10.17.2019

@bende mataram@ Bagian 234

@bende mataram@
Bagian 234


"Terima kasih," sahut Wirapati senang. "Desa yang kutuju berada di depan."
"Ngasinan?"


"Ya."


"Lewatlah di sini! Tadinya memang lewat jembatan itu, tetapi semenjak hujan
terus-menerus maka orang membangun jembatan batu."


Wirapati tak menggubris peringatan orang itu. Dia tetap lewat jembatan
bambu, karena takut masuk perangkapnya. Di luar dugaan, baru saja kakinya
berada di tengah-tengah terdengar suara gemeretak. Jembatan patah di
tengah-tengah seperti peringatan orang itu. Untunglah, Wirapati cukup
cekatan. Dengan sebat ia menyambar bambu keropos yang sedang meluruk runtuh
ke bawah dan dengan suatu tenaga mengajaibkan ia melayang ke depan bagaikan
burung mencapai seberang.


Orang itu tertawa terbahak-bahak sambil berseru, "Bagus! Luar biasa bagus!
Rasakan kini, mengapa tak mendengarkan nasihatku. Hai, engkau begini
tergesa-gesa hendak mencari siapa?"


Wirapati mendongkol mendengar ucapan-nya. Tatkala memeriksa sisa bambu yang
masih tergantung di seberang tahulah dia, bahwa runtuhnya jembatan itu ada
yang membuat dengan sengaja.


Nampak sekali, betapa lonjoran bambu itu terkikis dari bawah.


"Hm," ia mendengus sambil menatap orang itu dengan tajam. Tetapi ia tak
berkata lagi. Bahkan terus melanjutkan perjalanan tanpa menoleh.


"Hai! Hai! Tunggu! Aku pun mau ke sana...!" seru orang itu. "Bagus! Nah
kejarlah aku!" sahut Wirapati.


Dan setelah berkata demikian, ia memper-cepat langkahnya. Cepat orang itu
menguber dari arah jembatan batu. Tetapi betapa berusaha mempercepat
langkahnya, tetap tak mampu mengejar.


Melihat orang itu berkepandaian lumrah, Wirapati tiada menaruh perhatian
lagi. Kini sengaja ia lari dengan menjejak tanah. Maka sebentar saja,
bayangan orang yang menge-jarnya tiada nampak lagi.


Jalan yang dirambah itu ternyata kian lama kian sempit.
Seberang-menyeberang hanya dipagari rumput alam yang kasar dan tajam luar
biasa. Kadang-kadang terseling rumpun bambu liar. Tak lama kemudian, Rawa
Pening nampak di depan hidungnya. Sunyi menyayat hati dan berkesan angker.
Jalanan itu me-lingkari rawa dan kini mulai terhalang oleh gerombol
belukar. Dan diam-diam Wirapati membatin. "Aneh! Siapakah majikan
orang-orang itu yang memilih tempat begini sunyi sebagai tempat pesanggrahan?"


Baru saja ia membatin demikian, tiba-tiba matanya tajam melihat
berkelebatnya sebuah pancing menyambar padanya. Cepat ia melompat mengelak
sambil menyambar ta-ngan hendak merampas. Ternyata pancing yang berkelebat
itu seperti terkendalikan.


Wirapati cukup gesit, tetapi pancing itu pun lebih gesit lagi. Diam-diam
murid Kyai Kasan itu terkejut dalam hatinya. Tatkala menoleh, ia melihat
seorang laki-laki lagi memancing di tepi rawa dengan acuh tak acuh. Seperti
tak sengaja pancingnya menyerang Wirapati. Kemudian mengumpat.


"Kurang ajar! Bagus engkau bisa membe-baskan diri dari pancingku."


Kata-kata yang diucapkan itu meskipun nampaknya lagi mengumpat ikan yang
berada di dalam rawa, tetapi kesannya tertuju kepada Wirapati pula. Mau tak
mau Wirapati menghentikan




langkahnya. Lantas bertanya, "Saudara! Di manakah letak pesanggrahan
majikan orang yang menyuruh aku meng-hadap padanya?"


Tanpa menoleh orang itu terus menyahut, "Haaa.... masakan begitu gampang
engkau bisa menemuinya? Hayo makanlah cacing ini! Hayo makanlah kalau
mampu. Masakan tam-pangmu mampu mengalahkan aku."


Mendengar ucapan orang itu, Wirapati men-dongkol hatinya. Terang sekali,
dia berpura-pura tak mendengar pertanyaannya. Maka ia hendak meneruskan
perjalanan saja daripada mencari perkaranya. Tak tahunya, tiba-tiba untuk
yang kedua kalinya, pancing itu menyambar lehernya. Cepat Wirapati
me-ngendapkan diri sambil melompat ke depan. Mengira dia salah seorang
begundal Pangeran Bumi Gede yang sengaja menghambat per-jalanannya. Maka
terus saja dia mengumpat, "Hai! Belum pernah kita saling bertemu di
perjalanan mengapa engkau menyerang daku?"


"Hm.... sekali pancing telah terlanjur dikait-kan, betapa bisa membiarkan
mangsa luput dari pengamatan?" sahut orang itu. Kemudian melesat menyerang
dengan bertubi-tubi.


Wirapati memang telah mendongkol pada-nya dan mengira orang itu salah
seorang begundal Pangeran Bumi Gede. Maka begitu ia diserang bertubi-tubi
terus saja membalik tangan dan membalas menyerang. Ternyata orang itu bukan
tokoh sembarangan. Dia bisa mengelakkan serangan Wirapati dengan gesit dan
teratur. Tetapi betapa dia bisa melayani seorang tokoh semacam Wirapati
yang sudah mempunyai pengalaman bertempur berulang kali. Itulah sebabnya,
belum sampai tujuh gebrakan dia kena dipentalkan sampai terce-bur ke dalam
rawa. Untung, Wirapati tiada niat menghabisi nyawanya. Dengan tak
memedulikan lagi, ia melanjutkan perjalanan mencari pesanggrahan.


Tak lama kemudian sampailah dia di sim-pang jalan. Teringat keterangan
pemilik kedai, segera ia membelok ke kanan. Tak jauh di depannya
terbentanglah sebuah dusun yang dilingkari rumpun bambu. Maka cepat-cepat
ia menghampiri. Pikirnya dalam hati, menurut keterangan pemilik kedai
kemarin, di sinilah letak pesanggrahan majikan yang disebut Gusti Pangeran.


Tetapi keadaan dusun itu lengang sunyi. Diam-diam ia jadi curiga. Mendadak
di tengah kesunyiannya, cepat-cepat ia mendengar seorang anak menangis.
Anehnya, datangnya dari arah gerumbul. Segera ia bersiaga dan menduga ada
sesuatu peristiwa yang kurang beres. Apakah laskar Pangeran Bumi Gede sudah
tiba dahulu, pikirnya sibuk.


Dengan berjingkat ia mendekati gerombol. Ternyata suara tangis itu lenyap
tiada bekas. "Ssst! Siapa yang menangis di situ?" Wirapati berbisik. Tiada
jawaban. Karena itu kesunyian dusun kian terasa.


"Ssst! Siapa menangis di situ?" Wirapati mengulang sambil merayap mendekati.


Sekonyong-konyong gerumbul bergerak perlahan-lahan. Terdengar kemudian
geme-risik daun-daun kering. Dengan tersenyum Wirapati terus saja melompat
dan menyambar.


Anak yang menangis ternyata seorang gadis kecil kira-kira berumur 10 tahun.
Ia ketakutan setengah mati sampai menjerit tinggi. Tubuhnya menggigil.


"Adik kecil, jangan takut. Di manakah rumahmu? Siapa ayah-bundamu dan
mengapa menangis di sini?" Wirapati terus memberondongi dengan tiga
pertanyaan sekaligus. Sudah barang tentu si anak tak pandai menjawab,
apalagi dalam ketakutan. Meskipun seumpama dalam keadaan wajar, belum tentu
pula bisa menjawab. Pertama-tama, Wirapati seorang yang masih asing
baginya. Kedua, pertanyaannya dilontarkan dengan gaya kuat dan sangat cepat.


Untunglah, betapa pun juga Wirapati se-orang pemuda yang sudah
berpengalaman. Segera ia insyaf, pertanyaannya malah menakutkan. Maka
cepat-cepat ia melepaskan tangannya. Kemudian dengan wajah terang-benderang
mengalihkan pertanyaannya,


"Adik kecil, kau tahu di mana letak pesang-grahan Gusti Pangeran?"




Mendadak saja gadis kecil itu jadi ketakutan. Wajahnya pucat lesi. Ia
mundur selangkah dan nampak hendak melarikan diri.


"Ssst adik kecil! Jangan takut! Aku adalah sahabat bapakmu," Wirapati
cepat-cepat ber-kata membohong.


"Bohong! Bohong! Kaulah yang membunuh Ayah," jerit anak itu dengan bibir
bergemetar.


Mendengar sangkalan anak itu, Wirapati tercekat hatinya. Sekaligus tahulah
dia apa yang telah terjadi di dusun ini, meskipun masih terasa samar-samar.


"Siapa yang membunuh ayahmu? Sekarang di mana dia?" Wirapati mendesak.


Si anak tadi tak menjawab. Matanya liar dan mengarah ke arah tenggara.
Sebagai seorang yang sudah berpengalaman, tak perlu lagi Wirapati menunggu
keterangan. Terus saja ia melesat mengarah ke tenggara. Dan setelah
melewati rumpun bambu yang merupakan pagar alam, tibalah dia pada suatu
halaman luas. Di sana berdiri sebuah rumah bambu yang teratur rapi.


"Hai, apakah ini pesanggrahan yang dikata-kan pemilik kedai?" ia menduga.


Hati-hati ia menghampiri dari pohon kepo-hon. Keadaannya sunyi pula seperti
tiada penghuninya. Sekonyong-konyong ia melihat suatu pemandangan yang
mengejutkan. Di pendapa rumah itu, nampak empat orang yang tergantung
terbalik. Kaki mereka masing-masing diikatkan pada tiang atap, sehingga
bergantungan mirip kelelawar.


Tatkala Wirapati menajamkan penglihatan, ternyata mereka terdiri dari dua
laki-laki dan dua perempuan. Usia mereka telah lanjut. Rambutnya telah
memutih. Karena itu betapa kejam orang yang menyiksanya sungguh di luar
batas-batas kemanusiaan.


Darah Wirapati sekaligus terbangun dah-syat. Tanpa memikirkan keselamatan
diri, terus saja dia mengumpat,


"Hai, siapakah yang berani berlaku sewe-nang-wenang ini?" Dalam
kegusarannya, lan-tas ia berseru: "Tuan rumah! Ada orang tergantung!"


la memeriksa keadaan mereka. Ternyata mereka berlumuran darah dan napasnya
telah berhenti. Segera ia melemparkan pandang ke arah pintu yang terkunci
rapat. Dengan mengerahkan tenaga ia mendorong pintu, tetapi tak bergeming.
Heran dia, nampaknya diganjal batu dari belakang. Mendadak ia mendengar
suara parau sangat lemah.


"Anak muda! Lekas tolong Gusti Pangeran... dia tersekap di dalam. Musuh
telah tiba. Kami semua tak mampu melindungi..."


Orang yang berbicara itu, seorang laki-laki tua yang tergantung di pojok
timur. Segera Wirapati hendak menolongnya dahulu. Tetapi laki-laki itu
cepat-cepat menyanggah.


"Jangan pedulikan aku... lekas masuk! Lebih cepat lebih baik..."


Tetapi betapa dapat Wirapati membiarkan dia tergantung begitu. Tahu-tahu ia
melompat tinggi sambil menyabetkan senjata pamung-kas. Berbareng dengan
turunnya tangannya menyambar dan meletakkan orang tua itu ke tanah.


"Terima kasih... " Orang itu tersekat-sekat lemah... "Cepat masuk..."
Mendengar per-mintaan orang itu demikian sungguh, Wirapati terus bangkit.
Segera ia kumpulkan tenaga Bayu Sejati ajaran Kyai Kasan Kesambi. Kemudian
dengan menggerakkan kedua tangannya menubruk. Maka terdengarlah suara
gemerentang keras dan batu yang mengganjel di balik pintu terpental
bergulungan.


Sekonyong-konyong terdengarlah seorang berkata dari dalam.


"Ha.... ilmu Bayu Sejati perguruan Gunung Damar ternyata benar-benar bukan
omong kosong. Wirapati, letakkan keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram
ke tanah. Segera engkau akan kuberi seekor kuda dan sedikit hadiah agar
bisa pulang ke gunung dengan selamat."




Wirapati terkejut. Diam-diam tergeraklah ingatannya seakan-akan pernah
mengenal suara itu. Pikirnya menebak-nebak, bukankah ini suara pemilik
kedai? Hm... atau mungkin kebetulan bernada sama? Kemudian berkata mencoba,
"Agaknya Tuan mengenal namaku. Dan darimana pula Tuan mengenal kedua pusaka
yang kubawa ini?"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar