3.24.2019

CANTING PART 7




CANTING PART 7


Meski rasa malu masih terus menggelayuti, Sekar merasakan ada aliran hangat
yang mengalir di seluruh pembuluh darahnya mendapati jemarinya digenggam
seperti itu. Hangat, hangat sekali.


Baru kali ini ada seorang lelaki yang menggenggam jemarinya dengan begitu
kuat. Selama ini, hanya simbok yang selalu menggengam tangannya. Untuk
membimbingnya saat ia kebingungan, untuk menguatkannya saat ia dilanda
kesedihan. Bapak tak pernah melakukannya. Ah, selalu ada perih menyeruak
acapkali Sekar mengingat apapun tentang bapak. Bapak yang disayanginya,
namun tak pernah punya rasa sayang yang sama untuknya.


Bapak pernah sangat terpukul ketika ketiga jagoan laki-lakinya meninggal di
usia belia, dan kekecewaan itu kian bertambah saat sebelas tahun kemudian,
bukan bayi laki-laki yang dilahirkan simbok, melainkan bayi perempuan.
Bapak tak menyukainya, bapak menganggap anak perempuan tak akan ada
gunanya, hingga Sekar tak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah
yang selayaknya.


Namun kini, lihatlah. Bapak tampak sangat bahagia, bangga karena anak
perempuan tak bergunanya berhasil menjadi permaisuri hati Hadi, sosok
terpandang yang begitu disegani.


"Akhirnya kamu berguna juga. Bisa menggaet lelaki kaya," begitu kata bapak
hari itu, tepat setelah bapak menerima lamaran Hadi.


Sungguh, Sekar benci ini. Jadi yang disebut bapak sebagai berguna adalah
saat ia bisa menikah dengan lelaki kaya? Jadi alasan bapak menyetujui
lamaran Hadi semata-mata hanya karena kekayaan Hadi?


Sekar menoleh, menujukan pandangan pada sosok tegap di sebelahnya. Sosok
itu juga ternyata tengah menujukan manik matanya padanya.


"Terimakasih, Sayang. Terimakasih sudah bersedia membangun cinta
bersamaku," ucapnya, yang lagi-lagi mengalirkan getaran-getaran magis di
tiap sisi hati Sekar.


Sekar hanya membalasnya dengan sebuah sunggingan senyuman, lalu kembali
pada angannya yang tengah berkelana, mengais lembar demi lembar kisah
tentang bapak yang membuat hati kecilnya berteriak.


Sekar tak sanggup membendung airmatanya yang tumpah ruah saat gending
ketawang mijil wigaringtyas mengiringi prosesi sungkeman. Airmata itu kian
mengucur deras saat ia bersimpuh di hadapan sosok yang telah melahirkannya.
Terbayang segala pengorbanannya, terbayang segala kesabarannya, terbayang
segala sakit dan keikhlasannya.


Sekar meraih jemari yang sudah mulai rapuh itu dan menciumnya takzim.
Tubuhnya bergetar hebat.


"Mbok, Sekar nyuwun pangestunipun," ucapnya dengan airmata yang terus
membasahi wajah ayunya.


Perlahan, simbok membelai kepala putri semata wayangnya. ia juga tak
sanggup menahan bulir-bulir hangat yang keluar dari mata keriputnya.
Direngkuhnya kepala Sekar di pangkuannya, hingga suasana haru itu semakin
terasa.


"Simbok merestuimu, Nduk. Simbok ridha," ucapnya perlahan di sela sela isak
tangisan.


Sekar mengangkat kepalanya dari pangkuan simbok dan sejenak menatap wajah
tuanya. Kesabarannya paripurna. Itu yang Sekar lihat di sana. Wani ngalah
dhuwur wekasane, itu yang selalu dipegang simbok, hingga simbok tetap sabar
untuk bertahan meski bapak pernah menghianatinya, meninggalkannya untuk
menjalin cinta dengan seorang janda hanya karena bapak kecewa simbok tak
melahirkan anak laki-laki lagi seperti inginnya.


"Den Hadi, titip Sekar, ya. Hanya Sekar harta paling berharga yang Simbok
miliki. Tolong jaga dia, Den. Tolong bahagiakan dia. Simbok tahu selama ini
dia memendam duka, baik karena perlakuan ayahnya, juga karena dia tidak
memiliki kesempatan yang sama dengan kebanyakan anak-anak seusianya," pesan
simbok pada Hadi.


Hadi menggenggam jemari simbok erat-erat.


"Mbok, jangan panggil aku den lagi. Sekarang aku sudah menjadi anak
lelakimu, Mbok. Aku bukan majikan simbok lagi," terangnya, sembari menatap
wajah ibu dari permaisuri hatinya. Simbok membalasnya dengan airmata haru.


"Terimakasih sudah melahirkan Sekar, Mbok. Terimakasih sudah menghadirkan,
mendidik, dan membesarkan separuh jiwaku," ucap Hadi lagi, sembari takzim
mencium tangan simbok.


Hadi kembali menggandeng Sekar, membimbingnya untuk menuju kursi pelaminan.
Jemarinya tak pernah lepas dari jemari Sekar. Jemari ini... dulu Hadi
pernah menggenggamnya saat pemilik jemari ini masih belia, merengkuhnya
untuk berjalan ke rumah bersama saat si pemilik ia menangis karena
terjatuh, atau karena tersesat saat berjalan pulang Kini, jemari ini
digenggamnya sebagai garwa yang berarti sigaraning nyawa atau belahan jiwa.
Sesuatu terpatri dalam hatinya, bahwa akan terus berusaha membahagiakan
sigaraning nyawanya.


"Sekar...," panggilnya perlahan, tanpa melepaskan genggamannya. Sekar menoleh.


"Iya?" balasnya. Jantung Hadi berdegub lebih kencang mendengar suara lembutnya.


Hadi memandanginya. Kini kedua mata mereka beradu pandang. Masih terasa
bagaimana suasana ijab kabul yang tadi pagi diucapkannya di lantai satu
masjid kampus Universitas Gadjah Mada, sebuah janji suci yang setara dengan
parjanjian Rabb dengan rasulNya; mitsaaqan ghalidha.


"Aku mencintaimu," bisiknya di telinga Sekar.


Sekar merinding. Posisi Hadi terlalu dekat hingga tanpa sengaja bibirnya
menyentuh telinga Sekar. Lagi-lagi, Sekar hanya mampu membalasnya dengan
seutas senyuman, karena pembawa acara meminta mereka untuk berdiri,
menyambut para tamu yang hendak naik ke panggung pelaminan untuk menyalami
mereka.


Tak sedikit dari tamu yang datang yang kemudian memuji kecantikan Sekar,
yang kemudian terpesona dengan segala keanggunan dan pesona yang terpancar.


"Kalau rewangku seperti dia, aku juga tidak keberatan menikahinya," bisik
salah satu teman SMA Hadi. Hadi tertawa mendengarnya dan membalas dengan
satu cubitan kecil di lengan temannya itu.


Hadi dan Sekar masih terus menyalami tamu demi tamu yang datang, hingga
sejurus kemudian, Hadi terkesiap setelah melihat seseorang yang sangat
dikenalnya, berjalan perlahan menuju pelaminannya. Dr. Rahajeng Sukmawati.
Ajeng.


Ajeng melangkah perlahan. Pesonanya paripurna, beberapa pasang mata bahkan
tak mengerjap melihatnya. Dengan balutan kebaya mewah berwarna keemasan,
dan juga kain batik tulis mewah berwarna kecoklatan, Ajeng terlihat begitu
bersinar. Highheels 15 cm yang ia pakai menambah lekuk tubuhnya terlihat
semakin semampai. Gaya sanggul bouffant dipadu dengan poni menyamping, yang
dilengkapi dengan hiasan mahkota kecil membuat pesonanya semakin menyihir
siapa saja yang melihatnya.


Hadi mendesah. Entah mengapa ia merasa Ajeng sengaja berdandan sesempurna
itu untuk mengusiknya, untuk membuktikan padanya bahwa secara fisik, ia
jauh lebih paripurna dari pada sosok manis yang berdiri di sebelahnya. Hadi
memalingkan wajah. Benar secara fisik, Ajeng lebih paripurna. Mantan
Diajeng kabupaten Sleman, mustahil jika fisiknya tak menawan. Namun
sungguh, bukan itu alasan Hadi menjadikan Sekar sebagai tambatan hati.
Sepertinya Ajeng masih tak memahami itu.


"Félicitations pour votre mariage. Je te souhaite du bonheur," ucap Ajeng
pada Hadi, dengan bahasa Perancis yang begitu sempurna pengucapannya.


Hadi terhenyak. Dadanya tetiba bergemuruh. Apalagi saat Ajeng mengucapkan
itu sambil melirik Sekar, seolah ingin membuktikan bahwa secara
intelektual, ia juga jauh lebih baik daripada Sekar, anak ingusan yang
hanya lulusan SMA. Hadi melirik Sekar, khawatir sang istri jadi kembali
rendah diri karenanya.


"Merci d'être venu. Cela signifie beaucoup pour nous," kata Sekar, sambil
menyunggingkan sebuah senyuman, sejenak setelah mereka bertiga terjebak
dalam 3 detik keheningan.


Hadi terkesiap, begitu juga Ajeng. Napasnya mendadak tersengal, lalu ia
berlalu meninggalkan panggung pelaminan itu dengan sebuah senyuman. Senyum
yang dipaksakan untuk menutupi perasaannya yang mendadak kesal.


Hadi memicingkan mata. Ia melirik istrinya yang tengah asyik bersalaman
dengan tamu-tamu lainnya.


Mulut Hadi menganga, rasanya ia tak percaya pada apa yang baru saja di
dengarnya. Sekar? Dia... membalas ucapan Ajeng dengan bahasa Perancis juga?


Sebuah tepukan mengagetkan Hadi, membangunkannya dari keterpanaannya.
Tepukan dari sahabat baiknya, Haryo Penangsang yang datang bersama istrinya.


"Selamat, ya, Di, Sekar. Kami turut berbahagia," kata istri Haryo sambil
menyalami Sekar. "Kamu cantik sekali. Pantas saja Hadi tergila-gila
begini," sambungnya lagi.


"Yo, tadi Ajeng datang," bisik Hadi, begitu pelan, khawatir Sekar akan
mendengar.


"Iya, Di. Aku tidak bertemu dengannya, tapi sepertinya mobil kami parkir
bersebelahan. Dia tidak membuat masalah, kan?" bisik Haryo, tak kalah
pelan. Hadi bingung harus menjawab apa.


"Sudah, Di. Abaikan saja. Dia datang, berarti dia sudah menerima dengan
lapang. Tidak perlu kamu pikirkan," bisiknya lagi, mencoba menenangkan Hadi.


Ah, rasanya Hadi ingi memberitahu Haryo apa yang terjadi tadi, saat Ajeng
menyihir setiap mata dengan dandanannya yang begitu sempurna, saat ia
menggunakan bahasa Perancis untuk mengucapkan selamat padanya dan istrinya.
Sesuatu yang sangat tak wajar menurutnya.


"Kapan-kapan, ajaklah Sekar main-main ke rumah," kata Haryo kemudian. Hadi
mengangguk. Haryo kemudian memeluknya, dan membisikkan sesuatu yang membuat
pipi Hadi bersemu, juga membuat Hadi menghadiahinya dengan sebuah pukulan
kecil.


"Ojo kesusu, lho, Di. Ingat, dia masih 18 tahun," begitu bisiknya.


Hadi menghela napas. Kehadiran Ajeng tadi sungguh mengejutkannya. Perlahan,
di raihnya jemari istrinya kembali. Ia lalu mendekatkan jemari itu ke
wajahnya, dan memberikan sebuah kecupan di sana. Sekar hanya menurut saja,
meski sejujurnya kedua kakinya lemas karenanya. Ia malu luar biasa.


Hadi kembali terus menyalami para tamu yang masih terus datang silih
berganti, sambil sesekali melirik sang istri, berharap kebahagiaan ini akan
berlangsung selamanya, layaknya legenda Mimi dan Mintuna, sebuah legenda
cinta yang ada dalam budaya Jawa.


Konon, sejak zaman dulu orang Jawa menjadikan legenda 'Mimi dan Mintuna'
sebagai simbol untuk menggambarkan kesetiaan pasangan suami istri. Sebuah
kesetiaan sempurna, sebab keduanya berikrar untuk selalu bersama dalam suka
maupun duka, bersama hingga hanya kematian yang memisahkan mereka, sebuah
legenda yang melambangkan jalinan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.


Sayup-sayup tembang asmaradhana mengalun merdu memenuhi ruangan itu.


Gegaraning wong akrami,
Dudu banda, dudu rupa,
Amung Ati pawitane,
Luput pisan kena pisan,
Yen gampang luwih gampang
Yen angel, angel kelangkung,
Tan kena tinumbas arta.


[Bekal orang berumah tangga itu,
Bukan harta bukan rupa.
Namun hatilah bekal sesungguhnya.
Pernikahan sekali seumur hidup,
Kakau jodoh tidak akan kemana,
Namun jika bukan jodoh, maka tak akan bertemu jua.
Tak bisa dibeli dengan harta, apapun dan sebanyak apapun jumlahnya]


**********


Queen of the South Beach Resort, Parangtritis.


Sekar melihat sekelilingnya. Rasanya seperti mimpi. Ia seperti berada di
Karibia, sebuah kepulauan cantik dengan pesona bahari yang teramat
mengagumkan, padahal sebetulnya ia tengah berada di sebuah resort di pantai
selatan Yogyakarta, tempat di mana Hadi membawanya selepas resepsi di Grha
Sabha Pramana tadi.


Sekar mendulang takjub penuh kesyukuran. Di hadapannya, terhampar
pemandangan pantaiNya yang begitu luas. Semakin mempesona, ketika langit
mendadak berwarna keemasan, seiring dengan matahari yang perlahan terbenam,
kembali ke peraduan.


Sekar terhenyak. Tetiba ada tangan kekar yang memeluknya dari belakang. Ia
kikuk. Geletar-geletar aneh semakin merasukinya saat pemilik tangan kekar
itu semakim merapatkan dirinya, dan menyandarkan dagu di pundaknya, hingga
rahang kokoh itu bersentuhan dengan pipinya.


"Ayo, Sayang, kita masuk kamar. Sebentar lagi maghrib datang," begitu bisiknya.


Bersambung.


Wis, wis, nggak usah ngebayangin ๐Ÿ˜‚
Nantikan kelanjutannya di part 8 ๐Ÿ˜


**********
NOTES :
• Félicitations pour votre mariage. Je te souhaite du bonheur : selamat
atas pernikahanmu. Semoga bahagia.
• Merci d'être venu. Cela signifie beaucoup pour nous : terimakasih atas
kedatanganmu. Kedatanganmu sangat berarti untuk kami.




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar