From: dewanto
Ikhtisar Isi Buku
Canting berkisah jatuh bangunnya sebuah usaha batik yang dikelola oleh istri dari Pak Bei Sestrokusuman. Usaha keluarga ini dulunya sangat maju. Dengan buruh yang banyak, pengelolaannya memang dilakukan secara tradisional, namun memberikan keuntungan yang bagus. Seiring perkembangan zaman, perusahaan keluarga 'Batik Canting' yang mengkhususkan diri pada batik tulis pun perlahan-lahan ambruk. Penyebabnya, tak lain semenjak ditemukannya metode batik cap yang bisa berproduksi dengan cepat dan harganya murah.
Adalah Pak Bei, sosok priyayi yang berwibawa dan sangat dihormati oleh lingkungannya, adik-adiknya, dan terutama putra-putrinya. Beliau pengagum dan pengikut Ki Ageng Suryamentaraman yang mengajarkan kebahagiaan sejati orang jawa. Pak Bei tergolong priyayi yang antik. Dengan berani, dia melanggar adat, bahwa seorang bangsawan harus menikahi sesama bangsawan. Alih-alih seorang bangsawan, dia justru memilih seorang buruh. Di antara buruh batik yang tinggal di kebon belakang rumah, dipilih satu orang untuk mendampinginya. Dialah Bu Bei.
Bu Bei yang mengelola batik canting dengan ratusan buruhnya. Setiap pagi pergi ke pasar untuk menjual batik. Pada saat yang sama, Bu Bei adalah seorang istri dan ibu. Semua itu bisa dikerjakan oleh beliau dengan sangat baik. Menghadapi kemanjaan Pak Bei, menggembleng putra-putrinya menjadi pribadi-pribadi yang berhasil, mengelola rumah tangga, sungguh banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Bu Bei.
Satu ketika, Bu Bei mengandung lagi. Ini yang tidak disangka-sangka oleh semua orang termasuk Pak Bei. Kandungan itu menimbulkan tanya di antara para bangsawan dan buruh yang tentu saja hanya berani berbisik-bisik. Jabang bayi perempuan yang tak secantik dan seelok saudara-saudaranya pun lahir, dialah Subandini Dewaputri.
Mula-mula, Pak Bei enggan menerima bayi kecil ini. Namun, seiring berjalannya waktu, justru Subandini atau Ni yang lebih banyak mendapatkan perhatiannya. Beliau pun menerima Ni dengan perasaan yang sama terhadap putra-putrinya yang lain.
Ni kemudian tumbuh dan menjadi seorang sarjana farmasi. Persis seperti ayahnya, Ni, juga menjadi seorang yang aeng alias aneh. Alih-alih menjadi seorang apoteker seperti jenjang pendidikan yang ditempuhnya, ia justru memilih untuk melanjutkan usaha 'Batik Canting'. Sebelum itu, Ni, berkata pada keluarganya, bahwa ia tak ingin menghadiri wisuda kelulusannya. Baginya, bila hal itu tak penting, maka tak perlulah ia datang. Kemudian, ia yang sudah berencana akan menikah dengan kekasihnya, Himawan, pun memilih untuk tak mengikuti Himawan ke Batam. Tak seperti mbakyunya yang mengikuti tugas sampai Merauke, Ni malah memilih untuk menggantikan ibunya mengurus Batik Canting.
Keputusan Ni ini tentu saja ditentang oleh semua anggota keluarga, kecuali Pak Bei. Bagi beliau, apabila itu baik maka lakukanlah. Keputusan Ni itu justru memberikan dampak yang sangat hebat bagi Bu Bei. Bagi beliau, apa yang akan dilakukan Ni dengan Batik Canting, kecintaannya pada para buruh, semua perhatiannya itu, justru seperti membuka luka lama: kecurigaan bahwa Ni bukan anak biologis Pak Bei.
Barangkali apa yang menjadi keputusan Ni itu begitu sulit diterima oleh Bu Bei. Beliau pun jatuh sakit sampai dengan meninggal.
Sepeninggal Bu Bei, Batik Canting memang dikelola oleh Ni. Benar-benar sebuah keputusan yang nekat. Dia tak paham sama sekali dengan seluk beluk usaha batik. Mulai dari mengkoordinir buruh-buruh batik, memasarkan batik itu di pasar, mencari pelanggan, sampai hal-hal lain yang terkait. Dia benar-benar bermodalkan tekat semata. Kondisi makin runyam manakala batik cap mulai menggusur pasar Batik Canting. Harganya yang murah, kecepatan produksinya juga tak bisa ditandingi oleh batik tulis seperti Batik Canting. Ni pun pusing tujuh keliling.
Dari sisi para buruh, Ni dipandang sebagai pengambil keputusan. Semua serba terserah, sumangga, mangga kersa, Ni. Ini yang memberatkan hatinya. Kendati banyak di antara buruh-buruh batik itu jauh lebih berpengalaman, namun mereka memilih menunggu Ni yang mengambil keputusan. Lagi pula, perkembangan batik cap tak bisa mereka ikuti. Mereka tak paham hal itu.
Dari sisi saudara, Ni pun mendapat perlawanan yang alot. Ada kakak iparnya perempuan yang merasa lebih mampu mengurus batik. Semenjak keputusan Ni dahulu itu untuk mengurus batik daripada melakukan hal lain yang sesuai dengan sekolahnya, Ni dipandang kurang waras oleh kakak-kakaknya.
Dari saudara sepupunya, Ni pun dimusuhi karena memutus tunjangan bulanan untuk mereka. Tunjangan bulanan ini dahulu sewaktu Bu Bei masih sugeng selalu diberikan kepada keluarga adik-adik Pak Bei. Namun semenjak Ni yang memegang keuangan keluarga Ndalem Ngabean Sestrokusuman, tunjangan itu pun tak lagi sampai. Oleh saudara-saudara jauhnya, Ni dipandang gila.
Dan yang paling parah adalah Himawan, calon suami Ni. Dia pun mulai meragukan kemampuan Ni untuk mengelola Batik Canting. Dia bergabung dengan kakak-kakak Ni agar merelakan Batik Canting untuk dikelola orang lain atau sekalian dijual. Aduh!
Rupanya hanya Pak Bei yang tetap menaruh kepercayaan kepada Ni, bahwa ia sanggup mengemban tugas. Pak Bei tak menuntut apa pun. Bahkan kalau pun Ni gagal, dia tak menyalahkan Ni. Semua sudah dipasrahkan kepada Ni.
Semua hal yang terjadi itu membuat Ni akhirnya jatuh sakit. Hampir-hampir ia menemui ajal kalau tidak karena Pak Bei yang mendoakannya dan memberikan kekuatan.
Pada akhirnya, Ni menemukan sebuah cara untuk mempertahankan usaha batik keluarganya. Dari buruh-buruhnya ia belajar. Sedikit demi sedikit, kehidupan Ni, Pak Bei, buruh-buruh, dan usaha batik pun kembali lagi ke jalurnya.
Kelebihan dan Kekurangan Buku
Menurut saya, Canting sangat bagus menggambarkan sebuah keluarga Jawa. Seorang ayah yang sangat berwibawa, bahkan sekadar gerakan alisnya pun sudah menciutkan nyali putra-putrinya. Kendati demikian, ayah yang sama juga sangat menyayangi dan melindungi keluarganya.
Dituliskan dalam Canting, "menjadi ayah itu juga harus menanggung malu—di samping kebanggan—atas apa yang diperbuat anaknya." Dalam Canting, selain keberhasilan putra-putri Pak Bei, masing-masing dari mereka rupanya memendam kisah kelam. Semua itu, kebanggan dan juga persoalan yang terkadang memalukan harus ditelan oleh Pak Bei, diterima, menjadi tanggung jawabnya.
Di sisi lain, Canting menggambarkan dengan gamblang bagaimana bangunan hubungan dalam sebuah keluarga Jawa. Sebagai contoh, kemarahan yang tak pernah ditujukan secara langsung. Dalam budaya Jawa, simbologi, sindiran dan sikap lebih banyak digunakan. Seseorang harus tahu tanpa diberitahu. Budaya semacam ini, barangkali akan sukar diterima oleh keluarga lain bukan dari Jawa yang membangun hubungan dalam keluarga dengan kelugasan dan ketegasan tanpa jalan memutar.
Lebih lengkap di sini: http://unclegoop.com/2013/11/06/resensi-canting
Tidak ada komentar:
Posting Komentar