From: syauqiyahya@gmail.com
Senin, 10 Februari 2014
Douch
Apa yang dapat dikatakan tentang seorang algojo?
Sudah kita saksikan Anwar Congo dalam film dokumenter The Act of Killing Joshua Oppenheimer: preman Medan yang dengan bangga mengaku telah membantai banyak orang "komunis" di pertengahan 1960-an, tapi di adeÂ-gan terakhir hampir sepenuhnya diam, hanya batuknya yang terdengar di rumah bekas tempat pembunuhan itu, hanya tubuh tuanya yang lelah menuruni tanggaâ EURO |.
Ketika film berakhir, tak ada cerita tentang apa yang terjadi dengan Anwar Congo di saat itu, setelah itu. Akhirnya manusia tak bisa lengkap didokumentasikan, pikir saya. Anwar Congo tak hanya satu.
Mungkin begitu juga Douch. Nama sebenarnya Kang Kek Iew. Dalam sejarah Kamboja yang berlumuran darah selama dasawarsa 1970-an, ia pejabat Khmer Merah yang memimpin Penjara Tuol Sleng, yang juga disebut "S-21". Ia tokoh kebengisan yang tak kalah mengerikan.
Selama empat tahun Partai Komunis berkuasa di Kamboja, ribuan disekap di tempat yang berarti "bukit pohon beracun" itu.
Douch, direktur "S-21" sejak 1975, adalah sang pencabut nyawa. Ketika Khmer Merah kalah dan ia ditangkap dan diadili, bukti-bukti ditunjukkan: ada perintah tertulisnya, misalnya, untuk "menghantam sampai hancur" 17 tahanan (8 pemuda belasan tahun dan 9 anak-anak). Dalam daftar 20 tahanan perempuan ia menulis instruksi di bawah tiap nama: "bawa untuk dieksekusi"; "terus diinterogasi"; "untuk eksperimen medis".
Douch juga mengakui: anak buahnya merenggutkan bayi dari ibu mereka dan membenturkan kepala orok itu ke pohon, sampai mati.
Dari sekitar 17 ribu tahanan, hanya tujuh yang hidup.
Pejabat yang dulu seorang guru matematika ini orang yang teliti tampaknya. Hampir tiap korban dicatat dan dipotret. Ketika Khmer Merah meninggalkan Phnom Penh, lari dari pasukan Vietnam yang masuk dan membentuk pemerintahan sosialis baru, Douch tak sempat membakar dokumentasi itu-dan itu yang menjeratnya.
Mengapakah kekejaman itu harus direkam? Ekspresi sadisme seorang jagal? Atau bagian desain masa depan yang diperkirakan akan perlu bukti pembantaian itu-masa depan yang akan membenarkannya?
Douch percaya, itulah yang akan terjadi: masa depan akan membenarkannya. Baginya, kekejaman tak terelakkan untuk menggerakkan sejarah. Bukankah revolusi Prancis "memenggal beratus-ratus kepala"? "Tak peduli besarnya korban," kata Douch, "yang penting adalah keagungan tujuan itu sendiri."
Ia katakan semua itu di suatu malam, di sebuah sudut hutan, di depan orang yang ditangkapnya dengan tuduhan "mata-mata CIA": François Bizot.
Bizot, antropolog muda dari Prancis, sedang mempelajari Buddhisme di pedalaman Kamboja. Itu tahun 1971: bukan periode yang aman bagi siapa pun. Kelompok komunis lokal, "Khmer Merah", baru bangkit, dan makin kuat justru karena pengeboman Amerika. Berada di sekitar Angkor Wat yang mereka kuasai, Bizot ditangkap. Ia dirantai di sebuah kamp tahanan kecil di hutan.
Dua temannya, orang Kamboja, juga ditangkap (dan kemudian dibunuh). Bizot dibiarkan hidup. Bahkan akhirnya setelah tiga bulan disekap, ia dibebaskan. Sekitar 30 tahun kemudian, setelah lama diam, ia menulis buku tentang pengalamannya itu, Le Portail-sebuah buku yang ditulisnya dengan "kepahitan yang tak terhingga".
"Kepahitan" agaknya bukan datang dari Douch. Orang yang ia sebut "penyiksa" ini membiarkan Bizot mandi di sungai dan berjalan-jalan di sekitar kamp. Bizot bisa berbahasa Khmer, Douch berbahasa Prancis. Berangsur-angsur, ada semacam kecocokan di antara mereka berdua.
Di malam menjelang Bizot dibebaskan, Douch membuat pesta: pidato, lagu-lagu, dan jamuan, dengan 13 ekor ayam dipotong. Dan sampai fajar merekah, si tahanan dan si algojo duduk bercakap-cakap di depan api unggun yang pelan-pelan padam.
Apa yang bisa dikatakan tentang Douch? Ia lelaki yang amat yakin tentang masa depan dan pada umur 29 tahun bersiap jadi pembunuh. Tapi Douch juga yang mempertaruhkan nyawanya sendiri ketika ia mengusulkan kepada para atasannya yang bertangan besi agar Bizot dibebaskan.
Ketika kemudian Douch tertangkap dan dibawa ke depan mahkamah, ada pertanyaan: maukah Bizot bersaksi? Kepada koran LibÃ(c)ration ia menjawab "ya, jika pihak penuntut memintanya, ya, jika pihak pembela memintanya".
Sikap yang mendua, tentu. Sebab baginya, jagal di Kamp "S-21" itu tokoh yang tragis, "seorang anak yang memberanikan diri hidup di antara serigala". Agar hidup terus, "ia minum susu mereka, dan belajar melolong seperti mereka". Sejak itu, Teror berkuasa dan "membujuknya untuk memakai wajah moralitas dan ketertiban".
"Moralitas" berarti keyakinan komunis yang murni semurni-murninya, "ketertiban" membasmi apa saja yang dianggap cacat. Douch hidup dengan ekologi kekerasan sejarah modern Kamboja: kolonialisme, Perang Dingin, intervensi Amerika dengan bombardemennya, Perang Vietnam, Revolusi Kebudayaan Cina, kebrutalan penguasa, dan kesengsaraan di pedalaman.
Dari semua itu lahir niat dengan ideologi untuk mengubah dunia, dengan iman yang mutlak dan menggelegak. Dunia pun dibelah: ada yang "lama" dan yang "baru", "patriot" dan "pengkhianat", "proletar" dan "borjuis". Sejarah adalah cerita dua kubu yang saling menghantam untuk jadi Merah atau Hitam.
Dengan pandangan itu, seorang Douch tak akan tertegun bila sadar bahwa selama pemerintahan Khmer Rouge sekitar dua juta orang Kamboja dibunuh. Dan kita pun akan ingat semua kebengisan sejak 1914 dan kata-kata Elias Canetti: "It is a mark of fundamental human decency to feel ashamed of living in the 20th century."
Agaknya itulah dasar "kepahitan yang tak terhingga" yang mengiringi Bizot menulis.
Goenawan Mohamad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar