3.25.2019

@bende mataram@ Bagian 17




@bende mataram@
Bagian 17


Digugat pikiran demikian, hatinya hampir meledak. Ia menyibakkan kerumunan
penduduk yang lagi sibuk memadamkan api. Hatinya pilu tersayat-sayat. Rumah
panjang yang tadi masih berdiri begitu megah, kini hancur berantakan jadi abu.
Mendadak terciumlah bau daging hangus. Tanpa menghiraukan pertimbangan yang
lain, ia melesat menerobos puing tiang-tiang rumah. Bara api diinjaknya
berserakan.


Ia melihat beberapa mayat menggeletak hangus. Ah, pastilah ini akibat suatu
pertempuran seru. Kata hatinya hampir meledak. O Hajar, mengapa kamu
menghancurkan keba-hagiaan orang?


Karena tak tahan diamuk deru hatinya, ia menghajar tiang-tiang rumah
sehingga menja¬di roboh berserakan. Orang-orang yang meli¬hat
sepak-terjangnya, memekik terkejut dan undur serentak. Tetapi ia tak
mempedulikan. Segera ia membungkuki tiap mayat dengan pertolongan sebatang
kayu yang masih menyala. Beberapa saat kemudian mayat Made Tantre telah
dikenalnya. la jongkok. Tangannya menggigil.


"Bukankah kamu yang bernama Made Tantre?" bisiknya. "Kamu seorang laki-laki
seperti kata-katamu sendiri. Sekarang akulah saksinya, kamu benar-benar
seorang laki-laki sejati. Di mana anak-istrimu? Di mana pula sahabat serta
anak-istrinya? Made Tantre! Made Tantre aku amat menyesal berkenalan
denganmu begitu cepat. Tak kukira, kamu berani mempertahankan kedua pusaka
itu semata-mata karena pesanku. Baik, selama hidupku aku takkan tentram
sebelum dapat mewujudkan harapanmu. Akan kucari anak dan kedua pusaka itu."


Setelah berkata demikian, ia bersujud dalam. Mukanya kena abu dan hangus.
Selang beberapa lama kemudian, ia menegakkan kepalanya. Mukanya berubah
menjadi hitam kelabu. Dalam malam gelap, seluruh kepala¬nya tidak nampak
lagi oleh penglihatan mata. Orang-orang kampung yang mengawasinya dari jauh
meremang bulu romanya. Karena mengira dia penjelmaan setan tak berkepala.


Malam itu juga ia berangkat hendak mencari jejak. Tadi dia mendapat
penjelasan, kalau pemimpin rombongan Banyumas membawa seorang perempuan dan
seorang anak. Tak peduli anak dan istri siapa, ia harus merebut kembali.
Dia berjanji dalam hati akan merawat dan mengasuhnya sebaik mungkin sebagai
penebus kesalahan.


Secepat kilat ia menuju ke barat. Ia berputar-putar dari desa ke desa.
Dugaannya keras, kalau rombongan dari Banyumas belum meninggalkan Desa
Karangtinalang jauh-jauh. Bukankah keluarga Wayan Suage tidak ada di tengah
puing rumahnya. Entah mereka selamat atau tertawan, pastilah kedua pusaka
itu masih ada padanya.


Dugaannya tepat. Waktu itu Kodrat si tinggi jangkung berada di gardu di
dekat Desa Kaliputih. Ia lagi memeriksa Rukmini dan Sangaji untuk mendapat
keterangan tentang kedua pusaka Pangeran Semono. Empat orang bawahannya
disuruhnya berjaga di sekitar gardu, sedangkan yang lain diperintahkan
menjejak lenyapnya Wayan Suage. Mendadak ia mendengar salah seorang
penjaganya menjerit tinggi. Terkesiap ia menjenguk ke luar. Dilihatnya
seseorang yang berpakaian pendeta lagi membekuk penjaga itu. la kenal
bahaya dan cepat-cepat mendekap mulut Rukmini dan Sangaji. Kedua orang itu
kemudian diringkusnya cepat dan digulingkan ke dalam kotak penyangga
gambang . Kemudian ia melompat keluar.


"Siapa?" bentaknya.


Hajar Karangpandan sedang menghajar ketiga penjaga yang lain sekali
rampung. Mendengar bentaknya itu, segera ia menghampiri.


"Bilang, siapa yang bernama Kodrat?"


Belum lagi Kodrat membuka mulut, lengannya kena disambar dan ditekuk ke
punggung. Alangkah sakit! Tak berani dia berkutik. Ia berpura-pura bersikap
lemah seolah-olah seorang yang tak mempunyai kepandaian berkelahi. Kemudian
berkata merintih, "Sang pendeta mencari siapa?"


"Orang yang bernama Kodrat si jahanam itu. Apa betul kamu?"


"Bukan, bukan! Dia pemimpin kami," sahut Kodrat dengan licik. "Dia...
dia... ke sana dengan membawa seorang perempuan dan anak..."


Hajar Karangpandan kena dikelabui. Dikendorkan terkamannya tetapi pandang
matanya masih tajam luar biasa.


Kodrat memanggil salah seorang penjaganya yang tadi kena hantam Hajar
Karangpandan. Dengan suara gugup dia berkata, "Tolong antarkan sang Pendeta
ini ke Kodrat!"


Penjaga yang kesakitan itu terlongok-longok keheranan. Dia belum dapat
memahami akal pemimpinnya.


"Cepatlah!" desak Kodrat dengan suara khawatir. "Cepat antarkan!"


Ia mendorong penjaga itu dan dipaksa membawa Hajar Karangpandan pergi.
Kemu¬dian memberi perintah kepada penjaga yang lain. "Ikuti dia dan serang
pendeta itu!"
Setelah memberi perintah demikian, cepat-cepat ia memanggul kotak penyangga
gambang. Dan lari memasuki kepekatan malam. Ia tahu, pendeta itu pasti akan
mencarinya lagi. Melihat tenaganya yang besar tidaklah sukar membekuk
keempat bawahannya tadi. Dan mau tak mau mereka pasti mengaku siapa dia
sebenarnya.
Berpikir demikian, ia jadi ketakutan. Larinya dipercepat. Dalam sekejap
saja, Desa Kaliputih telah ditinggalkannya jauh. Taksirnya, kalau tidak ada
halangan lagi Desa Selakrama yang terletak di tepi jalan Wonosobo -
Banyumas akan dapat dicapainya sebelum tengah malam. Tetapi Sangaji yang
diringkusnya di dalam kotak penyangga gambang mulai me¬rintih. Akhirnya
malahan menangis ketakutan.


"Diam!" bentaknya. Karena dibentak Sangaji tidak diam. Sebaliknya tangis
Sangaji makin keras. Dia pun memanggil ibunya amat berisik.


"Diam!" bentak Kodrat lagi. "Kalau tak mau diam, kulempar ke kali. Ayo,
diam tidak!"


Sangaji kian meronta mendengar bentakan itu. Seumur hidupnya, belum pernah
dia diben¬tak ayah-bundanya. Keruan saja bentakan itu membuatnya menggigil
ketakutan. Ia mulai meronta-ronta di dalam kotak penyangga gambang. Kodrat
jadi kuwalahan .
Akhirnya Kodrat berbicara pada Rukmini dengan nada mengancam, "Hai suruhlah
anakmu menutup mulut! Cepat!"


Rukmini yang semenjak dilarikan dari rumah kehilangan iman, tidak menyahut.
Hatinya amat berduka, dendam dan benci kepada semuanya. Tetapi hati ibunya
tidak begitu saja terenggut hilang. Jika terdengar anaknya menangis, ia
memiringkan badan. Rasa hatinya kian tersayat-sayat. Dipipitkan badannya ke
anaknya, tetapi mulutnya tak mampu bicara.


"Hai! Kaudengar tidak tangis anakmu? Bagaimana kalau sampai terdengar
orang, apa jadinya!" bentak Kodrat jengkel. Ia menunggu. Rukmini tidak
menyahut. Hanya kotak pe¬nyangga gamelan terasa bergoyangan. Tetapi tangis
si anak kian menjadi-jadi. Ia mendongkol. Diturunkan kotak penyangga
gamelan dari pundaknya, kemudian diletakan di tanah. Ia membuka
ringkusannya dan menampar pipi Sangaji.


"Mengapa kautampar dia," bentak Rukmini.


"Kau dapat menutup mulutnya tidak? Su¬ruhlah dia diam!" sahutnya tak
peduli. "Kalau tidak, kulempar dia ke kali. Apa rugiku?" Perkataan Kodrat
bukanlah ancaman semata. Dia dapat berbuat begitu. Karena pertimbangan
itulah, terpaksa Rukmini membujuk anaknya.


"Jangan kauringkus dia," kata Rukmini setengah meminta belas kasihan.


"Apa kaubilang?" bentak Kodrat. "Mestinya harus kusekap mulutnya dengan kain."


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar