@bende mataram@
Bagian 208
MENYAKSIKAN kepergian Pringgasakti, Sanjaya berdiri tegak dengan hati ciut,
bagaimana tidak? Kini dia tak mempunyai andalan lagi untuk menghadapi
Wirapati, Bagus Kempong dan Sangaji. Yuyu Rumpung yang dijagoi terenggut
tenaganya oleh pukulan sakti Sangaji. Dia sendiri, sudah kehilangan tenaga
himpun ilmu sakti Karimun Jawa. Kini tinggal empat orang pembantunya yang
belum boleh diandalkan. Yakni Abdulrasim, Sawung-rana, Manyarsewu dan Cocak
Hijau. Meskipun Wirapati dan Bagus Kempong telah kehilangan senjata, tetapi
pukulan sakti Sangaji tak boleh dipandang ringan. Pringgasakti sendiri tak
dapat melawannya. Memperoleh pikiran de-mikian, mau tak mau ia harus
memaksa diri menelan kenyataan pahit. Maka dengan kepa-la menunduk ia
berjalan melintasi lapangan menghampiri kudanya. Ternyata kelima pendekar
undangan ayahnya, pandai juga melihat gelagat. Merasa tak ungkulan melawan
pihak Wirapati, mereka cepat meninggalkan lapangan tanpa memedulikan
kehormatan diri.
"Aji!" kata Wirapati setelah mereka mening-galkan lapangan. "Sungguh
berbahaya! Adik-angkatmu terdidik di tengah-tengah keluarga agung. Kau bisa
memaafkan, itulah baik. Tetapi untuk selanjutnya, engkau harus berhati-hati
menghadapinya."
Sangaji menoleh. Belum dapat ia menangkap maksud gurunya. Karena itu,
pandangnya tak beralih.
Wirapati tersenyum. Berkata, "Apakah kau kira sudah selesai persoalan kita
pagi ini? Hm, mereka seumpama angin laut, sebentar pergi sebentar datang
pula dengan tak ter-duga-duga. Apakah kau kira adik-angkatmu bekerja untuk
kepentingan diri? Hm, bagai-mana dia bisa menguasai pendekar-pendekar sakti
begitu banyak. Aku yakin bahwa di belakang punggungnya ada yang
mengendalikan. Karena itu, seumpama dia sadar akan kekeliruannya, tidaklah
gampang-gampang dia membebaskan diri dari orang yang me-ngendalikan."
Sangaji mengerenyitkan dahi. Masih saja dia belum bisa mengerti. Wirapati
yang mengenal kesederhanaan otaknya, lantas saja mene-rangkan dengan sabar,
"Baiklah kuberi tahu, bahwa adik angkatmu itu dipelihara oleh musuh
besarmu." "Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Bumi Gede?"
Mendengar gurunya menyebutkan nama Pangeran Bumi Gede, pemuda itu
terperanjat. Bukankah dia yang membunuh ayahnya? Teringat akan nasib
ayahnya, tanpa disadari sendiri seluruh tubuhnya menggigil.
"Akan kucari dia! Akan kutuntut kekejamannya membunuh Ayah!" Sangaji
meledak. "Tetapi
apa hubungannya dengan pusaka warisan Paman Wayan Suage?"
"Ah bocah, dengarkan. Kematian ayahmu dahulu disebabkan pula karena
memiliki pusaka Pangeran Semono," sahut Wirapati cepat.
Pendekar Bagus Kempong yang semenjak tadi berdiam diri, tertarik
perhatiannya oleh pembicaraan itu. Serentak dia minta keterangan, "Adikku
Wirapati. Kau membicarakan perkara pusaka Pangeran Semono. Apakah yang
pernah dikabarkan oleh guru kita sebagai warta takhayul?"
Wirapati tertawa perlahan. Dengan meng-genggam tangan kakak seperguruannya
erat-erat, ia membawa berteduh di tepi lapangan.
"Biarlah kuterangkan, apa sebab kakak menjumpai aku sedang bertempur
melawan kerubutan mereka."
Kemudian berceritalah dia tentang pengala-mannya dua belas tahun yang lalu,
tentang peristiwa perebutan pusaka sakti Pangeran Semono sampai kembalinya
ke daerah Jawa Tengah. Setelah berpisah dengan Sangaji di batas kota
Pekalongan, segera ia berangkat dengan Nuraini ke Desa Karangtinalang. Dua
hari lamanya ia menunggu kedatangan Sa-ngaji. Karena iseng, diam-diam
berangkatlah dia menjejak pengalamannya dahulu tatkala bertempur melawan
orang-orang Banyumas di tepi sebuah petak hutan sebelah tenggara Desa
Karangtinalang. la mencoba mengingat-ingat tempat Wayan Suage dahulu
disembunyikan di dalam semak belukar untuk menghindari orang-orang dari
Banyumas. Tetapi tempat itu susah ditemukan lagi. Maklumlah, semuanya sudah
berubah. Waktu itu hutan terbakar. Mestinya semak belukar itu pun ikut
terbakar pula. Memperoleh kenyataan demikian, segera ia mencari sungai yang
berlumpur.
Dahulu dia menceburkan diri ke dalam su-ngai berlumpur itu agar dapat bebas
dari ancaman api. Ternyata sungai itu tak berubah. Hanya saja untuk
menduga-duga di mana Wayan Suage menyembunyikan benda pusaka Pangeran
Semono adalah sulit sekali. Timbul pulalah dugaannya, bahwa tiada mus-tahil
Wayan Suage menyembunyikan benda tersebut ke tempat lain.
Waktu pulang ke pondok pada sore harinya, mendadak saja Desa Karangtinalang
penuh dengan laskar Pangeran Bumi Gede. la men-coba mencari Nuraini.
Ternyata Nuraini berpindah tempat juga. Akhirnya ia memutuskan untuk
menunggu kedatangan Sangaji di tempat lain. la yakin, bahwa kedatangan
laskar Pangeran Bumi Gede pasti mengenai benda warisan Wayan Suage. Karena
itu, ia lebih tekun menebak-nebak di manakah kiranya benda tersebut
disembunyikan Wayan Suage. Tetapi usahanya gagal. Tatkala pada hari itu dia
mencoba menjenguk tepi sungai, para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede
yang diperintahkan menjaga petak lembah sungai memergoki. Dan terjadilah
suatu pertempuran berat sebelah. Gntung, kakak seperguruannya kala itu
kebetulan lewat di daerah itu, sehingga ia memperoleh bantuan.
"Dua belas tahun kita berpisah ternyata kakak banyak berubah," kata
Wirapati sambil mengamat-amati Bagus Kempong. Tadi karena terlibat dalam
suatu pertempuran, ia tak sempat memperhatikan kakak-seperguruan-nya dengan
saksama.
"Apakah yang berubah?" sahut Bagus Kempong.
"Rambut pelipismu sudah memutih. Jidat-mu bertambah pula dengan beberapa
guratan. Pastilah selama ini, kakak cukup sibuk dalam suatu darma perguruan
kita. Hm, aku berun-tung bisa hidup kembali dari suatu pengem-baraan dan
kini dapat berjumpa kembali dengan kakak... sungguh-sungguh aku..."
"Wirapati, adikku," Bagus Kempong terharu mendengar luapan ucapan Wirapati
yang terbesit dari lubuk hatinya. "Memang kami semua berprihatin memikirkan
engkau yang tiada kabar beritanya. Kami semua diperin-tahkan turun gunung
untuk mencari beritamu.
Tetapi engkau seperti terselimuti bumi, lenyap tiada bekas."
Mereka lantas saja berpelukan erat. Dan Sangaji jadi perasa. Pikir anak
muda itu, "Dua belas tahun guru mengembara hanya untukku, dengan
meninggalkan semua yang dicintai. Alangkah besar budinya terhadapku. Budi
besar setinggi gunung itu, entah bagaimana caraku membalas..." Tak terasa,
air mata anak muda mengembeng pada gundu matanya. Mendadak saja, Wirapati
berkata kepadanya.
"Kau mengerti sekarang, bahwa api ben-cana itu dinyalakan oleh Pangeran
Bumi Gede. Dialah yang menghancurkan kebahagiaan rumah tangga orangtuamu.
Dialah yang membunuh orangtuamu dan akhirnya mencelakakan pamanmu, Wayan
Suage. Dan dia pulalah yang menaruhkan jurang dalam antara engkau dan adik
angkatmu. Itulah sebabnya kukatakan, bahwa engkau harus bersikap hati-hati
terhadap adik-angkatmu. Karena dia dididik dalam keluarga agung, yang
terang-terang menjadi musuh keluargamu."
Sekarang barulah jelas bagi Sangaji maksud gurunya memperingatkan sikapnya
terhadap Sanjaya. Mengingat persahabatan orang tuanya, memang dia harus
bisa bersikap memaafkan dan lapang dada. Tetapi apakah Sanjaya memiliki
pandangan dan sikap hidup demikian, hanyalah setan dan malaikat-malaikat
yang tahu.
"Guru," akhirnya dia berkata dengan hati-nya. "Apakah faedahnya
memperebutkan suatu pusaka yang bukan hakku? Pusaka Pangeran Semono itu
entah kelak jatuh kepa-da siapa, apa peduliku?"
Mendengar ujar muridnya, Wirapati tertawa perlahan melalui dada.
Teringatlah ia, bahwa dahulu ia pernah mengucapkan kata-kata itu terhadap
Wayan Suage dan Ki Hajar Karang-pandan. Tak terduganya bahwa muridnya kini
mewarisi sikapnya yang perwira dan bersih sehingga mau tak mau ia jadi
terharu juga.
"Aji!" katanya menggurui, "Tak malu rasa-nya aku mempersembahkan terhadap
guru sebagai cucu-muridnya. Hanya saja, meng-ingat benda pusaka itu telah
merenggutkan nyawa orangtuamu dan pamanmu, alangkah akan sia-sia apabila
engkau bersikap dingin tak memedulikan. Lantas apakah arti korban ayah dan
pamanmu? Ingatlah, bahwa almar-hum pamanmu mempercayakan benda ke-ramat
tersebut kepadamu. Di alam baka be-tapa dia memperoleh ketenteraman,
apabila engkau mensia-siakan pesannya terakhir." Ia berhenti mencari kesan.
Meneruskan, "Tentang siapa yang berhak memiliki pusaka tersebut, baiklah
kita serahkan kepada kakek-gurumu. Biarlah Beliau yang menentukan.
Keputusan kakek gurumu tak pernah salah."
"Adikku Wirapati!" tiba-tiba Bagus Kempong menyahut.
"Benar-benar aku merasa keripuhan men-dengar semua ujarmu. Engkau berbicara
perkara pusaka Pangeran Semono, pembi-nasaan orang-orang Banyumas dan
kepen-tingan muridmu memperebutkan benda ter-sebut. Eh, apakah pusaka itu
benar-benar ada dalam percaturan hidup ini?"
Wirapati menoleh perlahan-lahan kepada kakak seperguruannya. Memang dahulu
gu-runya pernah mengabarkan adanya benda keramat itu. Tetapi sebagai benda
keramat yang benar-benar ada, betapa kakak sepergu-ruannya akan dapat
dibuat mengerti serta yakin? Karena itu dia berkata menegaskan, "Dua belas
tahun lamanya aku pergi tanpa berpamit Guru, meskipun bukan perkara benda
keramat tersebut, tetapi itulah yang menyebabkan. Apakah hal itu belum
meyakinkan Kakak?"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar