@bende mataram@
Bagian 205
Tanpa berkedip ia merenggut nyawa seseorang dengan begitu saja. Tetapi
meskipun demikian, dalam hati nuraninya mengalirlah sebintik jiwa ksatria
juga. Terbukti dengan peristiwa kali itu. Ternyata ia kasihan kepada
Sanjaya sebagai guru dan murid. Maka begitu melihat muridnya tersiksa,
lantas saja ia memberanikan diri untuk menuntut keadilan.
Nyawanya sendiri tak dihiraukan lagi. Berkata dengan suara bergetar, "Guru!
Selama aku meninggalkan Karimun Jawa, tiada hasratku hendak mencari murid
atau menurunkan warisan ilmu sakti Karimun Jawa tanpa sepengetahuan guru.
Tetapi terhadap anak itu, mendadak saja hatiku tergerak. Karena
pertama-tama, ia adalah seorang pemuda yang berbakat. Kedua, ia putera
seorang pangeran yang pantas memiliki sepercik ilmu sakti guru. Dan ketiga,
kuharapkan kelak bisa menjadi ahli waris kesaktian guru. Karena itu,
alangkah pedih rasa hatiku melihat guru memusnahkan tenaga saktinya. Dengan
demikian, ia akan menjadi seorang pemuda yang hina-dina. Menjadi seorang
pemuda cacat jasmaniah selama hidupnya."
"Andaikata benar begitu, apa peduliku?" potong Adipati Surengpati tanpa
perasaan.
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, tak terasa sekalian para pendekar
menoleh kepada Sanjaya.
Pemuda itu benar-benar tertumbuk batu. Tadinya dia mengira akan mudah
mengambil hati Adipati Surengpati. Tak tahunya, Adipati Surengpati bukanlah
seperti manusia lumrah. Wataknya aneh. Tabiatnya susah ditebak.
Karena itu ia terkenal sebagai si iblis dari Karimun Jawa. Sekarang, tenaga
saktinya terpunah sudah oleh hajaran Adipati Surengpati. Tak mengherankan,
bahwa wajahnya sekaligus menjadi kuyu. Tenaga jasmaniahnya lumpuh. Dengan
pandang suram ia menyiratkan pandang kepada sekalian yang hadir seolah-olah
minta bantuan. Tetapi bagaimana mereka berani berkutik di depan Adipati
Surengpati yang terkenal sebagai seorang mahasakti setengah dewa?
"Hai, siapa namamu anak muda?" mendadak saja Adipati Surengpati berkata
kepada Sanjaya.
Sanjaya hendak menjawab, tetapi Pringgasakti mendahului, "Dia bernama
Sanjaya, pu-tera Pangeran Bumi Gede."
"Ih! Siapa kesudian berbicara dengan hamba Belanda?" Adipati Surengpati
meludah ke tanah. "Untunglah, aku tidak memusnahkan seluruh tenaga
jasmaninya. Aku hanya mengambil milikku belaka, agar dia tak bisa menekuni
ilmu sakti Karimun Jawa. Berbahagialah!"
Mendengar ujar Adipati Surengpati, Pringgasakti girang bukan kepalang
sampai air matanya bercucuran.
Tatkala itu Titisari menoleh kepada Sangaji sambil berkata, "Aji! Hebat
tidak ayahku? Dilihat sepintas lalu, pakarti ayahku adalah kejam. Siapa
mengira, kalau Ayah hanya mengambil haknya kembali sebagai hukuman terhadap
seorang pengkhianat yang berani mencuri
wewenang seseorang. Inilah namanya maling kepergok di siang hari bolong."
"Ayahmu hebat sekali, Titisari," sahut Sangaji dengan jujur. "Kalau kau
nanti sudah pulang kembali ke kampung halaman, janganlah kau mensia-siakan
ajaran ayahmu. Pasti kamu kelak akan menjadi pendekar sakti tak terlawan."
"Kau ikut juga kan ke Karimun Jawa?" sahut Titisari cepat. Mukanya berubah,
suatu tanda hatinya cemas.
"Aku hendak mengikuti guru mendaki Gunung Damar. Kelak aku akan menjengukmu."
Titisari jadi gelisah seperti cacing tercebur di atas penggorengan. Katanya
setengah menjerit, "Tidak! Tidak! Tak mau aku berpisah denganmu."
Sangaji menarik napas. Sebenarnya, dia pun agak berkeberatan berpisah
dengan Titisari, Sewaktu hendak menyatakan isi hatinya, men-dadak saja ia
melihat Adipati Surengpati berkelebat menyambar Sanjaya. Anak muda itu
dilemparkan ke udara dan ditendang jungkir-balik. Tak ampun lagi. Sanjaya
menggelinding di atas tanah. Tetapi yang aneh adalah sikap Pringgasakti.
Begitu melihat muridnya jatuh bergulingan, dia bahkan berjingkrak sambil
berteriak nyaring.
"Sanjaya! Lekaslah engkau menghaturkan sembah kepada Kakek-guru. Beliau
telah menghadiahi semacam tenaga sakti kepadamu."
Dengan tertatih-tatih, Sanjaya merayap bangun. Mula-mula matanya
berkunang-kunang. Sekonyong-konyong dalam tubuhnya terasa mengalir semacam
hawa hangat. Lantas saja ia merasa segar-bugar. Oleh teriakan Pringgasakti
tahulah dia bahwa Adipati Surengpati sedang menganugrahi semacam ilmu sakti
dengan diam-diam. Cepat ia maju dan hendak menghaturkan sembah. Tetapi
Adipati Surengpati membentak, "Sudah kukatakan tadi, bahwa aku telah
memusnahkan semua tenaga sakti ilmu Karimun Jawa. Kalau saja kini kamu
merasa memperoleh tenaga baru, sebenarnya adalah untuk bekal menekuni ilmu
tata-berkelahi lumrah. Sebaliknya untuk menekuni ilmu sakti janganlah
mengharap yang bukan-bukan." Baik Pringgasakti maupun Sanjaya kecewa
mendengar keterangan Adipati Surengpati, tetapi mereka tak dapat berbuat
lain, kecuali hanya membungkam mulut.
"Abu!" Tiba-tiba suara Adipati Surengpati berubah menjadi garang.
Sebenarnya engkau manusia terlalu jahat. Tetapi aku tahu, kau telah
menderita batin pula. Tadi kulihat, sewaktu kau terdesak oleh anak muda
itu, teringatlah kamu pada nama perguruanmu. Sehingga dengan berbekal
petunjukku, kamu berani melabrak anak muda itu demi mempertahankan nama
perguruan. Bagus! Karena jasamu itu, aku akan membiarkan engkau hidup untuk
beberapa bulan."
Mendengar ujar gurunya, hati Pringgasakti terperanjat bercampur heran. Tak
pernah diduganya, bahwa gurunya akan mengampuni kesalahannya dengan mudah,
mengingat pegawai-pegawainya disiksa sepanjang hidupnya tanpa berdosa
karena perbuatannya semata. Itulah sebabnya oleh rasa syukur, ia duduk
bersimpuh untuk menyatakan terima-kasih tak terhingga.
"Bagus!" Adipati Surengpati menyahut sembah muridnya. Kemudian menepuk
pundak Pringgasakti sambil berkata, "Kau murid mengenal budi."
Pringgasakti terkejut. Pundaknya tiba-tiba terasa menjadi nyeri. Matanya
berkunang-kunang dan dunia seolah-olah berputar di depannya. Tahulah dia,
bahwa gurunya sedang menjatuhkan suatu siksaan yang mengerikan. Siksaan itu
bernama, Tepukan Cakrabirawa. Barangsiapa kena tepukan tersebut, seluruh
tubuhnya akan terasa seperti ditusuki ribuan jarum. Makin dia bergerak,
makin sakit. Setelah lewat satu bulan, tenaganya mulai sunat. Grat-uratnya
mulai lemah dan darahnya mulai membeku. Apabila sudah berkembang demikian,
tiada seorang pun di kolong langit ini yang mampu mengobati, meskipun dewa
sendiri tidak. Teringat akan siksaan itu, air mata Pringgasakti mengalir
deras. Dengan tersekat-sekat ia berkata,
"Guru, muridmu memang berdosa tak teram-punkan. Pantaslah guru menghukum
aku mati. Karena aku dahulu terbelenggu oleh nafsu ingin menjadi seorang
pendekar tersakti di dunia ini, sampai aku mencuri sebagian kitab pusaka
guru. Sama sekali tidak terduga, bahwa oleh perbuatan itu, ibu Titisari
wafat karena berduka. Tetapi, perkenankanlah aku memohon hukuman mati yang
lain. Bebaskan aku dari siksaan Tepukan Cakrabirawa."
Adipati Surengpati tidak tergerak hatinya. Dengan wajah membeku dan menatap
muridnya. Mulutnya menyungging suatu senyum yang sukar untuk terbaca.
Karena itu, Pringgasakti jadi putus asa. Cepat luar biasa ia mencabut
cemeti pamuk dan segera hendak menghajar tubuhnya sendiri sehingga mampus
dengan seketika itu juga. Tetapi Adipati Surengpati bukanlah seseorang yang
mudah dikelabui. Belum lagi Pringgasakti bisa bergerak, tahu-tahu cemeti
pamuk telah berpindah ke tangan pemiliknya semula.
"Eh, mengapa kamu ingin cepat-cepat mati di hadapan gurumu?" tegur Adipati
Surengpati tak berperasaan. "Mati di hadapanku bukankah tidak mudah?"
Mendengar ujar gurunya, tahulah Pringgasakti bahwa gurunya akan menurunkan
siksaan lain yang jauh lebih mengerikan. Kemudian ia mengerling kepada
Sangaji dan kemudian berkata, "Terimalah rasa terima-kasihku atas jasamu
membunuh adikku. Andaikata dia masih hidup, pastilah matinya hari ini akan
tersiksa seperti aku."
Adipati Surengpati tak memedulikan ujar muridnya. Dengan suara dingin dia
berkata, "Tepukan Cakrabirawa ini akan bekerja setelah lewat satu tahun.
Dalam satu tahun ini engkau akan kuberi tugas menyelesaikan pekerjaan suci.
Setelah selesai, kau boleh datang ke
Karimun Jawa. Aku akan membebaskan siksaan ini dari tubuhmu."
Girang hati Pringgasakti mendengar ujar gurunya. Dengan terharu ia
bersembah lagi seraya berkata takzim.
"Katakanlah, tugas apa yang harus kulakukan? Meskipun harus menyeberang
lautan api dan telaga golok tajam, takkan muridmu mundur selangkah pun
juga. Bersabdalah!"
Adipati Surengpati tersenyum. Berkata, "Eh, kamu seolah-olah mampu
melakukan tugasmu yang belum lagi kuterangkan. Tahukah kau tugas apa yang
akan kaupikul, sampai begini gagah lantas saja bisa menerima?"
Hati Pringgasakti kecut. Tak berani ia men-jawab. Kepalanya hanya menunduk
lebih dalam. Melihat muridnya tak berani berkutik, berkatalah Adipati
Surengpati.
"Dengarkan! Yang pertama, bagian Wirata-dya yang kau curi, harus
kaukembalikan se-lengkap-lengkapnya. Dan ingatlah siapa pula yang pernah
melihat atau membaca isinya, harus kau bunuh. Dua orang pernah melihat, dua
orang itu pulalah yang harus kamu bunuh. Gmpama kata seratus orang pernah
membaca, bunuh pulalah seratus orang itu. Kemudian kedua matamu yang pernah
menekuninya, harus kau cungkil dari kelopaknya. Dengan demikian, kedua
matamu yang biadab itu telah memperoleh hukumannya yang adil. Sebaliknya,
apabila engkau melalaikan salah seorang saja, janganlah engkau berharap
bisa kembali kepadaku. Aku akan mencarimu dan akan menghukumu dengan suatu
hukuman yang setimpal. Tidak hanya hukuman Tepukan Cak-rabirawa saja yang
akan menyiksamu, tetapi aku masih mempunyai cara lain yang belum pernah kau
dengar, yakni Tepukan Lebur-saketi. Sekali kau kena kuraba, maka kamu tak
merasa beranggota tubuhmu. Dengan begitu kamu akan mati penasaran. Karena
orang mengira, kau mati bunuh diri karena terganggunya kewarasan otakmu.
Bukankah mati demikian jauh lebih mengenaskan?"
Mereka yang mendengar ujar Adipati Surengpati, bergidik seluruh bulu
romanya. Pikir mereka, benar-benar dia merupakan iblis samudra Karimun
Jawa. Pantas orang gagah tak senang dengan sepak-terjangnya yang sesat dan
bengis.
"Sekarang yang kedua!" kata Adipati Surengpati lagi, "Karena
pengkhianatanmu, ibu Titisari meninggal dunia oleh duka-cita. Bagian kitab
pusaka Witaradya yang tiga bagian, dibawanya
hilang ke liang kubur.
Entah dibuang ke mana. Hanya setan dan iblis yang tahu. Karena itu, menjadi
kewajibanmu pula untuk mencari sampai ketemu. Kau-sanggup?"
Pringgasakti mengangguk, meskipun dalam hatinya ia mengeluh. Sebaliknya
Titisari berpikir, Ibu wafat semenjak aku masih kanak-kanak. Selama itu
Ayah tak pernah membicarakan perkara bagian kitab pusaka Witara-dya yang
hilang.
"Ini suatu tanda, bahwa Ayah tak berdaya untuk menemukan kembali. Hal itu
berarti, angan-angannya untuk menjadi seorang pendekar tersakti pada zaman
ini tak tercapai. Sekarang Abu diperintahkan mencari bagian kitab itu dalam
tempo satu tahun. Masakan dia mampu?"
Sebaliknya Adipati Surengpati tidak menghiraukan. Nampaknya sama sekali
tiada pertimbangan demikian. Hatinya dingin membeku bagaikan batu karang
berlumut. Dengan mendongakkan kepala ia berkata tanpa perasaan.
"Kitab pusaka Witaradya engkaulah yang mengambil dan menjamahnya sendiri.
Sama sekali aku tak mewariskan, menganjurkan atau mengajarkan. Sebaliknya
kamu menekuni sendiri. Apakah yang harus kaulakukan sebagai seorang murid
yang berbakti?"
Pringgasakti segera dapat menebak kehendak Adipati Surengpati. Dahinya
berkerinyit. Keringatnya mengucur deras. Akhirnya, dengan bergetar ia
berkata hormat. "Guru! Tak usahlah guru kecewa mempunyai murid seperti aku.
Umurku sudah cukup tua. Jauh lebih tua daripada usia guru sendiri. Apa
perlu masih bersitegang dengan mempertahankan kesenangan hidup. Baik!
Setelah aku selesai melakukan tugas guru, aku tahu apa yang harus dilakukan
oleh seorang murid yang berbakti. Dengan kedua tanganku sendiri, aku akan
merenggutkan semua ajaran kitab suci Witaradya dari tubuhku."
Mendengar ujar Pringgasakti, otak Sangaji yang tumpul belum bisa menangkap
maksudnya. Segera ia mengerling kepada Titisari. Gadis itu mengunci mulut.
Ia enggan memberi keterangan. Karena itu ia menoleh kepada gurunya,
Wirapati. Dengan tangan kanan membaca kutung kedua belah tangannya.
Wirapati memberi isyarat apa arti merenggutkan ilmu sakti kitab pusaka
Wataradya.
Memperoleh keterangan isyarat itu, barulah Sangaji mengerti arti
merenggutkan semua ajaran ilmu kitab suci Witaradya. Katanya terheran-heran
dalam hati, ah, kiranya dia hendak mengutungi kedua belah tangannya
sendiri. Pringgasakti menurut kabar adalah seorang iblis yang luar biasa
jahat. Tapi nampaknya pada hari ini, ia insyaf akan kejahatannya. Mengapa
masih harus menjalankan hukuman begini berat? Biarlah Titisari kudesak agar
memohon ampun kepada ayahnya."
Tengah Sangaji sibuk berpikir, mendadak Adipati Surengpati berpaling
kepadanya sambil berkata, "Kau yang bernama Sangaji?"
Sangaji segera membungkuk hormat sambil bersembah. Berkata, "Aku bernama
Sangaji. Asal dari Jakarta..."
"Muridku kedua bernama Abas, kaulah yang menewaskan. Bagus! Pastilah engkau
lebih hebat dari padanya." Sangaji terperanjat. Nada Adipati Surengpati
berkesan kurang menyedapkan hati. Tetapi cepat-cepat ia menyahut, "Waktu
itu, aku lagi berumur empat belas tahun. Aku kena tangkap dia. Tanpa
kusenga-ja, pistol yang kugenggam meletus. Karena dia menyentil pelatuknya..."
"Begitu?" Adipati Surengpati mendengus. Suaranya luar biasa dingin. "Abas
adalah muridku kedua yang murtad. Meskipun demikian orang di luar kalangan
kami, tak kuperkenankan menghukum semena-mena. Apakah kaukira, murid dari
Karimun Jawa bisa dibinasakan seseorang dengan seenaknya saja?"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar