu-satunya yang harus dilakukan ialah bersembunyi.
"Baik. Kuserahkan nyawaku padamu, adik yang baik. Tunjukkan tempatnya!"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar