Rabu, 10/09/2014 09:19 WIB
Kasus Bioremediasi Chevron
Hakim Ad Hoc MA: Tidak Membayar Makan di Restoran Apa Korupsi?
Andi Saputra - detikNews
Leopold Luhut Hutagalung (dok.detikcom)
Jakarta - Hukuman kepada Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) Ricksy Prematuri mengundang kegelian hakim ad hoc pada Mahkamah Agung (MA), Leopold Luhut Hutagalung. Menurut Leopold, logika hakim dalam menghukum Ricksy melompat-lompat.
GPI merupakan rekanan dari PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI). Saat itu, PT CPI melakukan kontrak dengan negara untuk melakukan bioremediasi yang dilaksanakan PT GPI. Anehnya, PT GPI sebagai rekanan malah dituduh korupsi.
"Judex factie (Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi Jakarta) telah melakukan lompatan-lompatan logika yang menyimpangi asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara pidana itu," ucap Leopold dalam salinan putusan kasasi yang didapat detikcom, Selasa (10/9/2014).
Dalam halaman 212 itu Leopold memisalkan logika lompat tersebut dalam sebuah cerita orang makan di restoran yang tidak membayar. Dalam bon kuitansi makanan, terdapat komponen pajak yang harus ditanggung oleh pemesan makanan--di luar harga makanan. Sehingga apabila tidak membayar makan tersebut, maka pemesan makanan tersebut telah korupsi karena tidak pula membayar pajak yang ada di kuitansi tersebut. Hal itu juga berlaku saat masyarakat lalai membayar rekening telepon atau PAM.
"Demikian juga setiap orang yang lalai membayar rekening telepon atau PAM atau tidak membayar pada waktu makan di restoran akan dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi karena dalam tagihan tersebut ada komponen pajak penjualan yang merupakan hak negara," cetus Leopold.
Atas logika itu, Leopold pun menolak menghukum Ricksy dan memilih membebaskannya. Namun apa daya, suara Leopold kalah suara dengan hakim MS Lumme dan ketua majelis Dr Artidjo Alkostar dalam sidang yang diputus pada 10 Februari 2014. Alhasil, Ricksy pun harus menjalani hidup di penjara selama 5 tahun dan PT Green Planet Indonesia (GPI) harus membayar denda USD 3 juta.
"Bahwa penegakan hukum akal-akalan sepert ini justru dapat dianggap melakukan korupsi kekuasaan. Bahwa oleh karena itu, judex factie jelas-jelas telah salah menerapkan hukum UU No 31/199 jp UU 20/2001," ujar Leopold.
-- Kasus Bioremediasi Chevron
Hakim Ad Hoc MA: Tidak Membayar Makan di Restoran Apa Korupsi?
Andi Saputra - detikNews
Leopold Luhut Hutagalung (dok.detikcom)
Jakarta - Hukuman kepada Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) Ricksy Prematuri mengundang kegelian hakim ad hoc pada Mahkamah Agung (MA), Leopold Luhut Hutagalung. Menurut Leopold, logika hakim dalam menghukum Ricksy melompat-lompat.
GPI merupakan rekanan dari PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI). Saat itu, PT CPI melakukan kontrak dengan negara untuk melakukan bioremediasi yang dilaksanakan PT GPI. Anehnya, PT GPI sebagai rekanan malah dituduh korupsi.
"Judex factie (Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi Jakarta) telah melakukan lompatan-lompatan logika yang menyimpangi asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara pidana itu," ucap Leopold dalam salinan putusan kasasi yang didapat detikcom, Selasa (10/9/2014).
Dalam halaman 212 itu Leopold memisalkan logika lompat tersebut dalam sebuah cerita orang makan di restoran yang tidak membayar. Dalam bon kuitansi makanan, terdapat komponen pajak yang harus ditanggung oleh pemesan makanan--di luar harga makanan. Sehingga apabila tidak membayar makan tersebut, maka pemesan makanan tersebut telah korupsi karena tidak pula membayar pajak yang ada di kuitansi tersebut. Hal itu juga berlaku saat masyarakat lalai membayar rekening telepon atau PAM.
"Demikian juga setiap orang yang lalai membayar rekening telepon atau PAM atau tidak membayar pada waktu makan di restoran akan dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi karena dalam tagihan tersebut ada komponen pajak penjualan yang merupakan hak negara," cetus Leopold.
Atas logika itu, Leopold pun menolak menghukum Ricksy dan memilih membebaskannya. Namun apa daya, suara Leopold kalah suara dengan hakim MS Lumme dan ketua majelis Dr Artidjo Alkostar dalam sidang yang diputus pada 10 Februari 2014. Alhasil, Ricksy pun harus menjalani hidup di penjara selama 5 tahun dan PT Green Planet Indonesia (GPI) harus membayar denda USD 3 juta.
"Bahwa penegakan hukum akal-akalan sepert ini justru dapat dianggap melakukan korupsi kekuasaan. Bahwa oleh karena itu, judex factie jelas-jelas telah salah menerapkan hukum UU No 31/199 jp UU 20/2001," ujar Leopold.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar