@bende mataram@
Bagian 246
"Titisari! Kita berangkat dahulu. Sanjaya biar menyusul. Kau ke timur dan
aku ke barat!"
Terus saja mereka berdua melesat ke arah tujuan masing-masing. Setelah
berlari-lari beberapa pai jauhnya, Sangaji berhasil mengejar dua pengawal
Pangeran Bumi Gede yang telah kena panah. Yang seorang sudah luka parah dan
yang lainnya berusaha kabur seda-pat-dapatnya.
Sangaji segera menawan yang luka parah, lalu dimintai keterangan. Orang itu
mene-rangkan, bahwa dia memang sedang mengawal Pangeran Bumi Gede. Hanya
saja pada saat itu tak diketahui lagi ke mana Pangeran Bumi Gede
menyelinapkan diri. Maklumlah, pandang matanya sudah mulai menjadi nanar buram.
"Beliau menghilang di sini. Entah ke mana," katanya terengah-engah. "Aku
akan segera pulang ke kampung. Kalau balik ke kota masakan aku akan dihidupi?"
Sangaji cepat-cepat mengitari dusun yang, terlindung pagar bambu. Untung
desa tersebut sedang dalam keadaan lengang. Sebagian penduduknya berada di
sawah, ladang atau turun ke kota terdekat. Sehingga dia tak menjumpai
kesulitan. Tetapi sampai sekian lama, jejak Pangeran Bumi Gede tak
diketemukan juga. Dengan hati mendongkol, larilah dia menjenguk anak sungai
dan sawah. Tetap saja bayangan Pangeran Bumi Gede tak diketemukan. Akhirnya
dia jadi gelisah sendiri.
Tatkala matahari mulai condong ke barat, ia balik menuju tempatnya semula.
Ketika tiba di suatu persimpangan kecil, bertemulah dia dengan Titisari,
gadis itupun tak berhasil pula menemukan jejak Pangeran Bumi Gede. Maka
dengan kecewa mereka menemui laskar Pangeran Ontowiryo yang masih menunggu
di luar batas desa sebelah utara.
"Hm... mungkin Pangeran Bumi Gede mempunyai ilmu Halimun sampai bisa
menghi-lang," kata pemimpin laskar.
"Baiklah, di sini kita berpisah. Kami sedang ditugaskan, karena itu tak
berani mengharap-kan bantuanmu. Biar sampai ubanan akan kami cari
sekuasa-kuasa kami."
Sangaji kecewa berbareng bersedih hati, karena kesempatan yang baik itu tak
dapat dipergunakan. Setelah mereka pergi, ia menghempaskan diri di tepi jalan.
"Aji!" kata Titisari membesarkan hati. "Kau bersedih tak dapat mencari
jejak buruanmu? Kalau tak bisa mencari, bukankah lebih gam-pang memilih
cara lain?"
Sangaji mendongakkan kepala. Matanya bersinar karena memperoleh harapan.
Kata-nya agak gopoh, "Cara bagaimana?"
"Sewaktu masih kanak-kanak sering aku bermain sembunyi-sembunyian. Kalau
aku tak dapat mencari, aku ikut bersembunyi. Lambat laun yang bersembunyi
jengkel sendiri, lantas keluar hendak mengumumkan pembubaran. Dan saat itu
aku menangkapnya."
"Kau ingin aku bersembunyi juga sampai dia muncul?" "Sekiranya kau
benar-benar ingin menang-kap dia." sahut Titisari.
Sangaji girang. Dia memuji kecerdikan Titisari. Dan oleh pujian itu,
Titisari senang juga. "Sebenarnya ini tipu daya lumrah saja. Apanya sih
yang hebat?"
"Baik! Mari kita bersembunyi dalam lumbung sampai dia muncul" ajak Sangaji.
Lalu ia menggandeng Titisari kembali ke lumbung. Mendadak saja ia melihat
benda gemerlapan di atas rerumputan. Segera ia menghampiri dan memungutnya.
Ternyata sebuah kancing baju terbuat dari emas.
"Titisari! Kancing baju! Lihat ada tulisannya dengan huruf Jawa," serunya
dengan jantung berdegupan.
Titisari terkejut. Begitu melihat huruf itu, lantas berbisik, "Inilah
kancing Pangeran Bumi Gede."
"Benar dia? Ah, kalau begitu dia masih bersembunyi di sekitar tempat ini.
Mari kita cari!"
Mereka mengurungkan niatnya kembali ke lumbung desa, tetapi terus mengitari
lewat ladang yang bersemak dan berbatu.
"Aji! Kau mencari di bawah. Aku akan men-daki bukit ini. Sambil meloncat
aku akan mengawasi di jauh sana," kata Titisari. Lalu gadis itu melesat
melompat ke atas batu dan lari berputaran. Mendadak saja menoleh sam-bil
berseru, "Aji! Bagaimana gaya lompatan-ku? Bagus atau tidak?"
Sangaji heran sampai memberhentikan langkahnya. Menyahut memaklumi, "Bagus!
Bagus! Mengapa?"
Gadis itu tertawa manis.
"Kau tadi memuji kecerdikanku sewaktu mengusulkan cara mencari Pangeran
Bumi Gede yang lain. Sekarang engkau melihat gaya Iompatanku bagus. Mengapa
tak memuji?"
Jawaban itu di luar dugaan Sangaji. Ia mengira, Titisari hendak mengusulkan
tipu-daya lain. Tak tahunya hanya hendak bergurau kekanak-kanakan. Tapi ia
kenal watak Titisari. Maka dengan tersenyum pahit ia terpaksa menjawab,
"Memang aku tolol! Hm... Dalam keadaan begini, kau masih bergurau saja?"
Gadis itu tertawa nakal.
"Mengapa sih tak boleh bergurau? Kalau kau ingin menangis, menangislah!
Kalau kau ingin marah, marahlah! Itulah cara laku tak sudi mengkhianati
diri. Kini aku kepingin bergurau. Nah, aku bergurau. Dan setelah berkata
demikian dia terus melesat mendaki bukit."
Dengan cemas Sangaji merenungi keper-giannya, kemudian lari ke bawah hendak
ke bagian petak sana. Tetapi dimanakah sesungguhnya Pangeran Bumi Gede berada?
Sewaktu dia dan Titisari berbicara dengan rombongan Laskar Ontowiryo, mata
Sanjaya yang tajam segera melihat berkelebatnya Pangeran Bumi Gede dari
sela-sela dinding bambu. Meskipun kini dia merasa bukan anak Pangeran itu,
tetapi hatinya senantiasa teringat budinya merawat dirinya semenjak
kanak-kanak. Dalam waktu belasan tahun, ia menganggapnya sebagai ayah
kandungnya sendiri. Maklumlah, Pangeran itu bersikap baik terhadapnya dan
sama sekali tak menge-sankan bahwa dia adalah ayah angkatnya. Oleh ingatan
itu, segera ia bergerak hendak menolong, la tahu, bahwa pangeran itu berada
dalam keadaan bahaya. Sedikit saja pasti akan terenggut nyawanya. Maka
tanpa berpikir panjang lagi, cepat ia menerobos pintu belakang dan terus
menghadang di persimpangan jalan sebelah selatan desa.
"Ayah! Anakmu berada di sini!"
Pangeran Bumi Gede terkejut. Ia mengenal suara itu. Cepat ia meloncat dari
atas kudanya dan segera menghampiri. Kemudian dengan hati-hati, Sanjaya
membawa pangeran itu berjalan memutar ke belakang. Sewaktu Sangaji dan
Titisari lari mengitari desa, ia membawa Pangeran Bumi Gede bersembunyi di
belakang lumbung.
Pangeran Bumi Gede merasa seperti tengah bermimpi. Meskipun ia tahu Sanjaya
semalam ikut bertempur pula, tapi tak pernah mengira akan bertemu di sini
dalam keadaan diri dikepung bahaya.
"Sanjaya! Mengapa kau masih berada di sini! tanyanya heran. Siapakah pemuda
itu? Dia nampak gagah perkasa?"
"Dialah Sangaji. Anak Made Tantre sahabat Wayan Suage dari Desa
Karangtinalang," jawab Sanjaya dengan acuh tak acuh.
Hati Pangeran Bumi Gede terkesiap. Sebagai seorang cerdik tahulah dia
menebak sikap Sanjaya dengan selintasan saja. Teringatlah dia masa dua
belas tiga belas tahun yang lalu, tatkala ia memasuki sebuah rumah panjang
seperti bentuk lumbung desa itu hendak mencoba merampas pusaka wasiat
Pangeran Semono. Di sana ia membunuh se-orang laki-laki dan
menculik ibu Sanjaya. Karena teringat hal itu ia jadi bungkam.
Beberapa waktu lamanya, ia mendengar Sangaji dan Titisari balik kembali dan
berbicara dengan laskar Pangeran Ontowiryo. Kemudian mereka berusaha
mencari dirinya. Teringat akan kekejamannya membunuh ayahnya dua tiga belas
tahun yang lalu, terasa bergeridiklah bulu kuduknya.
"Ayah!" Tiba-tiba Sanjaya berkata berbisik... "Mari kita bersembunyi di
dalam kamar terbu-ka itu. Ayah akan kulindungi dengan tumpukan peti dan
onggokan keranjang. Dengan kututupi selembar dinding kulit bambu pula,
pastilah mereka takkan menemukan. Dan setelah mereka pergi, diam-diam kita
melarikan diri."
Pangeran Bumi Gede mengangguk.
"Kau benar. Mari! Hai Kenapa kau berada di sini bersama dia?"
Sanjaya tak menjawab. Dia hanya tertawa perlahan melalui hidung. Dalam
benaknya teringatlah dia kata-kata Sangaji dan nasib ibunya tatkala
terenggut pangeran itu dari desanya.
Pangeran Bumi Gede jadi gelisah. Dengan menaikkan dahi ia mencoba
memperoleh keterangan.
"Apakah engkau kena siksaannya? Ah... ibumu pasti gelisah memikirkanmu.
Baik, anakku. Setelah kita selamat sampai di Bumi Gede, kau tak kuizinkan
lagi bepergian me-nempuh bahaya."
Pangeran itu kemudian meraba pergelangan tangan Sanjaya. Terasa dingin dan
agak menggetar.
"Mari kita bersembunyi!" Sanjaya meng-alihkan pembicaraan sambil mengurangi
pegangan Pangeran Bumi Gede dengan per-lahan.
Mereka bersembunyi di dalam kamar terbu-ka. Dinding sebelah pojok agak
keropos. Di pojok itulah, Pangeran Bumi Gede bersembunyi. Kemudian Sanjaya
melindungi dengan onggokan keranjang dan tumpukan peti. Sekilas pandang,
tempat bersembunyi itu ter-lindung benar-benar dan tak gampang-gam-pang
dapat diketahui.
"Anak Made Tantre itu galak sekali," kata Sanjaya.
"Paman Kartawirya, Cekatik dan Setan Kobar dapat diruntuhkan dengan sekali
pukul. Akupun tak bisa menandingi. Bahkan Pring-gasakti tak mampu
mengalahkan. Dia bahkan kena hajar berkali-kali. Sekarang demi menuntut
balas kematian ayahnya, ia mengancam jiwa Ayah. Agaknya dia mempunyai
banyak pembantu-pembantu bukan sembarangan. Karena itu, ayahlah yang harus
berusaha menyelamatkan diri. Bukan aku ..."
MESKIPUN SANJAYA MASIH MENYEBUT AYAH, TETAPI SEBAGAI seorang cerdik dan
cermat, Pangeran Bumi Gede merasakan suatu kesan yang berbeda dari pada
biasanya. Diam-diam ia mengernyitkan kening.
"Baiklah," akhirnya ia berkata perlahan. "Aku akan menyingkir sejauh
mungkin. Apakah engkau telah berbicara dengan dia?"
"Ya," Sanjaya menunduk. "Dia telah mena-wan aku semenjak semalam. Karena
melihat Ayah, aku memaksa diri untuk menemui Ayah..."
Mendengar suara Sanjaya, tahulah Pangeran Bumi Gede bahwa anak itu sudah
mengetahui asal usulnya. Memperoleh dugaan demikian, ia heran mengapa dia
masih sudi menolong dirinya.
Tiga belas tahun lamanya, dia dan pemuda itu bergaul sebagai ayah dan anak.
Mereka saling mendekati dan akhirnya terbesitlah rasa kasih sayang yang
kuat berakar dalam lubuk hati masing-masing. Tetapi pada detik itu,
mendadak saja rasa kasih sayartg itu terasa menjadi pudar. Dalam hati
masing-masing tergemalah gaung permusuhan hebat. Pangeran Bumi Gede merasa
bersalah, sedangkan Sanjaya berbimbang-bimbang terombang-ambingkan oleh rasa
kasih sayang dan kebencian. Pikir pemuda itu, orang inilah yang merenggut
kebahagiaan Ibu. Hm... asalkan aku menggerakkan tangan sedikit saja, akan
dapat aku membalas rasa sakit hati Ibu. Tetapi... dapatkah aku berbuat
demikian? Selamanya ia sayang padaku bagaikan anak kandungnya sendiri. Aku
bahkan diangkatnya sebagai putra angkatnya yang resmi. Kalau dia mati,
bukankah aku yang akan mewarisi seluruh harta benda dan kedudukannya?
Sebaliknya, seumpama aku berhasil membunuhnya, apakah aku harus hidup
semacam Sangaji yang merantau tak karuan hinggapnya? Eh, nanti dulu!
Masakan aku harus mengorbankan diri semata-mata untuk membalaskan sakit
hati orang tua saja? Bukankah Ibu hidup tak sengsara juga?
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar