@bende mataram@
Bagian 214
"Aji! Tahukah engkau azas perguruan kita?" potong Wirapati. "Semenjak
kanak-kanak, aku diwajibkan menghafal tujuh deret kalimat hingga meresap
dalam lubuk hati. Yakni, menghormati Tuhan semesta alam, bumi kelahiran,
orang tua, guru, saudara tua, pergaulan dan sesama hidup. Mengapa selain
Tuhan, bumi kelahiran, orang tua, guru dan saudara tua, aku diharuskan
menghormati pergaulan dan sesama hidup pula? Karena sekalian satwa alam ini
adalah ayat Tuhan itu sendiri. Gagak Seta adalah seorang dari angkatan tua
yang setaraf dengan kakek-gurumu. Hanya bertemu saja dengan dia,
sesungguhnya merupakan suatu kehormatan besar. Apalagi sampai menurunkan
suatu ilmu. Apabila engkau tidak berkenan dalam hatinya, meskipun engkau
lahir sampai tujuh kali, takkan orang tua itu demikian murah hati
terhadapmu. Karena itu, di kemudian hari apabila engkau dapat bertemu
kembali dengan dia, sampaikan pula hormatku kepadanya. Hendaklah engkau
menekuni ilmu warisannya dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, kau tak
mensia-siakan jerih payahnya. Aku sendiri berharap, mudah-mudahan engkau
bisa mengambil manfaatnya, sehingga di kemudian hari engkau bisa
menciptakan suatu ilmu gabungan antara ilmu perguruanku dan ajarannya.
Syukur pula, apabila engkau bisa mengambil sari-sari ilmu gurumu Jaka
Saradenta. Karena gurumu sesungguhnya adalah murid almarhum Kyai Haji
Lukman Hakim."
Betapa gembira hati Sangaji, tak terperikan mendengar ucapan gurunya.
Gurunya ternyata tiada bersakit hati atau menyesali. Tapi bahkan
menganjurkan pula. Inilah di luar dugaannya. Sesungguhnya apabila dia
se-orang pemuda yang encer otaknya, mestinya sudah dapat menebak keadaan
hati gurunya semenjak tadi. Sebab apabila gurunya tiada menyetujui,
pastilah dia akan kena tegur, tatkala habis bertempur melawan
Pring-gasakti. Bukankah dia bertahan dan melawan kegagahan iblis itu dengan
ilmu ajaran Gagak Seta? Ternyata kakak seperguruannya, guru-nya tiada pula
menaruh keberatan. Bahkan tiba-tiba ikut berkata, "Sangaji! Kulihat
gerakanmu masih menemukan suatu rintangan tertentu. Tunggulah sampai engkau
meng-hadap kakek gurumu. Siapa tahu, engkau bisa memperoleh suatu
petunjuk-petunjuk yang berharga."
Arah perjalanan mereka kini berubah lagi. Tepat bersamaan dengan
tenggelamnya mata-hari, mereka menghadap ke arah barat daya. Sangaji
mengikuti Guru dan pamannya tanpa minta keterangan. Seluruh hatinya
benar-benar takluk kepada keluhuran budi mereka berdua. Pada suatu desa,
mereka berhenti mengisi perut di sebuah kedai. Memang semenjak pagi hari
tadi, mereka hampir melalaikan kepentingan jasmaninya. Itulah sebabnya,
meskipun hidangan yang disajikan sangat sederhana, mereka menelannya dengan
lahap.
Dalam pada itu malam hari telah merangkak dengan diam-diam. Sekonyong-konyong
terdengarlah beberapa orang berlari-lari melintasi jalan. Salah seorang
melihat mereka dan dengan gugup melambaikan tangan,
"Raden(suatu sebutan semacam tuan)!, masuklah kekampung! Serdadu-serdadu
kompeni mulai membunuh orang."
"Membunuh orang? Mengapa?" sahut pemi-lik kedai dengan muka berubah.
"Siapa yang tahu? Kabarnya mereka me-maksa penduduk agar menunjukkan Desa
Karangtanggung, Singajaya, Gowong dan entah apa lagi. Siapa sudi
berkeluyuran begini malam hari sepanjang lembah Kali Jali. Salah-salah
matilah digigit ular."
Setelah berkata demikian, orang itu terus saja menghilang di balik
perkampungan. Seperti teman-temannya, ia mengira memper-oleh keamanan
apabila sudah bersembunyi dalam kampung.
"Raden! Nampaknya Raden tak beruntung. Di depan serdadu-serdadu kompeni
yang kabarnya begitu jahat. Aku sendiri terpaksa menutup warung," kata
pemilik kedai kepada Wirapati, Bagus Kempong dan Sangaji. Benar-benar ia
nampak gugup, hingga tangannya gemetaran.
Selamanya, anak murid Kyai Kasan Kesambi benci bukan kepalang kepada
istilah serdadu. Maklumlah, Kyai Kasan Kesambi adalah bekas pejuang
penentang penjajah. Dahulu ia merupakan salah seorang pembantu
kepercayaannya Pangeran Mangkubumi 1 dalam Perang Giyanti. Karena itu,
sikap hidupnya ini ditanamkan dalam lubuk hati sekalian murid-muridnya.
Meskipun demikian, Kyai Kasan Kesambi melarang keras melakukan pembunuhan
terhadap kompeni apabila tidak terpaksa. Soalnya, karena bagaimanapun
alasannya melaksanakan pembunuhan adalah suatu perbuatan yang berlumuran
darah. Sebaliknya jika sudah terlanjur demi membela keamanan, dia tak
pernah mengomeli. Malah seringkali dipuji. Ia hanya memberi saran agar
lebih berhati-hati. Jika bersua dengan petroli kompeni yang berjumlah dari
20 orang lebih baik menyingkir. Tetapi, kalau jumlahnya tak lebih dari 15
orang—apabila berbuat sewe-nang-wenang tehadap rakyat— bolehlah
mencoba-coba mengadu untung.
Kini, Bagus Kempong dan Wirapati men-dengar sepak terjang serdadu-serdadu
kom-peni. Keruan saja, darahnya langsung men-didih serentak mereka
melompati kudanya dan mengaburkan ke arah utara. Sangaji pun tak mau
ketinggalan. Dengan menunggang Willem, ia bisa gampang mengejar mereka
berdua. Hanya saja hatinya agak segan ber-lawan-lawanan dengan kompeni.
Maklumlah, hampir lima tahun, ia manja di dalam tangsi Belanda di Jakarta.
Kira-kira dua pai jauhnya, terdengarlah kesibukan-kesibukan di depan sana.
mereka mendengar jerit ngeri. Cepat-cepat mereka mengeprak kudanya. Apabila
sudah dekat dengan gemas mereka melihat dua orang ser-dadu Bumiputera
sedang menghajar seorang anak berumur 10-12 tahun. Terdengar mere-ka
membentak-bentak.
"Kau mau tidak mengantarkan kami?"
Anak itu tak kuasa membuka mulutnya. Kedua orang tuanya mencoba membela.
"Lepaskan dia! Biar kita berdua menjadi penunjuk kalian."
Mendengar ujar mereka, kedua serdadu itu tertawa mendongak hampir
berbareng. Men-dadak saja anak itu terus diangkat ke udara dan ditendang
dijungkir-balikkan. Sudah ba-rang tentu anak itu menjerit kesakitan selagi
masih berjungkir-balik di udara. Begitu jatuh tengkurap di atas tanah,
serdadu yang lain menyambarnya dan ditendang lagi ke udara. Kini mengarah
ke dalam barisan. Serdadu-serdadu yang lain segera menyambutnya dan
dilemparkan pula ke udara seperti bola keranjang.
Melihat sepak terjang mereka, darah Sangaji mendidih juga. Teringatlah dia
akan nasibnya dahulu tatkala diperlakukan demi-kian oleh Mayor de Groote.
Maka dengan gusar ia terus
melabrak maju. Tapi belum sampai ia sempat menerjang, ternyata guru-nya
sudah turun tangan. Anak murid Kyai Kasan Kesambi yang keempat itu dengan
tangkas meloncat dari kudanya selagi kakinya belum menginjak tanah,
tangannya sudah menyambar. Seorang serdadu yang lagi sibuk hendak menyambut
anak malang itu, tiba-tiba saja terjungkal di tanah dengan memuntahkan
darah. Sedangkan si anak terus dilemparkan perlahan kepada Bagus Kempong.
Melihat Wirapati menyerbu dengan men-dadak, serdadu-serdadu yang lain
terperanjat. Mendadak terdengar pekik pemimpin regu, "Hai! Bukankah mereka
ini yang kita cari?"
Berbareng dengan pekikannya pemimpin regu itu terus menusukkan bayonetnya.
Dia adalah seorang sersan. Meskipun hari remang-remang gelap, nyata sekali
bahwa dia seorang Belanda.
"Guru, awas!" Teriak Sangaji terkejut. "Hm," dengus Wirapati tenang.
"Kausaksikan bagaimana gurumu menghajar serdadu-serdadu. Empat tahun di
Jakarta, tangan gurumu tersekap dalam kantong celana demi keselamatanmu."
Dengan tertawa Wirapati menghadapi serangan sersan Belanda itu. Bayonet
tinggal belasan centi saja dari dadanya. Mendadak tangan kirinya membalik
dan terus menangkap laras senapan. Berbareng dengan itu, tangannya
menyodok. Laras senapan yang berbayonet itu membalik 180 derajat oleh
tepukan tenaga dorong. Belum lagi sersan itu sadar akan artinya, dadanya
tertembus bayo-netnya sendiri. Dengan sekali menjerit ia ter-jungkal di
tanah tanpa berkutik lagi.
Menyaksikan ketangkasan Wirapati, ser-dadu-serdadu lainnya berteriak-teriak
menyerbu rapat. Mereka bersenjatakan pedang dan tombak. Nyata sekali, bahwa
dalam suatu patroli hanya serdadu bangsa Belanda saja yang bersenjatakan
senapan. Lainnya yang berbangsa Bumiputera hanya bersenjatakan pedang
panjang, tombak atau penggada.
Tanpa bicara lagi, Sangaji terus meloncat turun dari kudanya. Cepat ia
rebut pedang salah seorang serdadu. Dengan tenaga sakti ilmu Kumayang Jati,
ia memutar pedang itu secepat kitiran. Dua kali ia membabat dan dua serdadu
kena tebas.
Melihat gelagat buruk, serdadu-serdadu yang lain terus melarikan diri
dengan tung-gang-langgang. Lari mereka berpencaran. Meskipun demikian,
mereka masih sempat pula melampiaskan dendamnya pada rakyat yang tadi
dipaksa ke luar dari rumah. Karena itu, banyak di antara penduduk yang kena
tikaman pedang atau kemplang penggada. Sehingga suara jerit ketakutan dan
kesakitan mengiang ke udara.
Bagus Kempong yang lagi menolong si anak, mendidih darahnya melihat sepak
terjang begundal-begundal kompeni Belanda. Dengan berteriak nyaring ia
berkata, "Jangan biarkan mereka lari berpencaran!"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar