@bende mataram@
Bagian 240
Warok Kudawanengpati tercengang sejenak mendengar ujar Sangaji, sampai dia
berpaling kepada Watu Gunung untuk memperoleh per-timbangan.
"Tanyalah kepada setan. Siapa tahu? Andaikata tahu, kenapa?" "Aku ingin
kalian menunjukkan."
"Apa kauhilang?" Kudawanengpati bertam-bah heran. Tetapi nada suaranya
bercampur marah.
"Kalian pun termasuk orang-orang yang tidak baik. Sedikit banyak kalian
seia-sekata dengan jahanam itu," Sangaji menuduh.
"Eh, bocah ingusan, jangan engkau berla-gak main menuduh. Apakah engkau
sengaja mencari-cari perkara?"
"Hm... jika kalian emoh dituduh seia-sekata, apakah kepentinganmu datang ke
Gunung Damar? Bukankah kalian hendak memaksa kami agar menerangkan tentang
tempat beradanya kedua pusaka wasiat itu? Nah, cobalah berkata bahwa
kedatangan kalian semata-mata hendak mengucapkan selamat ulang tahun kepada
Eyang Panembahan. Hayo, katakan!" damprat Sangaji dengan napas
tersengal-sengal. Memang dia tak pandai berdebat dan berbicara.
Kata-katanya itu sesungguhnya hanya merupakan letupan keadaan hatinya
belaka. Susahnya bukan main, sehingga ia perlu menggunakan seluruh tenaganya.
Meskipun demikian, karena apa yang dikatakan berdasarkan suatu kenyataan,
Warok Kudawanengpati terbungkam kare-nanya. Tiba-tiba meledak. "Hai bocah
gen-deng! Siapa kau sebenarnya? Begini berani terhadap kami?"
"Aku Sangaji, murid Wirapati yang kalian aniaya, bukan?"
"Kau menuduh kami menganiaya gurumu. Baik! Kau mau apa?"
"Aku mau mematahkan tulang-tulangmu juga!" sahut Sangaji. Dan di luar
dugaan, sehabis berkata demikian ia meloncat dari pelana kudanya dan terus
menghantam. Keruan saja Warok Kudawanengpati jadi kelabakan karena diserang
secara mendadak. Tetapi sebagai seorang pendekar yang sudah berpengalaman,
ia tak menjadi gugup. Cepat ia berkisar dari atas kudanya dan melompat
turun pula ke tanah.
Tetapi Sangaji bergerak sangat gesitnya. Tanpa disadari, dia mengeluarkan
gerak tipu daya tulisan Kyai Kasan Kesambi, yang baru dipelajari semalam.
Di luar dugaan akibatnya bukan main. Karena mendendam pembalasan dan
ditambah dengan dua ilmu saktinya— Bayu Sejati dan Kumayan Jati—gaya
pukulannya luar biasa kerasnya sampai angin berkesiur tajam. Warok
Kudawanengpati terperanjat. Cepat ia hendak menjejak mundur, tapi kasep.
Gaya tulisan Sangaji tadi belum habis. Jarinya masih mencengkeram maju
membuat kata sambungnya. Kemudian tangan kirinya menyodok dengan
mengeluarkan tenaga pukulan ilmu sakti Kumayan Jati. Tahu-tahu punggung
Warok Kudawanengpati kena diga-blok. Biak! Tubuh Warok Kudawanengpati
terpental menumbuk kudanya dan manusia berikut binatangnya terpeleset
sepuluh langkah lebih. Lalu jatuh terbanting di atas tanah.
Peristiwa itu terjadi dengan sangat cepat. Baik Sangaji maupun rombongan
anak murid Resi Buddha Wisnu ternganga-nganga heran dan terperanjat
menyaksikan kesudahannya. Sangaji tak menduga sama sekali, bahwa jurus yang
dimainkan bertenaga luar biasa karena dibantu tenaga sakti ilmu Kumayan
Jati. Memang tenaga sakti ilmu Kumayan Jati tak olah-olah besarnya.
Tetapi semenjak berguru kepada Gagak Seta, belum pernah tenaga saktinya
tersalur begitu hebat. Maka ia percaya bahwa ilmu Kyai Kasan Kesambi
merupakan saluran pem-buangan tenaga dahsyat. Dengan tenaga gabungan ilmu
ajaran pendekar sakti Gagak
Seta dan tata napas Bayu Sejati, merupakan gaya keseimbangan luar biasa
serasi. Yang
pertama, cepat bertenaga dan tiada putusnya seperti air mengalir. Yang
kedua, bertenaga utuh. Dan yang ketiga, memberi landasan kokoh. Sebaliknya,
rombongan anak murid Resi Buddha Wisnu tak pernah menduga, bahwa Warok
Kudawanengpati akan bisa dijatuhkan begitu gampang. Seperti diketahui,
Warok Kudawanengpati bukanlah tokoh sem-barangan.
Namanya disegani dan ditakuti lawan. Kekalahannya merupakan suatu
pertanyaan teka teki yang susah ditebak. Tetapi apabila diteliti letak
kesalahannya disebabkan karena merendahkan lawan, masih terluka dalam
akibat benturan tenaga dengan Gagak Handaka dan Ranggajaya dan diserang
dengan tiba-tiba dalam keadaan tak terjaga-jaga. Meskipun demikian,
bagaimanapun juga kejadian tersebut berlangsung cukup terang dan wajar.
Betapa sulitpun kedudukannya, bagi seorang pendekar semacam dia takkan
gampang-gampang bisa diruntuhkan dalam waktu secepat demikian.
Melihat Warok Kudawanengpati masih saja menggeletak di tanah, pendekar
sakti Watu Gunung terus saja menjepit kudanya dan menerjang dengan tak
segan-segan lagi. Tetapi Sangaji telah bersiaga. Gesit ia memutar tubuh dan
melepaskan gaya coretan udara yang lain. Bluk! Punggung Watu Gunung kena
terhajar sampai terpental dari atas kudanya.
Dengan berjumpalitan di udara, Watu Gunung turun ke tanah. Ia bisa tegak
berdiri di atas tanah meskipun mukanya peringisan menahan nyeri. Memang
ilmu kepandaiannya menang setingkat daripada Warok Kuda-wanengpati. Karena
itu meskipun kena terha-jar tak sampai dia jatuh bergelimpangan.
"Monyet! Kau boleh juga!" teriaknya.
Dengan mengumbar api marahnya, ia me-loncat menjejak tanah. Dalam hatinya
ia hendak menerkam dari depan. Tetapi tiba-tiba tenggorokannya terasa
tersekat suatu benda cair. Kemudian terlepaslah segumpal darah dari
mulutnya. Ternyata dadanya yang masih luka tak tahan kena gempuran Sangaji.
Cepat Watu Gunung mengatur pernapasannya. Terasa dadanya sesak dan darah
mendadak terus membanjir membasahi bajunya. Maka betapa ia perkasa dan
gesit, lambat laun tenaganya seperti punah. Dengan terpaksa ia duduk
berjongkok di tanah. Kemudian duduk bersila menenteramkan diri.
Kini tinggal pendekar sakti Lumbung Amiseno dan Adipati Pesantenan yang
belum mengadu kepandaian. Lumbung Amiseno adalah seorang pendeta yang
cerdik. Sedang-kan Adipati Pesantenan berwatak cermat dan tiada gegabah
memutuskan suatu sikap. Mereka berdua menduga, bahwa Sangaji tak mungkin
menghajar dirinya seorang diri. Betapa besar hati seorang pemuda, masakan
berani menghadang dirinya. Jangan-jangan di balik sana telah bersiaga anak
murid Kyai Kasan Kesambi yang lain. Dan kalau cucu murid Kyai Kasan Kesambi
sudah begini hebat, apalagi murid-muridnya yang ada saat itu sedang diamuk
derun membalas dendam. Maka mereka berdua bersikap hati-hati dan menguasai
diri sedapat-dapatnya.
"Anak muda!" kata Lumbung Amiseno menyabarkan diri. "Janganlah engkau
lekas-lekas berbesar hati berhasil meruntuhkan dua saudara seperguruanku.
Soalnya, karena mereka masih belum sembuh lukanya. Memang ilmu kepandaianmu
hebat, tetapi tidaklah sehebat dugaanmu. Dengan berendeng tangan saudara
seperguruanku seorang ini, bagaimana bisa engkau memenangkan kami. Soalnya
kini, kami berdua emoh bertanding melawan seseorang yang belum terang
persoalannya.
"Apakah yang belum terang?" dengus Sangaji.
Lumbung Amiseno berdiam sejenak. Kemu-dian berkata meneruskan. "Engkau
menuduh kami bersekutu dengan seseorang atau sekelompok orang yang
menganiaya gurumu. Tapi masakan kami akan berlaku serendah itu dengan
meracun lawan sedangkan tenaga sendiri belum tentu terkalahkan. Jika engkau
tak percaya, bolehlah kita bermain beberapa gebrakan. Aku berjanji takkan
menyakitimu."
Ucapan Lumbung Amiseno sebenarnya bukan kata-kata kosong belaka. Sebagai
murid tertua Resi Buddha Wisnu yang pernah menggemparkan dunia, dia percaya
kepada kesanggupannya. Kalau tidak, masakan be-rani menantang Kyai Kasan
Kesambi di ha-dapan para pendekar. Dan mengapa dia bersikap lunak terhadap
Sangaji adalah karena menduga bahwa pemuda itu tak mungkin datang dengan
seorang diri. Di belakangnya, pasti bersembunyi anak murid Kyai Kasan
Kesambi yang mungkin pula membawa seluruh cantrik-cantriknya. Inilah
celaka, sedangkan di pihaknya dua orang telah terluka parah.
"Hm." dengus Sangaji. Kemudian lama tak berkata karena lagi membuat suatu
pertim-bangan. Sekilas teringatlah dia kepada pem-bicaraan eyang gurunya
dengan pamannya Bagus Kempong yang meyakinkan, bahwa pekerjaan meracun
orang bukanlah sepak-ter-jang seorang pendekar sejati. Melihat
tetamu-tetamu dahulu menghargai dan bersikap segan terhadap anak murid Resi
Buddha Wisnu, pastilah mereka bukan pula pendekar-pendekar murahan. Karena
itu, tak mungkin meracun seorang musuhnya beta-papun mereka membencinya.
Dasar watak Sangaji sebenarnya mulia dan sabar maka dendamnya yang meluap
setinggi leher tereda dengan sendirinya.
"Baiklah, aku percaya kepada tutur kata-mu," akhirnya dia berkata.
"Tapi andaikata pusaka wasiat berada di ta-ngan kami, apakah yang hendak
kalian lakukan?"
"Itu tergantung belaka kepada nasib baik kami dalam mengukur tenaga melawan
kalian. Seumpama kalah, sepuluh tahun lagi masakan tak mampu mengatasi."
Tergetar hati Sangaji mendengar ucapan Lumbung Amiseno yang penuh
keperwiraan. Maka diam-diam, ia mulai menghargai dan mengagumi. Katanya
dalam hati, inilah se-orang pendekar sejati. Maka mustahillah dia bersekutu
dengan penganiaya guru. Seumpama saja aku salah tangan, bukankah aku akan
menyalakan suatu dendam berlarut-larut?
Memikir demikian, lantas saja dia mengang-guk memberi hormat. Kemudian
melompat ke atas kudanya dan pergi dengan berdiam diri.
Sudah barang tentu, Lumbung Amiseno ter-cengang-cengang melihat
kepergiannya. Meskipun ia segan mengadu tenaga, tetapi tak pernah menduga
bahwa pemuda itu bisa dia-jak berbicara dengan mudah. Seketika itu juga
tertariklah hatinya kepada watak ksatrianya yang berlapang dada. Tak
setahunya sendiri terloncatlah perkataannya, "Hai, anak muda! Ilmu
kepandaianmu bukan barang murahan. Hanya saja engkau harus lebih bertekun
empat lima tahun lagi, karena kulihat masih ada lubang kelemahannya. Dan
sejak itu, barangkali akupun bukan tandinganmu lagi. Selamat!"
Hati Sangaji terkesiap mendengar kata-katanya. Teringat akan ilmu Kyai
Kasan Kesambi yang bisa merobohkan lawan begitu cepat ia girang luar biasa.
Sebagai seorang anak yang kenyang dihina dan dicemoohkan, maka celaan
Lumbung Amiseno yang menyatakan dia harus bertekun empat lima tahun lagi,
diterimanya dengan baik.
Pada malam hari itu, sampailah dia di Magelang. Segera ia mencari
penginapan dan karena kesal dan lelah terus saja merebahkan diri. Tahu-tahu
matahari telah terbit lagi di angkasa. Dengan begitu, benar-benar ia
ter-tidur pulas satu malam penuh.
Seperti biasanya, ia kemudian duduk bersila mengatur pernapasannya dan
jalan darah. Lantas melamun di tepi tempat tidur. Teringat akan keadaan
gurunya, hatinya pedih kembali. Kini ia merasa diri sebatang kara. Ibunya
jauh di barat, kedua gurunya tiada dan... Titisari pulang ke kandang.
Hidupnya lantas saja terasa kosong. Di depan matanya bergolaklah gelombang
penuntutan dendam. Dapatkah aku menuntut balas sakit hati Ayah dan Guru
seorang diri? pikirnya. Sebagai seorang pemuda yang hidupnya selalu ada
yang mendampingi, ia merasa jadi canggung, tak tahu apa yang harus
dilakukan. Mendadak lapat-lapat teringatlah kata-kata gurunya Jaga
Saradenta yang mendampratnya tatkala enggan berpisah di batas kota Cirebon.
"Bocah! Kau sudah besar! Sebesar kerbau bangkotan! Kau harus belajar
berdiri sendiri! Kalau
kami mampus, apakah kau akan ikut mampus pula? Lagi pula, kau ini muridku!
Muridku tak boleh mempunyai hati sekecil cacing!"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar