@bende mataram@
Bagian 244
Kini Sangaji mengenal siapa dia, dialah si Setan Kobar yang dahulu pernah
mengancamnya di rumah penginapan dan pernah dihantam pingsan sewaktu lagi
melatih ilmu sakti Kumayan Jati di perbatasan Desa Karang-tinalang.
Sangaji menyesal bukan main. Dalam hatinya ia cemas Setan Kobar terbinasa
olehnya. Sebab bagaimanapun juga, tak perlu ia menggunakan ilmu dahsyat
tersebut, mengingat orang itu terpental pingsan tatkala dia baru melatih
ilmu Kumayan Jati. Pikirnya, benar-benar dahsyat ilmu gabungan ini.
Meskipun dia kini bukan tandinganku, tetapi jatuhnya begini gampang.
Teringat akan pendekar Warok Kudawa-nengpati dan Watu Gunung yang dapat
dipukulnya sekali jatuh, ia memaklumi mengapa Setan Kobar tak berdaya sama
sekali. Maka ia berjanji tak lagi menggunakan pada sembarang orang.
Pikirnya kemudian sambil menerjang yang lain, aku turun gunung hendak
membalas sakit hati Guru. Ilmu yang diwariskan kepadaku, bukankah ilmu
bernilai tinggi pula? Mengapa aku tak menggunakan lagi?
Tengah ia menerjang laskar yang lain, mendadak dari samping muncul dua
orang lagi yang bersenjata golok dan pedang. Mereka adalah Kartawirya dan
Cekatik Gelar Ceker Bebek.
Ia menduga, pastilah Yuyu Rumpung berada pula di sini. Maka dengan sebat ia
menangkap samberan tombak seorang laskar yang menusuk dari depan. Sekali ia
menarik dan orang itu terjungkal ke depan. Waktu itu pedang dan golok
Kartawirya bukanlah tokoh sembarangan— Cekatik sedang menetak padanya.
Cepat ia menendang orang itu ke samping sambil memunahkan pedang dan golok
berbareng dengan ilmu ajaran Wirapati. Jangan disangka ilmu ajaran Wirapati
adalah ilmu lumrah. Di tangan seorang pendekar sakti seperti Kyai Kasan
Kesambi, kedahsyatannya mengerikan orang. Begitu pula, kini Sangaji telah
memiliki ilmu Kumayan Jati yang bertenaga dahsyat.
Maka tiap gerakan jurus ilmu Wirapati jadi mantap dan bertenaga. Itulah
sebabnya, begitu pedang dan golok lawan kena dibuang terus saja terbang ke
udara. Setelah itu dengan suatu kesehatan, Sangaji menyambar tubuh
Kartawirya. lalu dilemparkan. Cekatik kaget bukan main. Mau ia menghindar,
tetapi datangnya tubuh Kartawirya terlalu cepat. Terpaksa ia mengadu
tenaga. Tetapi bagai-mana dia bisa melawan tenaga Sangaji. Begitu kena
bentur, seketika itu juga jatuh terbalik dan terkapar pingsan tak sadarkan
diri.
"hai! Masih saja kamu sekalian mengotot? Apakah ingin kutumpas semua?"
gertak Sangaji kepada yang lain dan terus menyerbu dan menyerang kalang
kabut. Sudah barang tentu laskar Pangeran Bumi Gede bukan tandingannya.
Begitu kena terhajar, mereka lari berkaok-kaok.
Setelah mereka melarikan diri, Sangaji menoleh kepada laskar Ontowiryo yang
masih berkutat mengepung Sanjaya.
"Orang itu biarkan saja seorang diri yang menangkap. Lebih baik kalian
menguber mereka!"
Mereka tadi melihat betapa perkasa pemuda itu. Mereka mengira, pastilah
salah seorang sahabat Pangeran Ontowiryo yang semenjak mudanya senang
bergaul dengan orang luaran. Maka begitu mendengar anjurannya, mereka
lantas mengundurkan diri dan terus memburu laskar Pangeran Bumi Gede yang
melarikan diri.
"Adik Sanjaya! Apakah kau terluka?" kata Sangaji.
Semenjak Sanjaya kena terhajar Adipati Surengpati, ilmu saktinya telah
punah. Kini ia hanya memiliki ilmu ajaran Ki Hajar Karang-pandan belaka.
Sedangkan ilmu sakti ajaran Pringgasakti telah lenyap. Itulah sebabnya
iatak segarang dahulu begitu kena keroyok, meskipun ilmu ajaran Ki Hajar
Karangpandan masih tetap gagah dan tangguh.
Karena sibuk melayani pengeroyokan, ia tak mengetahui munculnya Sangaji.
Baru setelah mendengar jerit Setan Kobar dan kedua orang pembantunya, ia
menoleh. Mula-mula ia mengira
salah seorang lawan pihak Pangeran Ontowiryo yang tangguh. Tetapi manakala
ia mendengar suara Sangaji sewaktu mengger-tak sisa laskarnya, terus saja
ia mengenal. Hatinya lantas menjadi ciut. Ia merasa bukan lagi tandingnya,
setelah kena terhajar. Bahkan gurunyapun dahulu—Pringgasakti—tak mampu
memenangkan.
Dengan menelan ludah ia menggelengkan kepala. Kemudian menjawab pertanyaan
Sangaji sulit.
"Bagaimana engkau bisa datang kemari?"
"Mari kita mencari tempat bersembunyi. Kukira mereka akan balik kembali,"
sahut Sangaji. Lalu menggandeng tangan Sanjaya.
Titisari menyongsong kedatangannya. Melihat Sangaji menggandeng Sanjaya,
hati-nya tak senang. Tetapi mengingat Sanjaya adalah teman sepermainan masa
kanak-kanak yang kini lagi tersesat, ia mencoba mengerti dan menghibur diri.
Mereka menemukan sebuah lumbung desa yang tiada penjaganya. Dengan sekali
dorong, pintu itu terbuka, agaknya belum lama berse-lang telah didatangi
orang. Mungkin pula pen-jaga desa yang cepat-cepat melarikan diri sewaktu
melihat terjadinya suatu pertempuran.
"Titisari! Inilah kawanku sepermainan dahulu, Dimas ' Sanjaya kau belum
lagi berkenalan, bukan?" kata Sangaji.
Titisari tak menjawab. Dia hanya mende-ngus. Dan tahulah Sangaji, bahwa
Titisari tak senang kepada anak pangeran itu. Tetapi dia bersikap tak
menghiraukan. Bahkan terus saja berkata lagi, "Dimas Sanjaya! Menurut
ibuku, almarhum ayahku dan ayahmu adalah sahabat karib. Lapat-lapat,
bukankah kita masih teringat masa kanak-kanak dahulu? Menurut Ibu, ayahku
dan ayahmu berpesan agar kita berdua menjadi sahabat sejati meneruskan
persahabatan mereka. Hal ini akan kuwujud-kan. Ibu berkata, aku lebih tua
dua bulan dari-padamu. Karena itu aku memanggilmu adik. Bukankah begitu?"
Sanjaya masih saja terpukul hatinya oleh suatu pertemuan tiba-tiba ini. Mau
ia meng-iakan, tapi hatinya pepat. Karena itu ia hanya mengangguk kosong.
Sebaliknya Sangaji yang berhati sederhana bersyukur dalam hati melihat
Sanjaya mengangguk. Pemuda itu mengharap, kawannya sepermainan masa
kanak-kanak dahulu akan sadar kembali dari kesesatannya. Maka ia berkata
lagi, "Kulihat kau berjalan bersama musuh besarmu."
"Siapa?" Sanjaya terkejut.
"Pangeran Bumi Gede. Bukankah dia musuh besarmu juga? Dialah pembunuh
ayahku. Dia pulalah perenggut kebahagiaan ibumu, malah akhirnya membunuh
ayahmu yang sejati."
Mendengar kata-kata Sangaji, diam-diam bulu kuduk Sanjaya berkeridik juga.
Karena tak tahu apa yang harus dikatakan, ia menunduk dalam.
Dalam pada itu, Sangaji terus saja mem-bongkar kejahatan Pangeran Bumi Gede
menurut tutur kata ibunya dan Wirapati. Kemudian mengabarkan pula, betapa
cinta kasih Paman Wayan Suage terhadap anak-nya.
"Sayang! Sungguh sayang, mengapa Paman meninggal terlalu cepat, sebelum aku
berhasil membalaskan dendam...." akhirnya Sangaji mengesankan.
Sangaji tak pandai berbicara. Tetapi tiap-tiap kalimatnya keluar dari dasar
hatinya. Karena itu betapapun juga mempunyai pengaruhnya pula. Meskipun
Sanjaya terpaksa mendengarkan karena merasa diri menjadi tawanan, kata-kata
Sangaji masuk pula dalam hatinya. Mendadak saja matanya berlinang-linang,
karena ingat kepada cinta kasih ibunya dan nasib dirinya yang terpaksa
bersikap merendah terhadap Sangaji. Hatinya amat sakit. Tapi dasar cerdik,
ia pandai membawa diri. Katanya penuh perasaan, "Malam ini benar-benar baru
kuketahui, bahwa aku adalah anak Wayan Suage. Maka mulai detik ini juga aku
akan menanggalkan gelar raden masku."
"Bagus!" Sangaji girang. "Memang semenjak aku bertemu padamu, tak pernah
aku bersangsi bahwa engkau kelak akan menjadi seorang laki-laki sejati.
Kini terbuktilah keyakinanku. Kau kini benar-benar akan menjadi seorang
laki-laki sejati."
Segera ia menoleh kepada Titisari yang du-duk bersandar pada dinding. Gadis
itu nampak dingin-dingin saja, namun tiada menunjukkan sikap memusuhi.
Karena itu dia berkata lagi, "Tadi kulihat Pangeran Bumi Gede sedang
bertempur melawan Pangeran Ontowiryo. Bagaimana mula-mula terjadinya
pertempuran ini?"
"Dari mana engkau mengenal dia?" Sanjaya terkejut heran.
"Secara kebetulan aku mendengar perca-kapan mereka," sahut Sangaji pendek.
Sanjaya mengerling kepada Titisari, kemu-dian menundukkan kepala lagi.
Berkata seperti merintih, "Memang aku telah banyak melakukan
kesalahan-kesalahan. Terlalu banyak untuk kusebutkan. Setelah ilmuku punah,
aku bermaksud pulang ke Bumi Gede. Di kota Magelang aku bertemu dengan
Pangeran Bumi Gede yang baru tiba dari Semarang. Kemudian, berangkatlah aku
mengawal pedati dengan muatan senjata. Sungguh mati aku tak tahu, bahwa
Pangeran Ontowiryo memusuhi dengan tiba-tiba."
"Dimas! Agaknya engkau mengenal Pange-ran Ontowiryo lebih banyak
daripadaku," potong Sangaji kagum.
Sanjaya tersenyum sambil membuang mukanya. Jari ibu kakinya menggarit-garit
tanah di depannya. Sejenak kemudian ber-kata, "Dialah cucu Sultan Hamengku
Buwono II yang bertempat tinggal di Tegalreja. Dia terkenal sebagai
Pangeran Tegalreja. Belum pernahkah engkau mendengar namanya?"
Selama hidupnya Sangaji hampir berada jauh di daerah barat. Seumpama selama
itu berada di Jawa Tengah, agaknya sebagai rakyat lumrah dia pun takkan
mengenal peri kehidupan para bangsawan. Karena itu mau ia mengangguk.
Mendadak Titisari yang selama itu berdiam diri terus saja menyahut,
"Masakan tak tahu? Dialah satu-satunya pangeran yang paling jujur pada
dewasa ini. Seorang pangeran yang tak kemaruk harta benda, pangkat derajat
dan perempuan! Kalau saja kini bermusuhan dengan ayah angkatmu, bukankah
cukup terang gamblang sebab musababnya?"
Maksud Titisari adalah semata-mata untuk memukul sepak terjang Pangeran
Bumi Gede dengan mengadakan perbandingan, la benci kepada pangeran itu dan
Sanjaya. Karena itu hendak mengejeknya mumpung berkesem-patan. Pada waktu
itu, sepak terjang Pangeran Ontowiryo belum nampak jelas. Dia bekerja
semata-mata untuk kerajaan sebagai hamba kerajaan. Dan belum untuk tujuan
kebang-saan. Dengan demikian... tak disengaja... Titisari membuktikan
ketajaman otaknya dan pra rasanya seolah-olah seorang peramal kaliber besar.
Sebaliknya Sanjaya benar-benar menjadi mati kutu. Ia tahu Titisari anak
Adipati Surengpati. Sebagai anak bangsawan, pastilah dia mengetahui belaka
tentang belat-belit kehidupan kaum bangsawan pada dewasa itu.
Fitnah memfitnah, kecurangan helat meng-helat, cemburu-mencemburui, curiga
mencurigai dan bila perlu bisa bertindak di luar perikemanusiaan dan
kesusilaan dengan cara menyingkirkan, membunuh, meracun meng-kerubut atau
memperkosa isteri lawannya dan menculik gadis-gadisnya. Adipati Surengpati
adalah seorang bangsawan yang sengaja mengasingkan diri, karena tak cocok
dengan kaum kerabatnya. Karena itu masakan dia segan membongkar segala
keburukan yang terjadi di lingkungan istana pada dewasa itu terhadap
putrinya, begitulah pikir Sanjaya.
"Membawa-bawa senjata memang termasuk salah satu larangan." Akhirnya
Sanjaya berkata dengan menghela napas.
"Apakah bukan karena memusuhi kerajaan dengan terang-terangan?" bantah
Titisari. "Ayah angkatmu bekerja sama dengan Patih Danurejo II untuk
menggulingkan kerajaan, bukan? Dan
Patih Danurejo H memperoleh sokongan dari kompeni. Dan engkau bersedia
menjadi anteknya, ' bukan?"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar