@bende mataram@
Bagian 239
Biasanya Gagak Handaka dan Ranggajaya mewakili dia memberi pelajaran
terhadap ketiga murid lainnya. Dengan demikian, secara kebetulan Sangaji
memperoleh ajaran ilmu sakti langsung dari Kyai Kasan Kesambi seorang tokoh
utama dari tujuh orang sakti pada zaman itu.
Demikianlah, Kyai Kasan Kesambi waktu itu terus bergerak tiada hentinya
mengulangi huruf-huruf yang sudah ditulisnya di udara. Oleh ulangan itu,
lambat-laun tahulah Sangaji bahwa istilah huruf yang ditulisnya berjumlah
72 coretan. Dalam waktu kurang lebih tiga jam selesailah sudah.
Sekonyong-konyong Kyai Kasan Kesambi bersiul panjang dan mengakhiri ulangan
tulisannya yang terakhir.
"Aji! Bagaimana pendapatmu tentang tulisanku yang kutulis dengan huruf
Jawa?" Mendadak dia bertanya kepada Sangaji sambil merenung dikejauhan.
Sudah barang tentu, Sangaji terkejut bukan kepalang, sama sekali tak
diduganya bahwa tanpa menoleh sedikitpun, eyang gurunya telah mengetahui
kehadirannya, lantas teringatlah dia, bahwa pamannya Bagus Kempong saja
bisa mendengar napas seseorang yang bersembunyi di balik belukar dan gerak
gerik Suryaningrat yang bersembunyi di balik mahkota pohon. Apalagi Kyai
Kasan Kesambi. Memperoleh ingatan ini diam-diam ia mengutuki kegoblokannya.
Maka dengan merasa serba salah ia lantas berdiri tegak sambil menjawab,
"Sungguh! Malam ini aku sangat beruntung dapat menyaksikan ilmu kepandaian
Eyang Panembahan yang tiada taranya. Hanya saja aku, tak mengerti huruf
Jawa sehingga tak pandai membaca atau menilai, apakah aku diperkenankan
memanggil paman-paman guru agar mereka dapat menilai gaya tulisan Eyang
Panembahan?"
"Tak perlu lagi. Hasrat untuk menulis sudah padam. Biarlah di kemudian
hari, mereka membicarakan hal ini. Lagi pula mereka tak mengenal seni
sastra," ujar Kyai Kasan Kesambi. Kemudian ia memasuki kamarnya
meninggalkan Sangaji seorang diri.
Seperti patung Sangaji mengawaskan kepergian eyang gurunya. Takut apabila
ia kembali ke kamar akan terhapus ingatannya mengingat-ingat huruf-huruf
Kyai Kasan Kesambi yang masih membekas dalam benaknya, maka ia menguatkan
diri emoh tidur. Segera ia menenangkan diri, mengum-pulkan ingatannya.
Kemudian ia mencobamenirukan gaya tangan dan langkah sambil menggeret suatu
coretan sehuruf demi sehu-ruf. Sampai lama sekali ia berhasil menggoreskan
kedua puluh huruf. Inipun sudah mengagumkan, mengingat dia tak paham huruf
Jawa segarispun. Andaikata tak didorong oleh suatu deru dendam kesumat
hendak menuntut balas, pastilah dia membutuhkan latihan berhari-hari lamanya.
Tetapi suatu hal yang mungkin dilupakan oleh nalar. Seseorang yang lagi
belajar menulis, pastilah menuliskan alat penulis tebal-tebal dan kaku.
Mungkin pencang-pen-cong pula. Hal ini malah serba kebetulan untuk suatu
gaya ilmu berkelahi, Karena dengan menekankan suatu kehendak karsa yang
menyala-nyala, justru memperkokoh tiap kedudukan huruf-huruf itu. Maka
sekalipun tiap kalimat elan ' ditulis dengan huruf pen-cang pencong, tapi
kuat dan bertenaga. Lagipula, Sangaji telah mengantongi dua bekal anugerah
alam yang jarang dimiliki seseorang dengan wajar. Pertama, getah sakti
pohon Dewadaru dan ilmu tata napas Bayu Sejati. Kedua, ilmu-tata napas
Kumayan Jati dan jurus-jurus penggempurnya. Maka begitu ia mulai menulis
suatu istilah elan ciptaan Kyai Kasan Kesambi, mendadak saja terdengarlah
suatu desir angin seolah-olah hendak merajang udara. Inilah suatu kejadian
di luar tahunya Sangaji sendiri.
Menjelang pagi hari, ia telah berhasil menulis 615 huruf yang terbagi dalam
70 istilah elan.
Dengan demikian tinggal dua istilah elan belaka. Kalau saja hatinya tiada
ter-goncang oleh suatu api dendam yang menyala-nyala, betapa dia mampu
menghafal suatu rumpun istilah sebanyak itu yang merupakan jurus-jurus ilmu
berkelahi bernilai tinggi. Seseorang yang cerdas otaknya belum tentu mampu.
Di sini ternyata, bahwa deru hati merupakan saham terbesar dalam hidup
seseorang, seringkali terjadi seorang yang berpenyakitan dan susah
bergerak, tiba-tiba bisa meloncati pagar setinggi dua meter karena hatinya
kaget oleh suatu marabahaya. Soalnya, dalam diri manusia sesungguhnya
tersekam suatu tenaga gaib yang jarang sekali dapat dikuasai oleh suatu
kesadaran. Itulah sebabnya, maka di dunia ini terdapat pula suatu ilmu
untuk menekuni rahasia tenaga gaib tersebut dengan bertapa, bersemadi atau
suatu penyelidikan nalar.
Demikianlah, dengan tekun dan percaya benar bahwa eyang gurunya sedang
mewa-riskan suatu ilmu kepandaian kepadanya, maka segera ia mengulangi
berulang kali sam-pai benar-benar tersekat dalam lubuk hatinya. Apabila dia
menjumpai suatu kesulitan diam-diam ia berkata kepada diri sendiri.
"Tadi Eyang Panembahan sengaja menulis huruf Latin yang berbunyi SURA DIRA
JAYA NINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI. Pastilah Eyang sengaja menarik
perhatianku, bukankah Eyang telah mengetahui keberadaanku? Bila tidak, apa
perlunya mencoret huruf latin?"
Sekaligus terbangunlah semangatnya. Men-dadak saja pada elan terakhir
tangannya memutar dan memukul dua kali berturut-turut diluar kemampuannya
sendiri. Hal ini terjadi karena dia terlalu keras mengayunkan tangan
sewaktu hendak mencoret istilah yang ke-70. Hasilnya, di luar dugaan.
Secara kebetulan pula, maka genaplah kini seluruh elan ciptaan Kyai Kasan
Kesambi yang berjumlah 72.
Bret! Bret! Kain bajunya sendiri tersobek sebagian. Dalam terkejut dan
girangnya, cepat ia menoleh. Tahu-tahu matahari telah sepeng-galah
tingginya. Ia mengucak-ucak matanya khawatir salah melihat. Apabila seluruh
tubuhnya terasa hangat, maka percayalah dia akan penglihatannya sendiri.
Kiranya hari hampir mendekati waktu luhur. Karena asyiknya berlatih dan
memeras otak, tak terasa ia telah melewati lebih setengah hari.
Cepat ia mengusap keringatnya, kemudian lari ke kamar eyang gurunya hendak
menje-nguk keadaan gurunya. Dilihatnya, eyang gurunya sedang menempelkan
tangannya ke dada gurunya. Pastilah eyang gurunya sedang berusaha mengusir
racun yang menggeram dalam tubuh gurunya. Perlahan-lahan ia mengundurkan
diri. Ia mencari paman-paman gurunya tetapi mereka tiada nampak. Heran ia
memasuki kamarnya. Di atas meja terdapat sepucuk surat yang berbunyi demikian.
"Anak Sangaji! Kami berangkat, karena men-duga musuh belum meninggalkan
wilayah lembah Loano."
Meskipun tiada yang menandatangani ia menduga salah seorang pamannya.
Seorang cantrik, yang mengantarkan kopi hangat berkata kepadanya, bahwa
sekalian paman-nya sudah berangkat turun gunung berbareng dengan datangnya
fajar hari. Melihat Sangaji masih sibuk menekuni ajaran, mereka tak berani
mengganggu.
Mendengar keterangan cantrik cepat ia berkemas-kemas. Setelah memeriksa
buntal-an dan sisa uangnya dari Jakarta, segera ia keluar kamar. Ia tak
memedulikan lagi, bahwa dirinya belum mandi dan seluruh tubuhnya
berkeringat, karena besar hasratnya hendak mengejar musuh, la kembali
menjenguk kamar eyang gurunya hendak bermohon diri berbareng menjenguk
keadaan gurunya.
Kyai Kasan Kesambi mengangguk dengan tersenyum dan merestui. Tatkala
Sangaji menjenguk keadaan Wirapati, hatinya seperti tersayat. Ternyata
gurunya dalam keadaan masih tak sadarkan diri. Mukanya pucat lesi, pipinya
reyot dan tenaganya punah. Hanya napasnya saja yang masih nampak
kempas-kempis. Tapi kesannya bagaikan mayat. Alangkah jauh berbeda
dengan keadaannya seminggu yang lampau. Dahulu dia bertubuh kuat singsat,
padat dan perkasa.
Dengan hati pedih, Sangaji berlutut di hadapannya.Tak terasa air matanya
meleleh. Kemudian berkata tersekat-sekat, "Guru! Izinkan aku pergi menuntut
dendam. Aku bersumpah takkan kembali sebelum dapat menumpas musuh Guru.
Meskipun tubuhku hancur lebur pasti aku akan membalaskan sakit hatimu.
Karena tak tahan lagi, segera ia memutar tubuh sambil mendekap mulut.
Kemudian lari keluar seperti orang gendeng.
Dengan menunggang si Willem yang bertubuh perkasa itu, ia meninggalkan
padepokan Gunung Damar dengan cepat, Jalan yang ditempuhnya adalah jalan
sewaktu menemukan tubuh gurunya menggeletak di dekat pengempangan sawah.
Tatkala sampai di pengempangan sawah itu, teringatlah dia kepada tubuh
gurunya. Sebentar ia berhenti mengenangkan nasib gurunya. Kemudian dengan
menggeretakan gigi ia menendang perut si Willem, sehingga kuda itu meloncat
terkejut dan terus melesat bagaikan sebatang panah terlepas dari
gandewanya. Belum sampai sore hari, ia telah sampai di dekat kota Magelang.
Sekarang teringatlah dia, bahwa semenjak kemarin belum membersihkan diri.
Maka bergegas ia mencari sebuah kali dan segera mencebur ke dalamnya.
"Ke mana kini harus pergi?" diam-diam ia mengasah pikiran. Mendadak
teringatlah dia sesuatu. Ah ya, bukankah aku berjanji hendak bertemu dengan
ayah Titisari?
Dahulu ia minta waktu satu bulan lamanya, karena bermaksud hendak mencari
Pangeran Bumi Gede dahulu untuk membalaskan dendam ayahnya. Kini belum lagi
maksud itu tersampai, peristiwa baru yang menyakitkan hati terjadi dengan
tak terduga-duga. Segera ia menghitung hitung dengan jari. Pikirnya lagi,
masih ada waktu sepuluh hari. Mudah-mudahan, aku berhasil menemukan
penganiaya Guru.
Memikir demikian, cepat-cepat ia berganti pakaian, kemudian melanjutkan
perjalanan-nya kembali. Hari waktu itu terlalu'cepat gelapnya, karena awan
hitam berarak-arak dari arah timur. Guntur menggelegar bergulungan di jauh
sana. Dan angin mulai meniup kencang melanda segala yang dijumpai.
Selagi ia berjalan mengarah ke utara, tiba-tiba dilihatnya serombongan kuda
men-derap perlahan di depan sana. Tatkala di-amat-amati, ternyata adalah
rombongan empat pendekar sakti murid Buddha Wisnu yang pernah mengadu
tenaga dengan paman gurunya.
Waktu itu, hati Sangaji sedang diamuk derun dendam tak terkatakan.
Mengingat celakanya gurunya disebabkan gara-gara pusaka wasiat, maka ia
benci kepada setiap tamu yang datang di perguruan. Itulah sebabnya,
sampai-sampai ia mendamprat Gusti Ayu Kistibantala yang belum tentu ikut
bersalah.
Maka begitu melihat rombongan empat pen-dekar sakti murid Resi Buddha
Wisnu, segera ia mengumbar dendamnya. Cepat ia mengejar dan terus melewati.
Kemudian memutar kudanya dan menghadang di tengah jalan.
Melihat siapa yang menghadang, Warok Kudawanengpati dan Watu Gunung tertawa
dingin. Memang mereka berdualah yang masih mengandung penasaran terhadap
murid Kyai Kasan Kesambi, karena kena dijatuhkan dalam sekali gebrak. Oleh
lukanya pula, mereka terpaksa menginap di suatu perkampungan dan meneruskan
perjalanan pada keesokan harinya dengan perlahan-lahan. Warok
Kudawanengpati yang berangasan terus saja membentak.
"Hm... kau murid Kyai Kasan Kesambi juga? Hari ini menghadang perjalanan
kami, apakah ada kepentinganmu?"
"Aku cucu murid, bukan murid Kyai Kasan Kesambi," sahut Sangaji tak kurang
galak. "Apa perlunya menghadang kami. Lekas terangkan!"
"Apakah kalian bisa memberi keterangan kepadaku, siapa yang menganiaya
guruku? Kalian telah melihatnya, bukan?"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar