@bende mataram@
Bagian 32
Mereka yang berkuda cepat-cepat meloncat dari atas kudanya. Semuanya lantas
mendekat dan berdiri hormat.
"Pangeran Bumi Gede?" pikir Sapartinah. "Siapakah dia!" ia mencoba
menebak-nebak.
"Gusti. Sebenarnya hambamu patut dihukum," kata orang itu. "Tapi kami
mendapat perintah Gusti Patih Danurejo untuk mengejar seorang perusuh yang
menyusup ke Istana Kepatihan."
"Hm. Siapa jahanam itu?" sahut si pemuda yang ternyata adalah Pangeran Bumi
Gede.
"Menurut laporan, orangnya bukan sembarangan. Dengan seorang diri dia
merusak istana dan menggempur penjagaan. Ia lenyap dengan tiba-tiba. Kata
orang, ia lagi mencari seseorang."
Mendengar ucapan orang itu, Pangeran Bumi Gede terkesiap. Ia menduga
sesuatu. Jangan-jangan salah seorang dari kawanan rombongan penari telah
mengenal dirinya. Kemudian salah seorang memasuki kota hendak membalas dendam.
"Kami menduga barangkali kaki-tangan raja ," kata orang itu menambahi.
"Karena itu atas ijin Gusti Patih kami menggunakan pasukan berkuda
kepatihan atas nama raja."
Mendadak terdengarlah derap kuda berputaran. Orang itu menoleh. Ia
terkesiap . Dilihatnya salah seorang meloncati kuda dan hendak melarikan diri.
"Celaka! Itu si Wongsokaryo."
"Siapa dia?"
"Sudah lama hamba curiga. Dia mata-mata Pangeran Natakusuma, mungkin pula
kaki-tangan Ratu Kencono Wulan. Ah, pengkhianat! Setelah mendengar
pembicaraan kita ini, dia akan mengadu kepada majikannya. Bukan mustahil
kepada Sri Sultan juga. Celaka!" orang itu berbicara gopoh setengah
mengeluh. Kemudian dengan tergagap-gagap memberi perintah kepada
pasukannya. "Kejar! Tangkap!"
Mendengar perintahnya, seluruh pasukan berkuda jadi sibuk. Karena yang
dikejar sudah berada sepuluh langkah jauhnya, mereka jadi kelabakan.
Lakunya tergopoh-gopoh dan melompati kudanya asal jadi. Untung tadi, kuda
si pelari bukan kuda jempolan. Kalau tidak, mana mungkin mereka mengejarnya.
"Ih, pasukanmu belum teratur. Bagaimana kalian berani memusuhi raja!" Kata
Pangeran Bumi Gede dengan tenang. Orang itu tak berani membuka mulut.
"Biarlah kutolong!" kata Pangeran Bumi Qede, karena dia merasa
berkepentingan pula. la menjejak kudanya sambil memeluk Sanjaya erat-erat.
"Sanjaya! Lihat, bagaimana aku menghajar seorang jahanam."
Kudanya meloncat, karena terkejut dua puluh langkah dia berderap. Tongkat
rahasianya dicabut. Tahu-tahu dengan suatu gerakan aneh ia menjepret. Orang
yang melarikan diri jatuh terjungkal dari atas kudanya.
Seluruh pasukan berkuda terkejut sampai mulutnya melongo. Mereka lantas
berhenti serentak.
"Mengapa berhenti? Kepung! Kepung!" teriak si pemimpin pasukan dengan
membanting-bantingkan kakinya.
Sapartinah kagum menyaksikan kegesitan Pangeran Bumi Gede. Diam-diam ia
memuji dalam hati, hebat, gagah pemuda ini. Dan tanpa disadari sendiri, ia
menarik kendali ku¬danya dan maju menyongsong. Ia sadar waktu sudah berada
di depan Pangeran Bumi Gede. Cepat-cepat ia membelokkan perhatiannya kepada
Sanjaya.
"Semestinya kamu ikut Ibu!" Kata Sapar¬tinah pura-pura menyesali.
Pangeran Bumi Gede tersenyum. Sahutnya mewakili si anak, "Dia seorang
laki-laki. Sudah sepantasnya dia mengikuti jejak seorang laki-laki. Begitu
kan, Nak?"
Sanjaya tak dapat menyatakan perasaan hatinya. Tetapi matanya
berkilat-kilat menerjemahkan isi lubuk hatinya.
Sapartinah berbesar hati menyaksikan anaknya mempunyai benih keberanian.
Tapi justru teringat hal itu, ingatannya melayang kepada ayah si bocah.
Wajahnya lantas saja berubah.
Pada saat itu, pasukan berkuda sibuk merubung orang yang jatuh terjungkal.
Mereka kaget berbareng kagum. Orang itu ternyata telah mati terjengkang. Di
antara mereka lan¬tas mendatangi pemimpinnya dan melaporkan keadaan si pelari.
"Bagus! Bawa dia masuk ke kota! Laporkan kepada Gusti Patih, dia ditewaskan
si perusuh yang memasuki istana."
Yang diberi perintah membungkuk hormat dan memutar kudanya.
Bulu kuduk Sapartinah mendadak menggeridik sendiri. Tak dapat ia menelaah
peristiwa pada sore hari itu. Tetapi hatinya merasa seperti melihat suatu
permainan kotor dan licik. Permainan apa itu, ia tak mengerti. Karena itu
ia diam.
Orang yang memimpin pasukan berkuda itu bersikap tambah hormat kepada
Pangeran Bumi Gede.
"Gusti. Hamba ingin membicarakan keadaan negeri."
Pangeran Bumi Gede tersenyum. Ia mem¬ber] isyarat dengan mengerlingkan mata
kepa¬da Sapartinah.
"Tak ada waktu aku mendengarkan segala tetek-bengek. Aku ingin cepat pulang
ke Bumi Gede. Apa malam ini aku bisa menginap di suatu kelurahan?"
Orang itu mengerti maksud Pangeran Bumi Gede.
"Tentu, tentu! Mengapa tidak? Kami akan ..."
"Nah! Pergilah kalian menangkap jahanam itu. Dia sudah lama membuat
susahku. Sekiranya memungkinkan tangkaplah hidup-hidup. Kalau melawan
kalian tahu cara menyelesaikannya. Aku senang, jahanam itu kaubayarkan
kepadaku untuk jasaku tadi."
Sehabis berkata begitu, ia memutar kudanya dan mengajak Sapartinah
meninggalkan pasukan berkuda. Kini perjalanan mereka mengarah ke timur.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar