3.25.2019

CANTING PART 8




CANTING PART 8


Sekar semakin kikuk. Lagi-lagi ia bingung harus bagaimana lantaran Hadi
masih belum melepaskan pelukannya. Padahal Hadi sendiri yang baru saja
mengajaknya untuk segera ke kamar karena Maghrib hampir datang. Namun ia
tak kunjung beranjak juga. Bahkan, pelukan itu semakin erat dirasakannya.


Sekar menundukkan kepalanya, sambil memainkan jemarinya. Rasanya kedua
kakinya melayang, tak lagi menapaki bumi.


"Den...," panggilnya, ragu.


"Hmm?"


Hadi hanya berdehem untuk menjawab panggilan istrinya. Ia masih membenamkan
kepalanya di pundak Sekar. Memejamkan matanya, menikmati sinar keemasan
mentari yang hendak beranjak pergi. Namun sejurus kemudian, Hadi lebih
merapatkan kepalanya hingga bibirnya menyentuh telinga Sekar.


"Jangan panggil aku den lagi. Ora ilok dimirengke. Panggil aku Mas. Mas
Hadi," bisiknya kemudian.


Sekar memejamkan mata. Getaran aneh itu semakin terasa.


"Itu... sudah mau maghrib, Den. Eh, Mas," kata Sekar, mengingatkan.


Rasanya aneh sekali menanggil orang yang sudah sedari kecil dipanggilnya
den dengan sebutan mas.


Hadi bergeming. Ia tetap pada posisinya untuk beberapa saat. Namun sejurus
kemudian, ia menggeser tubuhnya dari belakang Sekar ke sebelahnya. Tangan
kanannya merangkul pundak Sekar, sedang tangan kirinya meraih dan
menggenggam jemari tangan kiri Sekar. Sekar hanya bisa pasrah diperlakukan
demikian, meski sejujurnya jantungnya berdegub tak karuan.


"Sekar, coba lihat langit itu," bisiknya lembut. Sekar menoleh sekilas,
lalu kembali menatap indahnya langit senja.


"Lihatlah. Ada berapa warna yang tampak di sana?" tanyanya


"Banyak," jawab Sekar singkat. Ia masih berusaha menekan geletar-geletar
yang menjalari seluruh tubuhnya.


"Benar. Saat senja tiba, tidak hanya satu warna saja yang bertahta. Ada
perpaduan berbagai warna di sana. Ada hitam, jingga, kuning keemasan,
putih, biru, hingga merah yang merona. Kesemua warna itu berbaur menjadi
satu, menciptakan keindahan siluet warna senja," jelas Hadi panjang lebar.
Sekar masih belum paham arah pembicaraan Hadi.


Hadi melepaskan tangan kanannya dari pundak Sekar, sedang tangan kirinya
membimbing Sekar untuk beringsut menghadapnya. Kini keduanya saling berhadapan.


"Aku ingin kita seperti itu, Sekar. Aku dan kamu, sudah pasti kita berbeda
dalam banyak hal. Tapi mari kita satukan perbedaan kita untuk membangun
sebuah keindahan dalam pernikahan kita," katanya lagi, sembari menggenggam
kedua tangan Sekar.


"Tapi apa mungkin perbedaan warna yang mencolok tetap bisa bersatu
menciptakan keindahan, Mas?" tanya Sekar.


Sejujurnya, ia masih terus merasa rendah diri dengan statusnya yang hanya
seorang rewang. Ia merasa masih belum pantas berdiri di samping Hadi.


Hadi melepaskan tangan kanannya. Perlahan, Jemarinya bergerak memegang pipi
Sekar, sementara tangan kirinya masih menggenggam jemari Sekar.


"Kamu tahu bagaimana hitamnya gelap malam, kan? Hitam itu sangat kontras
dengan warna putih. Tapi lihatlah, putihnya sinar bulan hanya akan terlihat
menawan saat berada di kegelapan malam," jelasnya bijak, membuat Sekar
semakin terpana karenanya. Hadi selalu bisa membuat keraguannya hilang,
membuat kegelisahannya banyak berkurang.


"Jangan pernah merasa tak pantas lagi. Dari milyaran manusia yang tercipta,
dari puluhan, bahkan ratusan orang yang berada di sekitarku, hatiku
berhenti di kamu. Itu artinya, kamu memang pantas untukku," katanya.


Sekar menyunggingkan senyuman. Bulir-bulir segar kesejukan kembali
mengaliri hatinya yang sempat kembali diterpa kegelisahan.


Keduanya lalu bergandengan, berjalan beriringan melangkah menuju kamar yang
sudah dihias sedemikian rupa untuk malam pengantin mereka. Namun langkah
Sekar terhenti saat ia sudah berada tepat di depan pintu kamar. Ia kembali
merasakan semburat keraguan. Selama ini, ia memang sering keluar masuk
kamar Hadi. Untuk membersihkan, atau untuk mengambil dan menaruh pakaian.
Tapi sekamar dengan Hadi? Tak pernah sekalipun Sekar membayangkan ini.


"Lho, kenapa berhenti?" tanya Hadi. Mata kanannya mengerling manja.


"Kamu malu sekamar dengan suamimu sendiri, hmm?" tanyanya, sembari
telunjuknya menyentil dagu lancip Sekar, membuatnya semakin berdebar.
Sementara tangan satunya berusaha membuka pintu kamar.


"Bukan begitu, Mas. Tapi... aw!"


Sekar baru saja akan menjelaskan saat tiba-tiba lengan kekar Hadi
merengkuhnya, lalu menggendongnya, membuatnya berteriak seketika. Sekar
hampir saja meronta, tapi ia urung melakukannya. Ia hanya bisa pasrah Hadi
menggendongnya seperti ini. Tanpa ia sadari, kedua tangannya justru kini
melingkar di leher Hadi.


**********


Bulir-bulir bening terus mengalir di wajah Ajeng. Ia terus memeluk guling
yang sudah basah terkena linangan airmatanya. Hatinya remuk melihat sosok
yang dicintainya siang tadi bersanding di pelaminan dengan gadis yang
menurutnya sama sekali tak sebanding dengannya. Perasaannya sungguh
teriris. Dokter Rahajeng Sukmawati, putri seorang guru besar di fakultas
kedokteran Universitas Gadjah Mada yang juga merupakan dokter Sp.Og
terkenal di seantero Yogyakarta, kalah oleh anak seorang rewang yang hanya
berasal dari dusun kecil di pucuk gunung Sumbing sana. Bukankah ini memalukan?


Tangisnya semakin keras.


Tapi, salah satu sisi hatinya merutuki dirinya, atas cinta dalam diamnya
yang selama ini tak pernah diungkapkannya. Benar, ada kalanya, cinta dalam
diam memang indah, namun keindahannya bisa berbalik menjadi sebuah kepiluan
jika rasa itu didiamkan terlalu lama.


Ajeng mendesah. Ia sungguh menyesal. Tak seharusnya ia terus menyimpan rasa
cintanya pada Hadi dalam diam. Andai saja dulu ia punya keberanian untuk
mengungkapkan, mungkin ia dan Hadi sudah terikat dalam ikatan pernikahan.
Kalaupun ternyata Hadi tak memiliki rasa yang sama, setidaknya ia tidak
menghabiskan waktunya untuk menunggu hal yang sia-sia.


Ajeng terus merutuki kebodohan dirinya, mengingat bahwa tak selamanya cinta
dalam diam berakhir indah laksana kisah Ali dan Fatimah, putri kanjeng Nabi.


Diraihnya sebuah foto yang bertengger rapi di meja riasnya, fotonya bersama
Hadi di depan Pulteney Bridge, sebuah jembatan klasik yang melintasi sungai
Avon di kota Bath, Inggris. Hadi mengajaknya berjalan-jalan ke kota ini
saat ia mengunjungi Hadi ke London, sebuah kota di wilayah barat daya
Inggris yang disebut-sebut sebagai the most romantic city in England atau
kota paling romantis di Inggris.


Ia merasa tengah melayang di antara dandelion-dandelion yang beterbangan
saat Hadi mengajaknya ke kota cantik ini. Memang, tak ada hal spesial yang
Hadi lakukan. Mereka juga tak hanya berdua saja saat ke sana. Tapi bagi
Ajeng, hal itu menorehkan kenangan manis yang terus terpatri di hatinya.


Jemari Ajeng bergetar saat memegang foto itu. Dibelainya wajah Hadi dengan
senyum memukaunya di foto itu. Celana panjang, sepatu kulit, coat panjang,
dan juga syal yang dipakainya, membuat tampilannya semakin mempesona.


"Suatu hari nanti, aku akan mengajak istriku ke kota ini, duduk bersama di
taman romantis Prior Park saat musim semi tiba. Merayakan ulang tahunnya
sambil menikmati indahnya pesona bunga musim semi, juga sambil membicarakan
masa depan kami berdua nanti," kata Hadi kala itu.


"Memangnya ada yang mau sama kamu, Mas?" goda Ajeng kala itu.


"Aku tidak tahu apa dia mau denganku. Tapi aku pasti akan memperjuangkannya
agar dia bisa menemani hari hari di seluruh sisa hidupku," jawab Hadi tenang.


Ajeng membalasnya dengan senyuman penuh arti, sebab kala itu ia yakin bahwa
ia adalah sosok yang nanti akan disebut Hadi sebagai istri. Tapi, rupanya
ia salah. Hadi tak pernah menganggapnya sebagai sosok yang berarti.


"Kenapa kamu tega sekali, Mas? Kenapa kamu tega membiarkan tahun demi tahun
penantianku sia-sia?" isaknya.


"Argh!" teriaknya. Bingkai foto yang tadi dipegangnya, dibanting dengan paksa.


Napasnya kembali tersengal, kesal, saat ia kembali ingat bagaimana gadis
ingusan itu membalas ucapannya dengan bahasa Perancis juga. Memang,
sejujurnya ia sengaja melakukan itu untuk membuktikan pada Hadi bahwa dalam
berbagai hal, terutama dalam hal intelektual, ia jauh lebih tinggi daripada
gadis kampung yang ia nikahi. Tapi ulah gadis ingusan tadi, betul betul
mempermalukannya di depan Hadi.


Kebencian di hatinya kini kian menjadi-jadi.


**********


Sekar tak mampu menahan airmatanya saat Hadi memegang ubun-ubunnya sambil
melafalkan sebuah doa keberkahan. Sedikit ragu, Sekar kemudian meraih
tangan Hadi dan takzim mengecupnya, segera setelah Hadi menyelesaikan
doanya. Hadi membalasnya dengan satu kecupan kecil di keningnya. Mereka
baru saja selesai shalat Maghrib bersama.


"Yuk, makan," ajaknya kemudian, setelah keduanya selesai membersihkan diri.


"Setelah makan, kita bisa bersenang-senang," bisik Hadi perlahah, sambil
melingkarkan kedua tangannya di pinggang Sekar.


Sekar hanya mampu terdiam. Dadanya serasa ingin meledak. Belum hilang
gemetar hatinya karena Hadi menggendongnya tadi, kini ia kembali harus
menahan gejolak seperti itu lagi.


"Kenapa diam saja? Mau aku gendong lagi?" kata Hadi. Kali ini mata kirinya
mengerling genit. Sekar langsung beringsut melepaskan diri dari tangan
Hadi, takut digendong lagi.


"Saya... saya bisa jalan sendiri," katanya. Hadi tertawa mendengarnya.


"Où apprenez-vous le français?" tanya Hadi, begitu mereka berdua sampai di
tempat makan.


"Mas Hadi bicara apa to?" tanya Sekar, tak paham apa yang baru saja
suaminya katakan.


"Où apprenez-vous le français?" Hadi mengulangi pertanyaannya. Sekar
menggelengkan kepalanya.


"Saya tidak paham Mas Hadi bicara apa," katanya.


Kini giliran Hadi yang bertanya-tanya. Bukankah tadi siang istrinya bisa
menjawab dengan bahasa Perancis? Kenapa sekarang...


"Où apprenez-vous le français, di mana kamu belajar bahasa Perancis?"
tanyanya sambil menatap lembut wajah ayu sosok di hadapannya. Ia tampak
cantik dengan jilbab hijau tua, dipadu dengan baju terusan panjang warna
putih dengan hiasan bunga-bunga hijau tua.


"Saya... saya tidak bisa bahasa Perancis, Mas," jawabnya polos, membuat
Hadi semakin bertanya-tanya.


"Tapi, di resepsi tadi..."


"Oh, itu. Saya tidak bisa bahasa Perancis, Mas. Dulu ada rombongan
mahasiswa Sastra Perancis UGM yang berkunjung ke sekolah saya. Mereka
sedikit mengajari kami. Kebetulan salah satu contoh percakapan yang
digunakan adalah contoh percakapan ketika menghadiri sebuah pesta
pernikahan. Kebetulan yang diucapkan Mbak cantik tadi sama persis dengan
yang dicontohkan waktu itu. Makanya tadi saya tahu dan bisa menjawab dengan
bahasa Perancis juga," jelasnya.


Hadi membelalakkan matanya, tapi kemudian ia tak bisa menahan tawanya. Ia
sungguh mengira istrinya bisa berbahasa Perancis dengan begitu fasih. Tapi
ternyata... Lagi-lagi Hadi tertawa, terutama saat ia ingat mimik muka Ajeng
yang mendadak berubah karenanya.


"Mas Hadi mengira saya bisa bahasa Perancis, ya? Pasti sekarang Mas kecewa
karena ternyata saya tidak bisa bahasa Perancis," kata Sekar. Ia kembali
menundukkan kepalanya.


Hadi menghela napas. Seharusnya ia tidak tertawa. Salah salah, istrinya
bisa merasa semakin rendah diri karenanya.


"Lho, kok jadi mbesengut?" tanyanya, mencoba mencairkan suasana.


"Kamu tahu tentang filosofi kopi?" tanya Hadi, sambil menyeruput kopinya
yang baru saja disodorkan oleh pelayan. Ia sengaja memesan kopi, berharap
segelas kopi ini akan membantu tubuh letihnya tetap terjaga untuk tugas
pertamanya sebagai seorang suami malam ini.


Sekar menggelengkan kepalanya. Kepalanya masih menunduk. Rasa malu dan
rendah diri yang masih terus menggelayuti membuatnya tak berani menatap
suaminya sendiri.


"Sudah, kita lupakan bahasa Perancis. Tidak penting kamu bisa bahasa
Perancis atau tidak. Yang penting kamu bisa mengerti bahasa cintaku,"
katanya. Sekar tersipu mendengarnya.


"Kita bahas filosofi kopi saja. Mau dengar?" tanya Hadi.


Sekar menganggukkan kepalanya. Entah mengapa ia selalu suka saat Hadi
berbicara seperti ini. Bijak, seperti yang sering dilakukan simbok selama ini.


"Kamu tahu, kan kalau kopi itu rasanya pahit?" tanyanya. Sekar mengangguk,
lalu kemudian menyeruput teh hangatnya.


"Begitu juga dengan kehidupan ini. Kadang akan terasa begitu pahit. Tapi
sepahit-pagitnya kopi, kita bisa membuatnya manis dengan cara menambahkan
gula. Gula dalam bahasa Jawa disebut gulo, artinya gulangane roso atau
mengelola perasaan baik. Apapun yang terjadi, Khusnudhon, selalu
berprasangka baik. Kehidupan yang pahit, tak akan begitu terasa sulit saat
kita bisa berprasangka baik pada Gusti Pangeran." Hadi kembali menyeruput
kopinya, sedang Sekar serius menyimaknya.


"Lalu?" Sekar tertarik mendengar penjelasan suaminya.


"Selanjutnya, agar manisnya merata, gula ini harus kita aduk. Aduk dalam
bahasa Jawa disebut udhek, artinya usahane ojo nganti mandek, usahanya
jangan pernah berhenti. Selain kita berprasangka baik, kita juga harus
terus berusaha untuk membuat kehidupan kita tidak sia-sia, jangan pernah
berhenti untuk mencoba mengukir bahagia."


Sekar menatap suaminya, takjub. Sosok di hadapannya ini memang bijak
sekali. Hadi membalas tatapannya, lalu mengajak istrinya kembali ke kamar
setelah mereka selesai makan.


Sekar merasakan seluruh tubuhnya gemetar saat ia kembali memasuki kamarnya.
Sungguh, ia merasa tegang sekali.


Selepas shalat isya, Sekar hanya terdiam di ranjang. Bingung apa yang harus
dilakukan. Sedangkan Hadi masih berada di kamar mandi. Entah apa yang
dilakukannya.


Sekar terkesiap saat Hadi tiba-tiba meredupkan lampu kamar dan perlahan
mendekatinya di sisi ranjang.


Lembut, dilepasnya perlahan jilbab hijau yang menutupi rambut Sekar. Rambut
hitam bergelombang itu membuat istrinya semakin tampak menawan. Disibaknya
rambut itu perlahan.


"Kamu baik-baik saja?" tanya Hadi, setelah melihat istrinya mendadak
terlihat begitu pucat pasi.


Lalu Hadi merutuki dirinya dalam hati. Ia ingat pesan Haryo, sahabatnya
saat resepsi tadi.


"Ojo kesusu, Di. Ingat, dia masih 18 tahun."


"Mas Hadi... tidak akan melakukan itu sekarang, kan?" tanya Sekar. Seluruh
tubuhnya terasa semakin tegang.


"Saya... saya belum siap," katanya, lalu kemudian terisak.


Hadi tersenyum melihatnya, lalu mendaratkan sebuah kecupan mesra di kening
istrinya. Ternyata, malam pengantin bisa semenakutkan ini untuk istri
belianya. Diusapnya kepala sosok di hadapannya itu dengan penuh cinta.


"Jangan khawatir. Aku tidak akan melakukan itu sekarang. Aku akan menunggu
sampai kamu siap," katanya. Jemarinya lalu bergerak lincah, menghapus
airmata sosok yang teramat dicintainya.


Sekar merebahkan dirinya, dengan rasa tegang yang masih menggelayuti
seluruh tubuhnya. Namun entah mengapa ketegangan itu menjadi sebuah
ketenangan saat Hadi memeluk pinggang rampingnya, membuat matanya kian
berat, lalu terlelap.


Pelan, dibelainya rambut sosok yang sudah terlelap itu. Ada rasa syukur,
juga rasa bahagia menggelayuti. Namun, ada sedikit sesal juga dalam hati.


"Sia-sia aku minum kopi dua cangkir tadi," batin Hadi.


(Bersambung)


**********




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar