@bende mataram@
Bagian 228
Setelah mereka saling berbisik dan ber-bicara, tampillah seorang laki-laki
berpera-wakan pendek gemuk. Dia bercambang agak tebal. Matanya bulat dan
wajahnya berkesan keruh. Dialah pendekar undangan Pangeran Bumi Gede
berasal dari Blora yang datang dengan membawa enam pendekar undangan
lainnya. Namanya Wongso Udel, seorang sakti yang ternama di daerahnya.
Kedatangannya entah sepengetahuan Pangeran Bumi Gede entah atas kehendak
sendiri, tidaklah terang. Dengan membusungkan dada agar bisa mem-peroleh
suara nyaring, ia berkata lantang,
"Rekan Gagak Handaka yang kami hormati. Rasanya tak perlu lagi, kami main
bersembu-nyi-sembunyian. Biarlah kami berkata dengan terus-terang. Maksud
kedatangan kami yang pertama, memang untuk ikut merayakan hari ulang tahun
guru besar Kyai Kasan Kesambi. Di samping itu, kami ingin mencari
keterangan tentang tempat persembunyian pusaka Bende Mataram. Kami sadar,
bahwa permintaan itu sangat pantas, mengingat pusaka itu bukan milik
perguruan Gunung Damar atau milik siapapun juga. Tetapi milik umum.
Katakanlah, milik dunia. Berikanlah kami kesempatan untuk mengadu untung.
Atas budi Tuan, kami takkan melupakan. Jika di kemudian hari ada
perkembangannya, bukankah nama-nama Tuan akan tercantum sebagai tokoh-tokoh
percaturan negara?"
"Bagus! Bagus! Setuju!" Terdengar suara sokongan dari beberapa penjuru.
Suryaningrat, murid kelima Kyai Kasan Kesambi yang masih berdarah muda,
mendongkol mendengar suara mereka. Lantas saja dia meledak.
"Bagus! Pantas! Pantas! Inilah tamu yang pantas dihormati."
Mendengar kata-kata Suryaningrat, pendekar Wongso Odel terperanjat.
Sebentar ia menjadi bingung hendak menentukan sikap. Kemudian berkata
seolah-olah minta kete-rangan, "Apakah ada yang kurang pantas?"
"Hm semula aku mengira, kalian datang semata untuk menghaturkan atau
mengucapkan selamat ulang tahun Guru. Mendadak saja aku heran, sewaktu
menyaksikan dan melihat di antara kalian ada yang membawa senjata. Apakah
kalian hendak membawa hadiah senjata kepada Guru?" sahut Suryaningrat.
"Timbulah kini pertanyaanku, beginikah tamu-tamu yang harus kuhormati?"
"Lihatlah yang terang! Lebarkan matamu dan tebarkan penglihatanmu!" Wongso
Udel meledak. "Seorang anak muda janganlah membiasakan diri gampang
menuduh. Buktikan di antara kami, siapakah yang membawa senjata?"
"Bagus! Memangnya aku tak mampu mencari bukti!" ejek Suryaningrat. Dan
berbareng dengan ucapannya, terus saja Suryaningrat menyambar dua orang
tetamu sekaligus. Dalam satu gerakan, pinggang kedua orang itu kena
ditarik. Seketika itu juga, jatuhlah dua golok pendek bergeroncangan di
atas lantai dari pinggang mereka. Melihat jatuhnya senjata, semua yang
hadir jadi terbungkam. Dengan gugup pendekar Wongso Udel berkata gagap,
"Ya... ya... benar! Senjata! Tapi... maksud mereka... apakah salahnya
menggunakan senjata, seumpama kakakmu seperguruan Wirapati tak sudi
menjelaskan tempat beradanya pusaka warisan itu."
Menggigillah tubuh Suryaningrat karena menahan marah. Sewaktu hendak
mendamprat, tiba-tiba terdengarlah suara bersahutan dari tiga penjuru,
kemudian menyerukan salam,
"Assalamualaikum..."
Suara seruan mereka terdengar sangat nyaring, terang dan berkumandang,
padahal tubuh mereka belum nampak. Keruan saja para tetamu yang hadir
terperanjat. Karena apabila seseorang belum mencapai ilmu sakti sedemikian
tinggi, tidaklah mampu bersuara dari jauh seolah-olah hanya
berhadap-hadapan saja. Maka seperti saling berjanji, mereka bercelingukan
mencari arah datangnya.
"Kami datang berempat," seru mereka lagi. "Lumbung Amiseno dari Gunung
Lawu, Warok Kudawenengpati dari Bulukerto, Watu Gunung dari Gunung
Tangkubanperahu dan Adipati Pesantrenan Sosrokusumo. Kami datang untuk
mengucapkan selamat hari ulang tahun Kyai Kasan Kasambi."
Mendengar ucapan mereka, Kyai Kasan Kesambi lalu membalas seruan dengan
ilmu Peliritan untuk mencapai jarak jauh.
"Silakan! Silakan datang! Kami akan menyambut kedatangan Tuan-tuan bersama
anak murid kami."
Nampaknya suara itu diucapkan dengan wajar belaka tetapi bisa menembus
lapisan alam, sehingga mengejutkan sekalian tetamu. Mereka semua lantas
saja berhati ciut.
Kanjeng Pangeran Arya Blitar yang selama itu berdiam diri, mendadak saja
berdiri sambil berseru girang.
"Benar-benarkah mereka datang? Jika begitu, kedatanganku kemari bukanlah
sia-sia."
Pangeran ini pun memiliki ilmu Peliritan, sehingga dapat berbicara
seakan-akan berhadap-hadapan saja. Keruan, para tetamu yang menyaksikan
kesaktian itu diam-diam kagum dalam hati. Sebaliknya waktu itu Gagak
Handaka, Ranggajaya, Bagus Kempong dan Suryaningrat lantas berpikir, apakah
tokoh-tokoh sakti itu pun datang untuk kepentingan pusaka Bende Mataram?
Apabila benar, teranglah sudah bahwa pusaka Bende Mataram benar-benar ada
dan bukan meru-pakan dongeng belaka. Mengingat tanda-tan-danya, agaknya tak
gampang kita dapat menyelesaikan.
"Kalian datanglah segera! Aku Arya Blitar berada pula di sini..." seru
Kanjeng Pangeran Blitar lagi.
Tak lama kemudian, munculan empat orang yang tiba di halaman paseban hampir
berbareng. Yang datang dari arah utara berperawakan tinggi semampai. Dialah
Adipati Pesantrenan Sosrokusumo. Orangnya berkumis, pandang matanya
berkilatan. Suatu tanda, bahwa dia telah memiliki ilmu sakti yang sukar
diraba tingginya.
Yang datang dari arah barat, berperawakan pendek ketat. Rambutnya sudah
hampir memutih semua. Dia mengenakan pakaian hijau muda dan memperkenalkan
diri dengan nama Watu Gunung. Melihat bentuk dan pakaiannya serta namanya
orang lantas mem-bayangkan sebuah batu berlumut.
Yang datang dari arah timur dua orang, Perawakan mereka tinggi besar dan
seram. Mereka mengenakan pakaian pendeta daerah dan bangga pula akan
pakaiannya. Nama mereka Lumbung Amiseno dan Warok Kudawanengpati.
Begitu melihat Kyai Kasan Kesambi menyongsong sampai di halaman, mereka
terus saja berdiri menghormat, kata mereka hampir berbareng: "Selamat!
Selamat! Kami percaya, Tuan akan bisa hidup 200 tahun lagi!"
Kyai Kasan Kesambi membalas hormat dengan takzim kemudian memperkenalkan
kepada sekalian tetamu yang berada di paseban. Karena jumlah tetamu
sangatlah banyak, maka setelah mengambil tempo agak lama, barulah mereka
duduk pada suatu tempat dekat Kanjeng Pangeran Arya Blitar. Maklumlah,
meskipun mereka bukan keturunan orang ningrat, tetapi tingkatan mereka
sejajar dengan Kanjeng Pangeran Arya Blitar.
Diam-diam Suryaningrat memperhatikan keadaan tetamunya kembali. Kemudian
berpikir, mereka sekarang tak lagi mengarahkan perhatiannya ke luar. Apakah
mereka inilah yang ditunggu-tunggunya?
Tentang siapakah Adipati Pesantrenan, Watu Gunung, Lumbung Amiseno dan
Warok Kudawanengpati, semua anak-murid Kyai Kasan Kesambi pernah mendengar
kabarnya dari gurunya.
Mereka adalah sesama-perguruan dan sengaja bermukim di tiga penjuru dalam
mengabdi cita-cita masing-masing. Guru mereka dahulu, konon kabarnya
seorang sakti dari Gunung Semeru bernama Resi Buddha Wisnu. Nama itu pernah
mengguncangkan pendekar-pendekar ulung pada zamannya. Dikabarkan bahwa Resi
Buddha Wisnu pernah menyeberang Pulau Bali dengan hanya berkendaraan
setangkai daun alang-alang. Pernah membunuh seekor naga di telaga Rengel
Tuban seorang diri dengan bersenjatakan sepotong kain sutra. Dan termasyhur
ilmu ketabibannya pula. Karena itu, meskipun orang belum pernah
menyaksikan—murid-muridnya yang berjumlah empat orang tersebut kabarnya
sakti pula. Mereka telah mewarisi kepandaian gurunya. Maka namanya disegani
dan dimalui segenap orang di seluruh Nusantara.
Jarang sekali mereka menampakkan diri dalam pergaulan umum, apabila tiada
sesuatu alasan penting yang memaksa mereka keluar dari pertapaan
masing-masing. Kali ini, mereka bahkan datang berbareng dengan men-dadak.
Keruan saja, peristiwa demikian gam-pang ditebak. Mau tak mau memaksa
sekalian anak murid Kyai Kasan Kesambi meninggikan kewaspadaan. Sebentar
lagi permainan pasti akan dimulai dan dengan hati-hati mereka menunggu
sambil bersiaga.
"Hari ini padepokan Gunung Damar kebanjiran tetamu. Sama sekali tak
terduga, bahwa rekan Lumbung Amiseno, Watu Gunung, Kudawanengpati dan
Adipati Pesantrenan sudi melelahkan diri mengunjungi pertapaan orang tak
berarti," kata Kyai Kasan Kesambi dengan tertawa merendahkan diri.
Apabila ditinjau tentang perbedaan umur mereka dengan Kyai Kasan Kesambi
paling tidak selisih 20-30 tahun. Namun Kyai Kasan Kesambi menyebut mereka
sebagai rekan. Suatu bukti, bahwa Kyai Kasan Kesambi seseorang yang begitu
kokoh memegang tata cara umum dan bahkan bersedia merendahkan diri. Tetapi
merekapun bisa membawa diri. Dengan agak segan-segan, mereka berbicara dan
tiada berani membawa sikap angkuh.
"Kyai Kasan Kesambi! Kalau menurut usia, kami berempat terhitung angkatan
muda daripada Kyai Kasan Kesambi. Dengan begitu, sebenarnya setingkat
dengan anak murid perguruan Gunung Damar. Sebaliknya mengingat nama guru
kami Resi Buddha Wisnu yang pernah menduduki tempat teratas dalam
percaturan zaman yang telah lampau, maka kami atas namanya pula ingin
memperoleh keterangan yang terus terang kepada Kyai Kasan Kesambi. Kami
mengharap, semoga Kyai Kasan Kesambi jangan merasa tersinggung."
Tabiat Kyai Kasan Kesambi sesungguhnya senang berterus terang. Itulah
sebabnya, begitu mendengar kata-kata tetamunya, segera ia berkata: "Apakah
kedatangan empat orang sakti dari tiga penjuru ini, mempunyai kepentingan
dengan tibanya murid kami yang keempat Wirapati setelah merantau dari
pertapaan selama dua belas tahun?"
"Benar," sahut Lumbung Amiseno. "Inilah celakanya, mengapa dahulu kami
berempat menyanggupkan diri untuk memenuhi pesan terakhir guru kami Resi
Buddha Wisnu. Yang pertama, kami diwajibkan untuk dapat mendengarkan
dimanakah pusaka Bende Mataram berada. Dan yang kedua, bagaimana asal mula
pusaka Bende Mataram tersebut diketemukan. Sebab bagi kami, pusaka tersebut
merupakan mustika yang paling berharga dan bernilai. Pusaka tersebut bahkan
merupakan jiwa kami, mercu suar kami, matahari kami dan akhirnya lambang
kejayaan tanah air. Konon ditambahkan bahwa pada pusaka warisan itulah
diselipkan suatu rahasia besar untuk dapat mengatur kesejahteraan tanah
air. Itulah sebabnya tolonglah
kami memperoleh keterangan tersebut. Hal ini bukan berarti, kami berempat
kemaruk kekuasaan. Melainkan semata-mata untuk memenuhi janji guru. Kyai
Kasan Kesambi, pasti mengerti arti pesan seorang guru."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar