10.17.2019

@bende mataram@ Bagian 233

@bende mataram@
Bagian 233


Wirapati mengernyitkan dahi. Pertanyaan itu tak gampang-gampang dijawab,
karena terasa ada lubang jebakannya. Maka cepat-cepat ia mengalihkan perhatian.


"Kita adalah sekawan seperjuangan, mari kita pergi menuntut balas Pangeran
jahanam itu!"


Tiba-tiba Malangyuda bangkit dan berteriak, "Tidak, tidak! Bumi Gede
terlalu sakti, perkasa dan tak terlawan. Lekaslah enyah dari sini dan
tolonglah aku memberi kabar kepada Gusti Pangeran, agar bisa berjaga-jaga.
Aku sendiri akan menghadang Pangeran jahanam itu di sini. Pergilah!"
Sehabis berseru demikian, cepat ia menyambar kapaknya dan hendak
cepat-cepat pergi. Namun Wirapati menahan-nya dan menyabarkan.


"Gampanglah memberi kabar kepada majikanmu. Soalnya siapakah Gusti Pangeran
yang kau sebut-sebut berulang-ulang? Dia kini berada di mana?"


Tetapi Malangyuda tak menggubris per-tanyaan itu. Cepat ia memaksa berdiri
dan berteriak lagi seperti orang sinting.


"Minggat! Minggatlah dari sini! Kau Pangeran jahanam, boleh mencoba seribu
jurus permainan kapakku. Jangan mimpi bisa mencelakakan Gusti Pangeran,
selama hayatku masih dikandung badan."


Wirapati kewalahan juga. Mendadak terde-ngarlah pemilik kedai berkata
menganjurkan,


"Nampaknya orang itu benar-benar meng-harapkan pertolongan Tuan. Seumpama
Tuan mau pergi mencari majikannya, mungkin pula dia bersyukur dalam hati."


"Benar! Benar! Cepatlah memberi kabar! Gusti Pangeran kini berada di Desa
Ngasinan dekat Rawa Pening. Pergilah! Pergilah segera mumpung Pangeran
jahanam itu belum nam-pak batang hidungnya lagi."


Wirapati menarik napas panjang. Rawa Pening letaknya tak dekat. Paling
tidak harus membutuhkan perjalanan satu hari penuh tanpa berhenti. Tetapi
oleh desakan ber-ulang-ulang dari seseorang yang sedang luka parah, hatinya
tak sampai. Lagi pula itulah darma kebajikan yang dianjurkan gurunya
berulang-ulang sebagai ciri perguruan Gunung Damar yang khas.


"Baik, Rawa Pening aku tahu letaknya. Tetapi Desa Ngasinan masih asing
bagiku," akhirnya dia berkata.


Mendengar kata-kata Wirapati, Malangyuda girang bukan main sampai
berloncat-loncat kecil. Mendadak saja terus lari seperti diuber setan.


"Hai! Kau belum menerangkan letak Desa Ngasinan!" seru Wirapati memanggil.


"Biarlah tak mengapa," sahut pemilik kedai. "Aku pernah datang ke sana."
Kemudian dia menerangkan, "Rawa Pening di zaman dahulu mempunyai riwayatnya
sendiri. Di bukit sebe-lah selatan tersebutlah seekor ular raksasa bernama
Baru Kelinting. Dia merubah diri menjadi seorang anak tanggung yang
bepura-pura minta sedekah kepada penduduk sekitar rawa itu. Tetapi penduduk
sangatlah kikirnya. Untunglah dia ditolong oleh seorang nenek. Tatkala dia
membalas dendam dengan menenggelamkan seluruh penduduk dusun dengan
kesaktiannya, hanyalah nenek itu sendiri yang selamat. Di kemudian hari,
nenek itu menjadi jin penunggu Rawa Pening yang akan menjaga keabadiannya."


"Lekaslah kausebutkan di mana letak Desa Ngasinan! Apa perlu mendongeng tak
keruan?" bentak seorang pengunjung yang rupanya beradat berangasan. Kena
dibentak demikian, pemilik lantas saja berkata, "Eh, ya, maaf. Tuan kenal
persimpangan jalan sebelah utara Ambarawa? Beloklah ke kanan. Kira-kira
sejauh sepuluh pai, Tuan akan menjumpai sebuah jembatan batu. Tetapi
janganlah Tuan menyeberang lewat jembatan batu itu, kalau tak ingin
tersesat. Sebaliknya pilihlah jembatan bambu yang terletak tak jauh dari
jembatan batu tersebut. Kemudian beloklah ke kiri. Kira-kira satu pai, Tuan
akan bertemu dengan simpang jalan lagi. Pilihlah yang ke kanan. Nah, Tuan
akan melihat sebuah dusun yang dilingkari pagar




bambu lebat. Di sana terdapat sebuah rumah semacam pesanggrahan. Tanyalah
kepada siapa saja yang disebut Gusti Pangeran. Pasti Tuan akan diantarkan."


Sebenarnya Wirapati tak sabar lagi mende-ngarkan keterangan pemilik kedai
yang bertele-tele. Tapi justru kurang sabar itulah yang membuat dia kena
bahaya. Coba andaikata mau meneliti tiap keterangan pemi-lik kedai itu,
pastilah akan heran mengapa dia bisa menerangkan tempat beradanya yang
disebut Gusti Pangeran begitu terang gam-blang.


Begitulah, setelah membayar makanan segera ia berangkat. Sehari itu ia
berjalan cepat. Setelah melampaui kota Magelang, pemandangan
seberang-menyeberang mulai nampak indah. Kadang-kadang ia menjumpai
beberapa kereta pos kompeni yang datang dari Semarang. Biasanya dia usilan,
tapi kali ini tidak. Dalam hatinya, ia ingin cepat menyele-saikan perkara
tersebut. Pikirnya, eh, kembali lagi aku terlibat dalam suatu perkara yang
bukan kepentinganku. Tetapi aku sudah terlanjur sanggup menyampaikan berita
kepada orang yang disebut sebagai majikannya. Masakan aku akan
menyia-nyiakan kepercayaan seseorang yang membutuhkan pertolongan? Di
kemudian hari apabila dia mengetahui bahwa aku adalah salah seorang murid
Gunung Damar, bukankah aku menyeret nama perguruan.


Memperoleh pikiran demikian mantaplah hatinya untuk menunaikan darma itu
dengan sebaik-baiknya. Pada sore hari itu, tibalah di sebelah utara Dusun
Pingit, la beristirahat sebentar di tepi jalan di bawah pohon rindang
sambil merenungi bukit Telamaya dan Jakapekik. Pikirnya, besok pagi
sampailah di tempat tujuan. Diam-diam legalah hatinya.


Pada malam hari itu, ia menginap di sebuah desa dekat Ambarawa. Keesokan
harinya, berbareng dengan terbitnya matahari ia meneruskan perjalanan.


Kira-kira delapan pai dekat Ambarawa. la membelok ke kanan. Seberang
menyeberang jalan adalah rumpun tetanaman dan sawah. Di bawah sebuah pohon
tumbang, duduklah seorang petani. Petani itu menyandarkan tubuhnya sambil
merendam kakinya ke dalam lumpur.


Penglihatan demikian adalah lumrah. Yang tidak lumrah ialah, bahwasanya
muka petani itu berlumuran darah. Padahal waktu itu masih pagi hari. la
memegang sebuah pacul tajam dan sabit oleh cahaya matahari terpantulah
suatu sinar gemerlapan. Terang sekali sinar itu sangatlah tajamnya. Tatkala
Wirapati lewat di sampingnya, terdengarlah pernapasannya tersekat-sekat.
Diam-diam Wirapati terkejut. Pikirnya, apakah dia habis berkelahi di pagi
hari ini? Tertarik oleh penglihatan itu, lantas saja Wirapati menghampiri.


"Apakah Saudara membutuhkan perto-longan?"


Petani itu tiada menjawab. Dia hanya mendengus sekali dan nampak lagi
menguasai pernapasan.


"Hm," Wirapati menyesal. Ia diam menim-bang-nimbang sejenak. Tiba-tiba
mengalihkan pertanyaan. "Apakah saudara kenal letak Desa Ngasinan? Seorang
sahabat bersenjata kapak minta padaku agar aku mengirimkan berita kepada
majikannya di Dusun Ngasinan. Apakah benar jalan ini menuju Desa Ngasinan?"


Mendengar pertanyaan Wirapati, mendadak saja petani itu terkejut. Kepalanya
mendongak dan ganti berbicara, "Apakah sahabat yang bersenjata kapak masih
hidup atau sudah mati?"


"Ia hanya nampak lelah, mungkin luka parah. Kukira nyawanya tak perlu
dikhawatir-kan."


"Syukurlah, Tuhan masih sudi melindungi," petani itu menghela napas. Dan
melihat sikap-nya yang sopan serta tutur bahasanya teratur, Wirapati
percaya bahwa petani itu bukan orang sembarangan. Maka ia segera bersikap
hati-hati. Bertanya minta keterangan, "Apakah orang yang bersenjata kapak
itu teman Saudara?"


"Namanya Malangyuda. Aku sendiri, pang-gillah Pangalasan," sahut petani
itu. Meneruskan,"Jika saudara akan ketemu de-ngan majikan yang disebutkan,
cepatlah berangkat menyekat jalan persimpangan itu Pangeran Bumi Gede telah
lewat pada fajar hari tadi. Malulah kalau kututurkan karena ternyata aku
tak mampu melawannya."




Melihat luka parahnya, Wirapati percaya apa yang dikatakan. Lagi pula
kesannya orang itu sangat sopan, sederhana dan terbuka hatinya. Diam-diam
Wirapati senang padanya.


"Saudara Pangalasan. Agaknya lukamu tak enteng. Dengan senjata apakah
Pangeran Bumi Gede melukai dirimu?" tanya Wirapati.


"Dengan sebatang tongkat."


"Tongkat?" Wirapati terkejut. Mendadak teringatlah dia akan penglihatannya
pada dua belas tahun yang lalu tatkala melihat seorang pemuda membunuh
salah seorang rombongan penari aneh dan Made Tantre. Tak disadarinya bulu
romanya menggelidik. Buru-buru ia memeriksa luka si petani itu. Ia
membungkuki dan melihat sebuah luka cukup besar di atas dadanya.
Cepat-cepat ia memijit di atas luka itu untuk membendung darah yang
mengalir tiada henti seperti yang pernah dilakukan ter-hadap Wayan Suage.
Kemudian mengeluarkan obat luka dan dipoleskan dengan hati-hati.


"Untung! Tiada beracun," katanya setengah bersyukur.


"Terima kasih atas budimu. Siapakah nama Saudara? Bolehkah aku turut
mengenal?" "Mengapa tidak? Aku Wirapati, murid keem-pat Kyai Kasan Kesambi."


"Ah!" Pangalasan terkejut. "Hari ini, akhirnya aku bisa bertemu dengan
salah seorang murid Kyai Kasan Kesambi. Hm, rasanya mati pun aku puas."


"Kata-katamu berlebih-lebihan." Potong Wi-rapati cepat. Kemudian
mengalihkan perha-tian. "Sebenarnya siapakah majikan orang bersenjata kapak
itu? Agaknya engkau me-ngenal dia. Apakah dia kawanmu?"


"Sudah kukatakan tadi, bahwa aku menge-nal dia. Apakah dia tidak menyebut
namaku? Lengkapnya Panji Pangalasan."


Wirapati mengerinyitkan dahi mengingatingat. Ya, dalam kekalapannya
Malangyuda pernah memanggil nama Panji Pangalasan agar mencari majikannya
untuk memberi kabar bahaya. Maka dia mengangguk.


"Majikannya adalah majikanku pula. Kami menyebutnya Gusti Pangeran.
Maafkan! Tetapi Gusti Pangeran bermukim di sebuah pesang-grahan di Desa
Ngasinan. Dengan menyebut nama Malangyuda dan namaku, rasanya tak sukar
engkau mencari pesanggrahannya. Tiap orang akan bersedia menunjukkan."


Diam-diam Wirapati heran, mengapa orang itu tak berani menyebut nama
junjungannya. Tapi mengingat majikannya dalam keadaan bahaya, mungkin dia
tak berani menyebut namanya dengan terus terang untuk menjaga keselamatannya.


"Baiklah aku akan segera menghadap majikanmu."


Mendadak saja orang itu memaksa diri hendak berdiri, kemudian bermaksud
menyembah sambil berkomat-kamit,


"Terima kasih... o, terima kasih..."


Buru-buru Wirapati mencegah maksudnya sambil berkata, "Sudahlah mengapa
begini berlebih-lebihan? Sampai berjumpa." Dan tanpa menunggu jawaban
Wirapati terus saja meninggalkan cepat-cepat.


Tak lama kemudian, sampailah dia di tepi sebuah sungai yang bertebing
curam. Sebuah jembatan batu melintang dari seberang ke seberang. Di dekat
jembatan batu, melintang pula sebuah jembatan yang terbuat dari bambu.
Teringat akan keterangan pemilik kedai agar jangan lewat jembatan batu,
segera ia menghampiri jembatan bambu. Sekonyong-konyong terdengarlah
seseorang memanggilnya,


"Hai saudara! Jangan lewat jembatan bambu. Jembatan itu keropos di tengah."


Wirapati menoleh dan melihat seorang laki-laki berperawakan jangkung
berdiri di te-ngah




jembatan batu sambil membawa cemeti panjang. Orang itu nampak ramah dan
sung-guh-sungguh.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar