MINGGU, 21 SEPTEMBER 2014 | 00:37 WIB
Kabinet
Putu Setia
Kaget juga saya ketika dipanggil Romo Imam untuk membicarakan masalah pekerjaan. Mau bekerja apa lagi sudah tua begini? Ternyata yang dimaksudkan adalah rencana anaknya yang akan membuat percetakan kecil-kecilan dan pembuatan papan nama. "Begitu Jokowi dilantik sebagai presiden, usaha ini akan kebanjiran order," kata Romo.
Saya biarkan Romo menjelaskan lebih gamblang. "Jokowi sudah mengumumkan struktur kabinetnya. Beberapa kementerian berganti nama dan ada kementerian baru. Semua ini mempengaruhi hal-hal kecil tetapi besar biayanya. Papan nama semua sekolah berganti huruf. Dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Di Bali ada dua ribuan desa, kalau di setiap desa ada tiga sekolah dasar, itu sudah berapa ribu papan nama berganti."
"Tapi kan tak harus ganti, Romo, tinggal dihapus dan ditulis ulang," kata saya seadanya. Romo tertawa: "Papan namanya sudah rusak terlalu sering diganti. Dulu Departemen Pendidikan Nasional, lalu Kementerian Pendidikan Nasional, terus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan."
Saya baru sadar ada hal sepele begini. "Surat-menyurat pasti diganti pula. Kop surat, amplop, map, kuitansi, juga kartu nama para guru," kata Romo. "Cetak-mencetak yang kecil ini tak praktis di percetakan besar. Pasti yang dicari percetakan dengan mesin kecil. Ini baru satu kementerian. Belum lagi kementerian baru seperti Kementerian Agraria. Berapa juta brosur akta transaksi tanah harus dibuat ulang untuk mengganti Badan Pertanahan Negara menjadi Kementerian Agraria. Wow, bisnis yang menguntungkan."
"Apakah Jokowi tak menghitung biaya ini?" saya bertanya. Romo menjawab, "Saya kira Jokowi terlalu idealis sehingga lupa hal-hal kecil. Bahkan dia juga lupa betapa sulitnya menyusun kabinet dalam sistem politik di Indonesia di mana partai-partai berjuang untuk kekuasaan dan bukan berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Jokowi boleh berkata: jangan pisahkan saya dari rakyat, akan menjadi presiden rakyat dan seterusnya. Tapi kenyataan yang sudah dan akan dia hadapi lain. Dia adalah presidennya partai, karena partai yang mendukungnya dan partai pula yang menentukan apakah programnya untuk rakyat berjalan atau tidak. Parlemen itu kan perpanjangan partai."
Karena Romo sudah "berpolitik", saya lebih baik diam. "Jokowi merampingkan kabinet saja gagal. Koalisi tanpa syarat juga gagal karena partai sudah dijatah 16 menteri. Rangkap jabatan menteri dengan pengurus partai pun bisa gagal. Muhaimin Iskandar dan Puan Maharani sudah jelas menolak. Mau melawan Muhaimin ya pasti riskan, kalau dia ngambek, kekuatan Jokowi di parlemen makin ambruk. Justru Jokowi harus merangkul partai di seberang untuk memperkuat parlemen dan untuk itu iming-imingnya apalagi kalau bukan kursi menteri. Bagaimana bisa bilang tanpa syarat? Di negeri ini, syarat dan ketentuan berlaku."
Romo tertawa dan saya hanya tersenyum. "Jokowi lebih baik bicara soal penghematan yang riil. Misal, enggak usah beli mobil baru untuk menteri, memangkas perjalanan dinas dan rapat menteri. Iritlah bicara soal figur menteri, nanti bisa jadi bumerang. Untuk bicara profesional pun saya pikir tak usah diteruskan. Kriterianya sulit. Ada bankir sukses ternyata insinyur elektro. Ada wartawan profesional ternyata lulusan institut pertanian dengan skripsi tahi kambing untuk pupuk. Apalagi profesional partai, ini istilah mengada-ada. Jokowi lebih baik membangun komunikasi dibanding terjebak istilah-istilah sesaat."
Saya terus diam dan menduga Romo lupa kenapa saya datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar