@bende mataram@
Bagian 229
Halus dan cukup sopan kata-kata pendekar Lumbung Amiseno. Tetapi dibalik
itu terasa, betapa dia mengadakan desakan tajam. Suryaningrat yang berdarah
panas karena usianya masih muda, lantas saja menjawab dengan lantang.
"Paman Lumbung Amiseno! Menurut pengakuan Paman sendiri, kedudukan kami
berlima adalah sederajat serta setingkat dengan paman sekalian. Karena itu,
tak usahlah Guru kami bersusah payah menjawab pertanyaan dan permintaan
Paman. Cukuplah kami, Suryaningrat, murid termuda guru kami, Kyai Kasan
Kesambi."
"Eh! Engkau hendak berkata apa?" damprat pendekar Watu Gunung yang merasa
diri ber-usia lebih lanjut.
"Kakakku seperguruan Wirapati, memang telah datang kembali ke perguruan
setelah menghilang dua belas tahun lamanya. Tetapi alasan kepergiannya
bukanlah karena hendak merebut atau karena ingin memiliki pusaka Bende
Mataram. Selama hidup, kami semua memperoleh didikan dan diasuh Guru.
Meskipun bodoh, namun tak berani membohong atau menjual omongan yang
bukan-bukan. Karena itu tenangkan hatimu, bahwa apa yang kukatakan adalah
benar belaka. Mengenai pertanyaan di manakah kini pusaka Bende Mataram
tersebut berada dan asal mula diketemukan pusaka tersebut, memang kakakku
Wirapati mengetahui. Tetapi ketahuilah paman sekalian, bahwa pusaka
tersebut sebenarnya sudah menjadi milik seseorang dan tiada seorangpun di
dunia ini yang berhak memaksa agar menyerahkan dengan begitu saja. Siapa
yang mewarisi pusaka tersebut, terus-terang saja, kakakkupun mengetahui.
Namun sebagai seorang ksatria, tidak akan dia sudi menerangkan. Mengingat
kesan ancaman paman-paman sekalian dan tetamu lainnya. Meskipun dipenggal
kepalanya atau teraduk isi perutnya, kakakku Wirapati pasti takkan mau
membuka mulut. Itulah pernyataan kami."
Dengan jawaban yang cukup lantang, jelas dan terus terang itu, pendekar
sakti Lumbung Amiseno jadi beragu.
Diam-diam hatinya tergetar juga mendengar suara Suryaningrat yang penuh
semangat dan tiada gentar menghadapi segala.
"Hong Wilaheng," tiba-tiba Warok Kudawa-nengpati menyahut, "nampaknya apa
yang dikatakan tiada berdusta. Hm, lalu bagaimana ini cara menyelesaikan?"
Semua tetamu terdiam dengan pikirannya masing-masing. Setelah hening
beberapa saat lamanya. Adipati Pesantrenan Sosrokusumo berkata minta
keterangan.
"Baiklah. Kami sudah mendengar keterangan pendekar Suryaningrat, sekarang
per-kenankan kami bertemu dan berbicara de-ngan pendekar Wirapati yang
manakah orangnya?"
Mendengar pertanyaan Adipati Pesantenan, tetamu lainnya seperti tergugah.
Ya semenjak tadi, mereka belum diperkenalkan dengan anak murid Kyai Kasan
Kesambi yang keempat. Kyai Kasan Kesambi yang semenjak tadi belum melihat
Wirapati, diam-diam seperti diingatkan pula. Tadinya ia mengira, bahwa
muridnya yang keempat itu barangkali sibuk mengurusi pekerjaan belakang.
Tetapi meng-ingat kesibukan di paseban, masakan dia tinggal mendekam di dapur.
Ranggajaya yang selama itu hanya berdiam diri, tampil ke muka dan berkata,
"Terus terang saja, adikku seperguruan Wirapati tiada berada di sini."
"Ha!" gumam sekalian tetamu. Mereka sa-ling memandang dan menggerutu. Di
antara para siswa atau pengiring mereka terdengar suara menuduh.
"Siang-siang dia sudah melarikan diri. Dia seorang pengecut..."
"Apakah salahnya?" Ranggajaya seperti bisa menebak perasaan mereka
masing-masing. "Dunia ini cukup lebar, dan manusia sebagai penghuni dunia
bebas pula bergerak ke mana saja dia hendak pergi. Apakah ada
undang-undangnya melarang seseorang bepergian? Apakah ada
undang-undang yang mewajibkan adikku Wirapati harus menemui kalian? Apakah
ada undang-undang yang mengharuskan adikku Wirapati memberi keterangan dan
meluluskan permintaan kalian? Cobalah katakan! Kami ingin mendengar!"
Ranggajaya selama beberapa tahun belakangan ini sudah pandai berbicara dan
berdebat sebagai suatu kemajuan. Dan begitu mendengar kata-katanya,
sekalian yang hadir terbungkam.
"Bagus! Bagus!" seru Lumbung Amiseno mendongkol. Dalam hatinya, ia mengakui
kebenaran ucapan Ranggajaya. Tetapi masakan kepergiannya kali ini akan
sia-sia belaka? Maka mau tak mau, ia mencoba juga hendak memaksa. Katanya
lagi, "Biara kami bukan dekat. Kau tahu, bahwa kami datang dari jauh.
Apakah jahatnya hendak ikut mendengar tentang berita munculnya pusaka Bende
Mataram? Bukankah pusaka itu bukan pula haknya perseorangan?"
"Menurut kabar, almarhum Resi Buddha Wisnu adalah seorang sakti bagaikan
Buddha sendiri. Anak muridnya pun telah mewarisi seluruh kepandaiannya.
Mengapa mesti memperebutkan suatu warisan pusaka yang belum tentu ada
gunanya. Dengan menggunakan kedua belah tangan saja, paman sekalian sudah
bisa malang melintang ke seluruh penjuru tanah air tanpa tandingan. Karena
itu pernyataan Paman amat mengherankan," kata Ranggajaya menyindir.
Disindir demikian, wajah Lumbung Amiseno berubah menjadi merah. Dengan
sulit ia mem-pertahankan diri.
"Nanti dahulu! Janganlah engkau buru-buru menuduh yang bukan-bukan. Sama
sekali, kami tiada serakah untuk memiliki pusaka Bende Mataram itu. Hal ini
kami lakukan semata-mata untuk memenuhi pesan almarhum guru kami."
Gagak Handaka yang diam memperhatikan keempat pendekar sakti, tiba-tiba
berkata mengejek. "Benarkah ucapanmu?"
"Mengapa tidak?"
"Hm, seumpama adikku Wirapati saat ini memperlihatkan pusaka Bende Mataram
tersebut, benar-benarkah Paman tiada sudi memiliki? Guru Paman sudah lama
menutup mata. Apakah Paman akan memendam pusaka tersebut ke dalam kuburan
guru Paman sebagai pernyataan bakti Paman sekalian?"
Pendek kata-kata Gagak Handaka, tetapi mengenai tepat ke lubuk hati empat
pendekar sakti tersebut. Sekaligus Gagak Handaka tiada percaya akan
kata-katanya yang nampaknya manis merdu. Bahkan dengan halus membuka kedok
mereka sesungguhnya, bahwasanya mereka memang ingin mengangkangi pusaka
Bende Mataram. Dengan arti kata, mereka serakah, tamak dan kemaruk keduniawian.
Keruan saja, Lumbung Amiseno yang selamanya mengagul-agulkan diri sebagai
seorang pendeta dan untuk memperkuat kesan dia selalu mengenakan pakaian
pendeta, bukan main gusarnya mendengar ucapan Gagak Handaka. Karena tiada
tahan menelan ejekan itu, dia menggempur meja. Seketika itu juga, sebuah
meja besar berkaki empat patah berantakan kena gempurannya. Ternyata
tenaganya sangat besar dan mengagumkan, sehingga mengejutkan sekalian tamu.
Kemudian membentak, "Sudah lama kami mendengar ilmu Kyai Kasan Kesambi yang
sakti tiada terlawan. Sudah lama kami mendengar kabar keper-wiraannya dan
kehebatannya. Hanya saja, belum pernah kami membuktikan benar-tidaknya.
Hari ini, biarlah kami mencoba memberanikan diri menguji ilmu Kyai Kasan
Kesambi di hadapan para ksatria di seluruh jagad ini. Mari kita bertempur
menguji diri!"
Mendengar tantangan Lumbung Amiseno, seketika itu juga gemparlah sekalian
yang hadir. Mereka semua tahu, Kyai Kasan Kesambi termasyhur semenjak 60
tahun yang lalu. Dan termasuk salah seorang tokoh utama dari tujuh orang
sakti pada zaman itu. Lawan-lawannya dahulu sebagian besar sudah meninggal
dunia. Betapa tinggi ilmunya, bagi dunia luar hanya tersiar sebagai suatu
berita atau dongeng mengagumkan. Kalau kelima muridnya saja sudah
bisa mengguncangkan dunia, apalagi gurunya. Namun begitu, pertimbangan itu
masih merupakan teka-teki belaka.
Kepandaiannya yang sesungguhnya belum pernah disaksikan sekalian tamu yang
hadir. Kecuali kelima muridnya. Itulah sebabnya tantangan Lumbung Amiseno
terhadap Kyai Kasan Kesambi, membersitkan suatu kegem-biraan dalam hati
mereka masing-masing. Diam-diam mereka berdoa, semoga terjadilah adu
kepandaian itu. Dengan demikian tak sia-sialah kehadirannya dari jauh.
Karena mereka pasti akan menyaksikan cara bertem-pur seorang tokoh wahid
pada zaman itu. Maka dengan tegang mereka melemparkan pandang kepada Kyai
Kasan Kesambi, menunggu-nunggu penentuan sikapnya.
Tak terduga, Kyai Kasan Kesambi hanya tersenyum selintasan. Dia tetap duduk
dengan tenang. Sama sekali tak bersuara atau berniat membalas tantangan
itu, seolah-olah tiada mendengar.
"Ilmu sakti Kyai Kasan Kesambi tiada bandingannya di seluruh dunia. Kami
berem-pat merasa bukan tandingan Kyai Kasan Kesambi," kata Lumbung Amiseno
lagi. "Hanya karena terpaksa, kami mengajukan suatu tantangan. Dalam suatu
pertengkaran antara dua golongan, apabila tiada diselesaikan dengan mengadu
kepandaian, pastilah susah diselesaikan. Nah, marilah kita mulai. Untuk
menghormati Kyai Kasan Kesambi yang kedudukannya berada di atas tingkatan
kami, biarlah kami berempat melawan Kyai Kasan Kesambi berbareng."
Mendengar kata-kata Lumbung Amiseno, para tamu lainnya yang bersikap di
luar garis menggerutu dalam hati, ih, enak benar suara mulutmu. Kau licin
dan licik! Meskipun ilmu Kyai Kasan Kesambi setinggi langit, namun
seseorang yang sudah berusia lanjut belum tentu tahan melawan tenaga persatuan.
Gagak Handaka yang tadi menyalakan api kemarahan Lumbung Amiseno lantas
berkata lantang.
"Hari ini adalah hari ulang tahun guru kami yang ke-83. Bagaimana beliau
boleh bergebrak dengan tetamu..."
Tepat sekali alasan itu. Tetapi bagi tamu yang mengharap-harap jadinya
suatu pertempuran, menuduh dalam hati. Ah, ternyata anak didik Gunung Damar
tak berani meneri-ma tantangan anak-murid Resi Buddha Wisnu...
Di luar dugaan, Gagak Handaka meneruskan kata-katanya, "kalian berkata,
bahwa tingkatan guru kami berada di atas tingkatan kalian. Karena itu,
apabila benar-benar bergebrak melawan kalian, dunia luar akan
mendesas-desuskan suatu berita, bahwa seorang dari angkatan tua mau menang
sendiri dengan menghina angkatan muda. Tetapi anak murid Resi Buddha Wisnu
sudah menantang, terpaksalah anak murid Kyai Kasan Kesambi tampil ke muka.
Sebagai tuan rumah, sudah selayaknya mengiringkan ke-hendak tetamunya.
Kalian berempat, kami pun berempat."
Kembali para hadirin gempar mendengar ujar Gagak Handaka yang gagah berani.
Mereka saling berbisik dan saling meramalkan akhir pertempuran nanti.
Anak murid Resi Buddha Wisnu bukan pendekar-pendekar sembarangan. Mereka
sakti, tangguh dan pandai. Melawan salah seorang di antaranya, belum tentu
menang. Apalagi melawan tenaga gabungan, pikir mereka.
Gagak Handaka bukan pula seorang yang tak tahu melihat gelagat, la tahu
bahwa anak murid Resi Buddha Wisnu bukan merupakan lawan enteng dan
murahan. Dalam hal keuletan dan ketabahan, jauh melebihi semua anak murid
Gunung Damar. Kalau seorang melawan seorang, ia yakin dirinya bisa
memenangkan. Hanya saja ia harus memperhitungkan tenaga Bagus Kempong, yang
baru saja sembuh dari lukanya. Melihat ketangguhan lawan, belum tentu bisa
memenangkan apabila harus memeras tenaga jasmaniah berlebih-lebihan.
Suryaningrat, mungkin tak bisa memenangkan. Tetapi dia bisa mengadu
kegesitan bergerak. Dengan
mengandalkan kegesitannya, pastilah dia takkan bisa terpukul jatuh sampai
dia sendiri dapat membantu.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar