From: 'suhardono'
1. Sri Orang Miskin
Sri bekerja sebagai kasir di tempat karaoke dengan gaji Rp 750 ribu per bulan. Suaminya Hendra Wijaya (59) merupakan penjual HP bekas. Mereka berdua dengan keempat anaknya hidup berpindah-pindah dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya. Terakhir mereka hidup di rumah di Kampung Malang, Semarang.
Di rumah bercat kuning itu, mereka kembali berkumpul bersama setelah Sri bebas. Kontrakan sederhana di sebuah gang kecil. Bahkan untuk perabotan tamu pun mereka tidak punya. Tamu yang datang harus duduk lesehan.
2. Penjara Membuat Keluarga Sri Terpuruk
Akibat peradilan sesat yang dialaminya, keluarga Sri terpuruk. Suaminya jatuh sakit dan sempat mengalami anfal. Sri tidak bisa menjenguk suaminya saat suaminya masuk ICU RS Dr Kariadi sebab Sri masih dipenjara.
Salah satu anaknya harus drop out dari sekolah. Kehidupan keluarganya tergantung dari anak pertamanya yang bekerja di toko optik sebagai pramuniaga. Sri yang awalnya sebagai tulang punggung keluarga, sontak tidak bisa memberikan nafkah apa pun selama dipenjara.
Tidak hanya itu, anak-anak Sri pun mengalami kegoncangan kejiwaan. Mereka sudah tidak percaya lagi kepada institusi hukum, terutama kepolisian. Anak Sri mengaku traumatik melihat seragam polisi.
3. Tuduhan Hampa
Sri ditangkap pada Juli 2011. Saat itu dia dijadikan tersangka dengan dugaan mempekerjakan anak di bawah umur dengan ancaman sesuai UU Perlindungan Anak maksimal 10 tahun penjara. Namun tuduhan itu hampa. Sebab Sri hanyalah karyawan dan tidak punya akses mempekerjakan anak di tempat karaoke.
Sri sempat dijatuhi hukuman 8 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang yang dinaikkan menjadi 1 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi (PT) Semarang. Belum lagi ditambah denda Rp 2 juta.
Nah, untuk membayar denda itu, keluarga Sri harus utang sana-sini dengan harapan bisa lebaran bersama keluarga. Namun setelah dibayar, harapan itu sirna. Sebab Sri harus menghuni penjara 1 bulan lagi atau total Rp 13 bulan.
Titik cerah mulai dirasakan saat Sri dibebaskan oleh tri hakim agung yaitu Prof Dr Komariah Emong Sapardjadja, Suhadi dan Dr Salman Luthan pada Juli 2012.
4. Ganti Rugi Jauh dari Harapan
Atas apa yang dialaminya, lalu Sri pun menggugat negara. Didampingi LBH Mawar Saron lalu menggugat jaksa dan polisi. Yaitu supaya mengganti:
- Rp 1 juta sebagai uang ganti rugi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 27 Tahun 1983 pasal 9 ayat 1
- Rp 2 juta (uang denda yang telah dibayar) dan Rp 2.500 (biaya perkara)
- Rp 12 juta (gaji sesuai UMR Semarang x 13 bulan kerja).
Gugatan ini ditolak PN Semarang. Di tingkat banding, PT Semarang menganulir dan mengadili sendiri yaitu memberikan ganti rugi Rp 5 juta kepada Sri, mengembalikan denda yang telah dibayar Rp 2 juta Sri ke negara dan mengembalikan biaya perkara Rp 5 ribu yang telah dibayar Sri ke negara.
Vonis ini berkekuatan hukum tetap setelah MA tidak menerima kasasi jaksa pada 6 Januari 2014.
5. Salinan dan Uang Ganti Rugi Belum Diterima
Namun siapa nyana, meski telah 7 bulan berlalu, Sri belum mendapat apa yang menjadi haknya. Bagi orang kecil seperti Sri Mulyati, dia hanya bisa pasrah dan menerimanya.
"Nggak papa. Ya mau bagaimana lagi," kata kuasa hukum Sri, Direktur LBH Mawar Saron, Guntur Perdamaian, saat berbincang dengan detikcom, Kamis (14/8/2014).
Padahal, ganti rugi tersebut dirasa jauh dari rasa keadilan. 13 Bulan hidup di penjara dinilai sangat tidak pantas diganti dengan uang Rp 5 juta. Apalagi, hal itu telah menimbulkan kerugian immateril berupa traumatik, kebebasan dan nama baik serta martabatnya di masyarakat.
"Yang terpenting dari kasus ini adalah supaya menjadi pembelajaran bagi polisi dan jaksa lebih profesional. Menjadi cambuk supaya mereka tidak mengulangi lagi perbuatannya," ujar Guntur.
Lantas apa kata Jaksa Agung Basrier Arief atas peradilan sesat ini?
"Saya tidak tahu," kata Basrief di sela-sela pidato kenegaraan Presiden SBY, pekan lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar