10.01.2019

@bende mataram@ Bagian 218

@bende mataram@
Bagian 218


Begitu kalian lenyap dari penglihatan, Hajar Sandihewa akan kubebaskan."


Dengan mengancam keselamatan nyawa Hajar Sandihewa, Wirapati mengira mereka
akan terpaksa tunduk kepada kehendaknya. Tak terduga, wanita cantik yang
tadi memberi isyarat mata kepada Hajar Sandihewa agar melintangkan kudanya,
menegakkan pedang-nya ke udara sambil berseru nyaring, "Kawan-kawan serbu!
Tawan mereka yang terlukai"


"Siapa berani maju selangkah, akan kubunuh Hajar Sandihewa!" gertak Wirapati.


Siapa mengira, ternyata wanita cantik itu tiada menggubris ancamannya.
Dengan memutar pedangnya, ia malahan mendahului menerjang. Sudah barang
tentu bawahannya ikut pula menerjang. Seperti wanita itu, mere-ka tak
memedulikan keselamatan Hajar Sandihewa.


Sesungguhnya, wanita muda itu adalah salah satu keluarga ningrat di
Yogyakarta. Puteri siapakah dia, sejarah tak memperke-nalkan. Dia adalah
pemimpin pasukan penyerbu itu. Tujuannya hendak menculik Sangaji untuk
memperoleh keterangan tentang pusaka Pangeran Samono. Hajar Sandihewa
merupakan jago undangan belaka. Syukur dia bisa berhasil memenuhi undangan
dengan janji upah besar. Apabila tidak, matipun tak menjadi soal.


Keruan saja dalam hal ini, Wirapatilah yang jadi keripuhan. Rencananya
sekaligus gagal. Dengan cepat tahulah dia, bahwa Hajar Sandihewa tak dapat
dibuatnya suatu sandi-wara. Membunuhnya pun tiada guna. Tatkala melihat
delapan orang hendak menyerang Bagus




Kempong yang masih duduk bercokol di atas kudanya, cepat ia berkisar hendak
menghadang. Tetapi dia kena dilibat tujuh orang yang menyerang dari
samping. Terpaksa ia mempertahankan diri dan berusaha memusnahkan. Hatinya
jadi gelisah. Apalagi dari arah lain, menyerbu suatu gerombolan yang sedang
mengepung Sangaji.


"Aji! Apakah kamu belum bisa bergerak?" tanyanya lantang. Belum lagi
Sangaji men-jawab, mendadak terdengar Bagus Kempong berseru lantang.


"Suryaningrat! Mengapa masih menong-krong di atas pohon? Apalagi yang
kautung-gu? Tolong kakakmu!"


Mendengar seruan Bagus Kempong, Wira-pati heran. Apakah kakaknya
seperguruan lagi main gertak? Ternyata untuk kesekian kalinya, ia kagum
kepada ketajaman indera kakaknya seperguruan. Karena berbareng dengan
kalimat seruan yang penghabisan, sekonyong-konyong terdengarlah suatu
suitan nyaring di udara. Seseorang melesat dari mahkota daun sambil
berteriak nyaring.


"Kangmas Wirapati! Baik-baikkah engkau? Aku benar-benar rindu padamu!"


Seorang pemuda berperawakan tinggi tegap, turun di atas tanah dengan
mencabut pedang. Dialah Suryaningrat anak murid Kyai Kasan Kesambi kelima.
Dia tadi bersembunyi di balik pohon yang berada kira-kira dua puluh langkah
dari medan pertempuran. Dan Bagus Kempong bisa mendengar pernapasannya.
Itulah suatu tanda betapa tajam ilmu panca-inderanya.


Mendengar suara Suryaningrat, sudah ba-rang tentu Wirapati girang bukan
main. Dengan hati meluap-luap ia menyambut.


"Suryaningrat! Engkaukah itu?"


Suryaningrat tertawa nyaring. Dalam pada itu pedangnya bergetar lembut dan
tiba-tiba menerjang gerombolan yang datang me-nyerang Bagus Kempong,
tubuhnya melesat ke sana ke mari bagaikan bayangan.


Dan terdengarlah suara gemelontangan. Ternyata pedang mereka yang menyerang
terenggut dari tangannya masing-masing.


Wanita muda yang memimpin penyerbuan terperanjat menyaksikan kegesitan
lawan. Cepat ia membagi anak buahnya agar mem-bendung. Dengan demikian ia
bisa leluasa menawan Sangaji atau Bagus Kempong. Tetapi usahanya sia-sia
belaka. Sangaji yang dikiranya telah punah tenaganya oleh suatu racun,
ternyata bisa pula melontarkan tenaga dahsyat sekali dua kali.


Sedangkan pemuda yang datang membantu itu, bergerak luar biasa gesit. Belum
lagi ia sempat mengatur perlawanan, pedangnya sendiri kena dilontarkan ke
udara.


Wirapati kagum bukan kepalang menyak-sikan kegesitan dan ilmu pedang
Suryaningrat. Diam-diam ia girang. Katanya dalam hati, ah, agaknya ilmu
Mayangga Seta sudah diturunkan kepada Suryaningrat dan kini dirubah menjadi
sendi ilmu pedang. Kemudian berseru nyaring, "Bagus! Guru sudah berhasil
mencip-takan ilmu pedang Mayangga Seta."


Sesungguhnya ilmu pedang yang dimainkan Suryaningrat adalah sendi-sendi
ilmu Mayangga Seta yang sudah diturunkan kepada sekalian muridnya dua belas
tahun yang lalu, tatkala Wirapati sedang menempuh perjalanan ke daerah
Barat. Jurusnya hanya meliputi empat belas macam. Gerakannya sederhana.
Tetapi mengandung tenaga getar yang dahsyat dan perubahan-perubahan bidang
gerak yang susah diduga. Dua belas tahun yang lalu, tatkala Wirapati tiada
kembali ke perguruan, Kyai Kasan Kesambi segera memanggil sisa muridnya, la
merundingkan kemungkinan sendi-sendi ilmu Mayangga Seta untuk dijadikan
dasar penciptaan ilmu pedang. Mula-mula Kyai Kasan Kesambi memperoleh
kesulitan-kesulitan, karena ilmu Mayangga Seta sebenarnya adalah suatu ilmu
pelipatan diri. Tetapi ternyata kini, semua kesulitan bisa diatasi.
Suryaningrat sudah




dapat mempertunjukkan kehebatannya. Dan tiada seorang jago pun undangan
Patih Danurejo mampu mengadakan suatu perlawanan dalam tiga gebrakan.


Karena kagumnya. Wirapati sampai melon-cat mundur ke luar gelanggang.
Dengan cer-mat ia menonton bagaimana Suryaningrat me-mainkan pedangnya.
Dengan hanya melon-tarkan lima jurus serangan belaka, tujuh belas orang
jaguan undangan Patih Danurejo, kena dilukai. Lebih mengherankan lagi,
bahwa senjata mereka masing-masing tiba-tiba saja terlepas dari tangan.


"Mundur!" seru wanita muda itu. Segera ia melompat ke atas kudanya dan
kabur ke utara. Begundal-begundalnya ikut pula lari tunggang-langgang
berpencaran.


Wirapati kemudian membebaskan Hajar Sandihewa. Senjata tongkatnya yang
runtuh di tanah dipungutnya dengan hormat dan diselipkan ke pinggang
pemiliknya. Sudah barang tentu, wajah Hajar Sandihewa merah karena malu.
Cepat-cepat ia lari dan kabur tanpa keblat.


Dalam pada itu, Suryaningrat telah me-nyarungkan pedangnya kembali.
Kemudian menghampiri Wirapati dan berkata penuh girang sambil menggenggam
tangan.


"Kangmas Wirapati, apakah engkau jatuh dari langit?" "Betapa rinduku kepadamu."


"Suryaningrat! Kau sudah begini besar. Tubuhmu tumbuh menjadi tegap
tinggi," sahut Wirapati tertawa. Tatkala mereka berpisah dahulu,
Suryaningrat lagi berusia 17 tahun. Selang dua belas tahun, ia berubah
menjadi seorang pemuda masak yang gagah dan ganteng. Maka dengan
menggandeng tangannya, Wirapati membawa ke arah Sangaji. Pemuda itu yang
masih terganggu kesehatannya itu, dengan memaksakan diri turun dari kudanya.


"Siapa dia?" Suryaningrat heran.


"Dialah kemenakan muridmu. Namanya Sangaji."


"Ah! Dialah yang menolong muridku Retno-ningsih?" Suryaningrat terbeliak.
"Pantas! Meskipun terkena racun, tinjunya masih dahsyat."


Kini, Wirapatilah yang jadi keheran-heranan. Tanyanya menegas, "Engkau
seperti sudah mengenal dia."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar