4.08.2019

@bende mataram@ Bagian 25




@bende mataram@
Bagian 25


"Tentang nasib anak-isteri Wayan Suage, serahkan kepadaku. Aku akan
mencarinya sampai ketemu, biar pemuda itu bersembunyi di ujung langit.
Itulah dasar syarat kedua."


"Eh ... jadi kita berdua kausuruh mencari anak-isteri Made Tantre sebagai
syarat pertaruhan?"


"He-e."


"Siapa yang lebih dulu berhasil, dia yang menang. Begitulah maksudmu?"


"Baru separoh menang," ujar Hajar Karang¬pandan dengan tersenyum. "Sebab
kalau hanya bertaruh macam begitu, adalah pekerjaan yang mudah. Tetapi yang
separoh lagi, itulah baru bernapas pertaruhan sejati."


"Apa itu?" Jaga Saradenta dan Wirapati berseru berbareng.


"Hai… itulah syarat ketiga. Dengarkan kujelaskan. Seperti kalian ketahui,
Wayan Suage dan Made Tantre masing-masing mempunyai seorang anak laki-laki.
Anak mereka masing-masing dibawa lari kedua bangsat itu yang mempunyai arah
bertentangan. Aku akan mendidik dan mengajar anak Wayan Suage yang
dilarikan oleh si pemuda jempolan. Dan kalian berdua mendidik dan mengajar
anak Made Tantre. Mah, bagaimana?"


Jaga Saradenta dan Wirapati ternganga keheranan. Mereka belum dapat
menangkap maksud Hajar Karangpandan. Maka mereka berdua membungkam mulut.


"Kita menunggu waktu sampai dua belas tahun lagi," kata Hajar Karangpandan
meneruskan. "Anak mereka kini sudah berumur kurang lebih tujuh tahun. Jadi
dalam masa dua belas tahun lagi, mereka sudah berumur 19 tahun. Cukuplah
sudah kita golongkan orang-orang dewasa. Mereka berdua kemudian kita ajak
ke mari. Ke tempat ini. Kita mengundang pula orang-orang gagah pada jaman
ini sebagai saksi. Kemudian mereka berdua kita adu. Di saat itulah kita
bisa mengambil keputusan, siapa di antara mereka berdua yang menang. Kalah
dan menangnya ma¬sing-masing samalah juga kalah dan me¬nangnya kita bertiga."


"Mengapa bukan kita yang bertempur?" dengus Wirapati.


"Kalau kita bertempur, jumlah kita berlebih seorang. Seumpama kalian berdua
memenangkan aku, itupun bukan suatu kemenangan terhormat. Sebab jumlah
kalian lebih banyak. Sebaliknya kalau aku memenangkan kalian, juga bukan
suatu kemenangan yang mentereng. Sebab setelah dua belas tahun Gelondong
Jaga Saradenta sudah jadi orang pikun. Sedangkan si anak-muda, sudah
sewajarnya aku menang karena umurku jauh lebih tua dan berpengalaman."


"Kaubilang sampai mampus, apa maksudmu?"


"Kalau kalian tidak sungguh-sungguh mendidik dan mengajar anak Made Tantre,
maka orang-orang gagah di kolong langit ini akan kusuruh mencincang kalian
berdua sampai mampus. Mayat-mayatmu akan kulemparkan ke kali itu. Nama
kalian kusuruh menyoraki dan menghapuskan dari ingatan setiap orang. Nah,
jadi setan pun kalian tak punya tempat."


Wirapati tercengang-cengang, sedang Jaga Saradenta tertawa cekakakan karena
geli dan mendongkol. Tapi mereka sudah berjanji akan patuh dan mentaati
setiap kata-kata Hajar Karangpandan yang sudah diputuskan. Maka mereka tak
berdaya sedikitpun untuk meringankan atau mengurangi.


"Kurangajar! Kau licin seperti belut!" maki Jaga Saradenta kemudian. "Kau
cuma melepaskan beberapa patah kata-kata ugal-ugalan dan kau memaksa kami
berdua memeras keringat selama dua belas tahun. Ini gila."


Wajah Hajar Karangpandan berubah. Memang ia bisa merasakan kebenaran ujar
Gelondong Jaga Saradenta. Tetapi ia harus mengatasi kesan itu, demi menebus
dosa kepada kedua sahabatnya. Maka ia tertawa panjang dengan pandang menghina.


"Mengapa kamu tertawa? Mana yang lucu?" damprat Jaga Saradenta.


"Bagaimana aku tidak tertawa. Meskipun aku belum pernah berkenalan dengan
kalian, tapi telah lama kudengar nama kalian yang harum. Wirapati, murid
keempat Kyai Kasan Kesambi Gunung Daman Tiap orang tahu ketenarannya. Jaga
Saradenta Gelondong Segaluh, bekas perajurit Pangeran Mangkubumi. Tiap
orang tahu pula kegagahannya. Tak tahunya, hari ini Tuhan mempertemukan aku
dengan kalian. Kulihat ketenaran nama kalian yang gagah-agung-mulia, sama
sekali tak cocok dengan ... hi hi hi ... ha ha ha ..."


Gelondong Jaga Saradenta kena dibakar hatinya. Darahnya lantas saja panas
mendidih. la menggempur tanah, tatkala hendak membuka mulut. Hajar
Karangpandan mendahului, "Orang gagah sejati akan memandang enteng setiap
janji yang telah diucapkan. Pengorbanan jiwa, bukanlah suatu soal untuk
kebajikan. Gajah Mada, Narasuma, Sawung Galing, Mundingsari, jayaprana,
Trunajaya, Untung Surapati, Hasanudin, mereka semua adalah orang-orang
gagah yang bersedia mengorbankan nyawa untuk suatu kebajikan. Mengapa kita
yang hidup di atas bumi tempat mereka hidup tidak menerima warisan
sedikitpun juga? Ini mengherankan! Barangkali karena hati kita ini sekerdil
katak bangkotan."


Wajah Jaga Saradenta menjadi pucat. Begitu juga Wirapati. Tubuhnya
menggigil seperti menahan arus air. Sejurus kemudian mereka menundukkan kepala.


"Kau benar. Memang aku bangsa kerdil. Baiklah kucoba kebajikan ini. Kalau
di kemu¬dian hari aku menang bertaruh, itulah nasib baik." Kata Jaga
Saradenta galau.


"Perkataan seorang laki-laki sejati!" sahut Hajar Karangpandan cepat. la
menjadi gembira karena merasa menang. Kemudian berpaling ke Wirapati.
"Selesailah sudah perjanjian ini. Kau bagaimana, anak muda?"
Wirapati mengangguk.


"Bagus. Cuma aku ingin bicara sepatah kata lagi." Hajar Karangpandan
mengesankan. "Di antara kita bertiga, hanya kita berdua yang pernah melihat
kedua pusaka Pangeran Semono."


"Mengapa hal itu dibicarakan juga?" potong Wirapati tak senang. "Biar orang
menghadiahkan pusaka itu kepadaku, tak sudi aku menerimanya."


"Aku tak menuduh buruk kepadamu. Sekiranya kamu mau merampas, pastilah
sudah berada dalam genggamanmu. Itu aku tahu. Cuma aku ingin titip sepatah
kata. Seumpama nasibmu bagus dan pada suatu hari kautemukan kedua pusaka
Bende Mataram dan keris Kyai Tunggulmanik, berjanjilah kepadaku kalau kedua
pusaka itu harus kauberikan kepada kedua anak-anak asuhan kita. Siapa yang
pantas memiliki Bende Mataram dan siapa pula yang pantas memiliki keris
Kyai Tunggulmanik, bukanlah soal."


"Aku berjanji."


"Nah, tak usah kita pikirkan pusaka itu lagi. Kita berpisahan di sini.
Ingat! Dua belas tahun lagi kita bertemu di tempat ini," kata Hajar
Karangpandan. la berdiri dan mendadak melesat pergi.


"Ayo kita pergi," ajak Gelondong Jaga Saradenta. "Lebih cepat kita cari,
lebih baik."


"Biarlah kususul dia seorang diri," sahut Wirapati.


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar